Artikel

Artikel novel laskar Pelangi  


BAB 1
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Pengarang.
Andrea Hirata Seman Said Harun lahir di pulau Belitung 24 Oktober 1982, Andrea Hirata sendiri merupakan anak keempat dari pasangan Seman Said Harunayah dan NA Masturah. Ia dilahirkan di sebuah desa yang termasuk desa miskin dan letaknya yang cukup terpelosok di pulau Belitong. Tinggal di sebuah desa dengan segala keterbatasan memang cukup mempengaruhi pribadi Andrea sedari kecil. Ia mengaku lebih banyak mendapatkan motivasi dari keadaan di sekelilingnya yang banyak memperlihatkan keperihatinan.
Nama Andrea Hirata sebenarnya bukanlah nama pemberian dari kedua orang tuanya. Sejak lahir ia diberi nama Aqil Barraq Badruddin. Merasa tak cocok dengan nama tersebut, Andrea pun menggantinya dengan Wadhud. Akan tetapi, ia masih merasa terbebani dengan nama itu. Alhasil, ia kembali mengganti namanya dengan Andrea Hirata Seman Said Harun sejak ia remaja.
“Andrea diambil dari nama seorang wanita yang nekat bunuh diri bila penyanyi pujaannya, yakni Elvis Presley tidak membalas suratnya,” ungkap Andrea.
Sedangkan Hirata sendiri diambil dari nama kampung dan bukanlah nama orang Jepang seperti anggapan orang sebelumnya. Sejak remaja itulah, pria asli Belitong ini mulai menyandang nama Andrea Hirata. Andrea tumbuh seperti halnya anak-anak kampung lainnya. Dengan segala keterbatasan, Andrea tetap menjadi anak periang yang sesekali berubah menjadi pemikir saat menimba ilmu di sekolah. Selain itu, ia juga kerap memiliki impian dan mimpi-mimpi di masa depannya.
Seperti yang diceritakannya dalam novel Laskar Pelangi, Andrea kecil bersekolah di sebuah sekolah yang kondisi bangunannya sangat mengenaskan dan hampir rubuh. Sekolah yang bernama SD Muhamadiyah tersebut diakui Andrea cukuplah memperihatinkan. Namun karena ketiadaan biaya, ia terpaksa bersekolah di sekolah yang bentuknya lebih mirip sebagai kandang hewan ternak. Kendati harus menimba ilmu di bangunan yang tak nyaman, Andrea tetap memiliki motivasi yang cukup besar untuk belajar. Di sekolah itu pulalah, ia bertemu dengan sahabat-sahabatnya yang dijuluki dengan sebutan Laskar Pelangi.
Di SD Muhamadiyah pula, Andrea bertemu dengan seorang guru yang hingga kini sangat dihormatinya, yakni NA (Nyi Ayu) Muslimah.
“Saya menulis buku Laskar Pelangi untuk Bu Muslimah,” ujar Andrea dengan tegas kepada Realita.
Kegigihan Bu Muslimah untuk mengajar siswa yang hanya berjumlah tak lebih dari 11 orang itu ternyata sangat berarti besar bagi kehidupan Andrea. Perubahan dalam kehidupan Andrea, diakuinya tak lain karena motivasi dan hasil didikan Bu Muslimah. Sebenarnya di Pulau Belitong ada sekolah lain yang dikelola oleh PN Timah. Namun, Andrea tak berhak untuk bersekolah di sekolah tersebut karena status ayahnya yang masih menyandang pegawai rendahan. “Novel yang saya tulis merupakan memoar tentang masa kecil saya, yang membentuk saya hingga menjadi seperti sekarang,” tutur Andrea yang memberikan royalti novelnya kepada perpustakaan sebuah sekolah miskin ini.
Tentang sosok Muslimah, Andrea menganggapnya sebagai seorang yang sangat menginspirasi hidupnya. “
Perjuangan kami untuk mempertahankan sekolah yang hampir rubuh sangat berkesan dalam perjalanan hidup saya,” ujar Andrea.
Berkat Bu Muslimah, Andrea mendapatkan dorongan yang membuatnya mampu menempuh jarak 30 km dari rumah ke sekolah untuk menimba ilmu. Tak heran, ia sangat mengagumi sosok Bu Muslimah sebagai salah satu inspirator dalam hidupnya. Menjadi seorang penulis pun diakui Andrea karena sosok Bu Muslimah. Sejak kelas 3 SD, Andrea telah membulatkan niat untuk menjadi penulis yang menggambarkan perjuangan Bu Muslimah sebagai seorang guru. “Kalau saya besar nanti, saya akan menulis tentang Bu Muslimah,” ungkap penggemar penyanyi Anggun ini. Sejak saat itu, Andrea tak pernah berhenti mencoret-coret kertas untuk belajar menulis cerita.
Setelah menyelesaikan pendidikan di kampung halamannya, Andrea lantas memberanikan diri untuk merantau ke Jakarta selepas lulus SMA. Kala itu, keinginannya untuk menggapai cita-cita sebagai seorang penulis dan melanjutkan ke bangku kuliah menjadi dorongan terbesar untuk hijrah ke Jakarta. Saat berada di kapal laut, Andrea mendapatkan saran dari sang nahkoda untuk tinggal di daerah Ciputat karena masih belum ramai ketimbang di pusat kota Jakarta. Dengan berbekal saran tersebut, ia pun menumpang sebuah bus agar sampai di daerah Ciputat. Namun, supir bus ternyata malah mengantarkan dirinya ke Bogor. Kepalang tanggung, Andrea lantas memulai kehidupan barunya di kota hujan tersebut.
Beruntung bagi dirinya, Andrea mampu memperoleh pekerjaan sebagai penyortir surat di kantor pos Bogor. Atas dasar usaha kerasnya, Andrea berhasil melanjutkan pendidikannya di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Merasakan bangku kuliah merupakan salah satu cita-citanya sejak ia berangkat dari
Belitong. Setelah menamatkan dan memperoleh gelar sarjana, Andrea juga mampu mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S2 Economic Theory di Universite de Paris, Sorbonne, Perancis dan Sheffield Hallam University, Inggris.
Berkat otaknya yang cemerlang, Andrea lulus dengan status cum laude dan mampu meraih gelar Master Uni Eropa. Sekembalinya ke tanah air, Andrea bekerja di PT Telkom dan Mulailah ia bekerja sebagai seorang karyawan Telkom. Kini, Andrea masih aktif sebagai seorang instruktur di perusahaan telekomunikasi tersebut. Selama bekerja, niatnya menjadi seorang penulis masih terpendam dalam hatinya. Niat untuk menulis semakin menggelora setelah ia menjadi seorang relawan di Aceh untuk para korban tsunami. “Waktu itu saya melihat kehancuran akibat tsunami, termasuk kehancuran sekolah-sekolah di Aceh,” kenang pria yang tak memiliki latarbelakang sastra ini.
Kondisi sekolah-sekolah yang telah hancur lebur lantas mengingatkannya terhadap masa lalu SD Muhamadiyah yang juga hampir rubuh meski bukan karena bencana alam. Ingatan terhadap sosok Bu Muslimah pun kembali membayangi pikirannya. Sekembalinya dari Aceh, Andrea pun memantapkan diri untuk menulis tentang pengalaman masa lalunya di SD Muhamadiyah dan sosok Bu Muslimah. “Saya mengerjakannya hanya selama tiga minggu,” aku pria yang berulang tahun pada 24 Oktober ini.
Naskah setebal 700 halaman itu lantas digandakan menjadi 11 buah. Satu kopi naskah tersebut dikirimkan kepada Bu Muslimah yang kala itu tengah sakit. Sedangkan sisanya dikirimkan kepada sahabat-sahabatnya dalam Laskar Pelangi. Tak sengaja, naskah yang berada dalam laptop Andrea dibaca oleh salah satu rekannya yang kemudian mengirimkan ke penerbit.
Bak gayung bersambut, penerbit pun tertarik untuk menerbitkan dan menjualnya ke pasar. Tepatnya pada Desember 2005, buku Laskar Pelangi diluncurkan ke pasar secara resmi. Dalam waktu singkat, Laskar Pelangi menjadi bahan pembicaraan para penggemar karya sastra khususnya novel. Dalam waktu seminggu, novel perdana Andrea tersebut sudah mampu dicetak ulang. Bahkan dalam kurun waktu setahun setelah peluncuran, Laskar Pelangi mampu terjual sebanyak 200 ribu sehingga termasuk dalam best seller. Hingga saat ini, Laskar Pelangi mampu terjual lebih dari satu juta eksemplar.
Penjualan Laskar Pelangi semakin merangkak naik setelah Andrea muncul dalam salah satu acara televisi. Bahkan penjualannya mencapai 20 ribu dalam sehari. Sungguh merupakan suatu prestasi tersendiri bagi Andrea, terlebih lagi ia masih tergolong baru sebagai seorang penulis novel. Padahal Andrea sendiri mengaku sangatlah jarang membaca novel sebelum menulis Laskar Pelangi. Sukses dengan Laskar Pelangi, Andrea kemudian kembali meluncurkan buku kedua, Sang Pemimpi yang terbit pada Juli 2006 dan dilanjutkan dengan buku ketiganya, Edensor pada Agustus 2007. Selain meraih kesuksesan dalam tingkat penjualan, Andrea juga meraih penghargaan sastra Khatulistiwa Literary Award (KLA) pada tahun 2007.
Lebaran di Belitong. Kini, Andrea sangat disibukkan dengan kegiatannya menulis dan menjadi pembicara dalam berbagai acara yang menyangkut dunia sastra. Penghasilannya pun sudah termasuk paling tinggi sebagai seorang penulis. Namun demikian, beberapa pihak sempat meragukan isi dari novel Laskar Pelangi yang dianggap terlalu berlebihan. “Ini kan novel, jadi wajar seandainya ada cerita yang sedikit digubah,” ungkap Andrea yang memiliki impian tinggal di Kye Gompa, desa tertinggi di dunia yang terletak di pegunungan Himalaya. Kesuksesannya sebagai seorang penulis tentunya membuat Andrea bangga dan bahagia atas hasil kerja kerasnya selama ini.
Meski disibukkan dengan kegiatannya yang cukup menyita waktu, Andrea masih tetap mampu meluangkan waktu untuk mudik di saat Lebaran lalu. Bahkan bagi Andrea, mudik ke Belitong di saat Lebaran adalah wajib hukumnya. “Orang tua saya sudah sepuh, jadi setiap Lebaran saya harus pulang,” ujar Andrea dengan tegas. Di Belitong, Andrea melakukan rutinitas bersilaturahmi dengan orang tua dan kerabat lainnya sembari memakan kue rimpak, kue khas Melayu yang selalu hadir pada saat Lebaran. Kendati perjalanan ke Belitong tidaklah mudah, karena pilihan transportasi yang terbatas, Andrea tetap saja harus mudik setiap Lebaran tiba. Terlebih lagi, bila ia tak kebagian tiket pesawat ke Bandara Tanjung Pandan, Pulau Belitong, maka mau tak mau Andrea harus menempuh 18 jam perjalanan dengan menggunakan kapal laut.
Perasaan bangga dan bahagia semakin dirasakan Andrea tatkala Laskar Pelangi diangkat menjadi film layar lebar oleh Mira Lesmana dan Riri Riza. “Saya percaya dengan kemampuan mereka,” ujarnya tegas. Apalagi, film Laskar Pelangi juga sempat ditonton oleh orang nomor satu di negeri ini, Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu. “
Kini Laskar Pelangi memiliki artikulasi yang lebih luas daripada sebuah buku. Nilai-nilai dalam Laskar Pelangi menjadi lebih luas,” tutur Andrea
Menjadi seorang penulis novel terkenal mungkin tak pernah ada dalam pikiran Andrea Hirata sejak masih kanak-kanak. Berjuang untuk meraih pendidikan tinggi saja, dirasa sulit kala itu. Namun, seiring dengan perjuangan dan kerja keras tanpa henti, Andrea mampu meraih sukses sebagai penulis memoar kisah masa kecilnya yang penuh dengan keperihatinan.

B.     Rumusan Masalah
  1. Apa Tema dari film Laskar Pelangi?
  2. Bagaimana alur cerita dalam film Laskar Pelangi?
  3. Apa latar cerita dari film Laskar Pelangi?
  4. Siapa saja Tokoh dan Penokohan dalam film Laskar Pelangi?
  5. Sudut Pandang apa yang digunakan dalam film Laskar Pelangi?
  6. Amanat apa yang tersurat atau tersirat dalam film Laskar Pelangi?
C.    Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui Tema dari film Laskar Pelangi.
  2. Untuk mengetahui alur cerita dalam film Laskar Pelangi.
  3. Untuk mengetahui latar cerita dari film Laskar Pelangi.
  4. Untuk mengetahui Tokoh dan Penokohan dalam film Laskar Pelangi.
  5. Untuk mengetahui Sudut Pandang  yang digunakan dalam film Laskar Pelangi.
  6. Untuk mengetahui Amanat yang tersurat atau tersirat dalam film Laskar Pelangi.
D.    Manfaat Penulisan
  1. Supaya mengetahui judul dari film Laskar Pelangi.
  2. Supaya mengetahui alur cerita dalam film Laskar Pelangi.
  3. Supaya mengetahui latar cerita dari film Laskar Pelangi.
  4. Supaya mengetahui Tokoh dan Penokohan dalam film Laskar Pelangi.
  5. Supaya mengetahui Sudut Pandang  yang digunakan dalam film Laskar Pelangi.
  6. Supaya mengetahui Amanat yang tersurat atau tersirat dalam film Laskar Pelangi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Unsur Intrinsik
1.      Tema
Tema utama dalam film “Laskar Pelangi” ini adalah pendidikan. Namun uniknya tema pendidikan ini diselingi oleh kisah persahabatan yang erat antara anggota ‘Laskar Pelangi’. Tema pendidikan ini sendiri dipadukan dengan tema ekonomi. Namun tema pendidikan lah yang lebih menonjol.
2.      Plot (alur)
a.   Pengenalan Situasi Cerita
`         Cerita diawali dengan dibukanya penerimaan murid baru di SD Muhammadiyah yang ada di Desa Gantung, Kabupaten Gantung, Belitong Timur, Sumatera Selatan. Sebuah daerah yang kaya akan sumber daya  alamnya yaitu timah. Belitong merupakan daerah yang menjadi tempat penambangan timah terbesar dan menghasilkan banyak sekali keuntungan. Meski pun begitu, kehidupan di sana seperti terpetak-petak antara yang kaya dan yang miskin.
Pagi itu,  satu demi satu calon siswa yang didampingi oleh orang tuanya berdatangan mendaftarkan diri di sekolah yang hampir roboh dan mungkin sudah tidak layak untuk dipakai sebagai tempat belajar-mengajar.
b.   Menuju Adanya Konflik
Dalam film “Laskar Pelangi” ini, banyak sekali bermunculan masalah-masalah atau konflik-konflik. Namun konflik awal yang pertama muncul adalah saat suasana mulai tegang karena ternyata pendaftar tidak mencukupi batas minimal siswa yang disyaratkan oleh Depdikbud Sumsel. Apabila calon siswa yang mendaftar kurang dari sepuluh anak, maka SD Muhammadiyah harus ditutup.
c.    Puncak Konflik
Puncak konfliknya ialah setelah ditunggu hingga siang, ternyata jumlah pendaftar tidak lebih dari sembilan orang. Jumlah ini tentu saja belum mencukupi persyaratan Depdikbud. Hal ini tentu saja sangat mencemaskan Pak Harfan sang kepala sekolah dan Bu Muslimah sang guru. Sampai pada akhirnya Pak Harfan memutuskan untuk memberikan pidato sekaligus mengumumkan bahwa penerimaan siswa baru dibatalkan.  
     Selanjutnya konflik-konflik lain bermunculan dari masing-masing tokoh. Namun konflik selanjutnya yang secara garis besar melibatkan hampir semua tokoh ialah saat akan diadakannya lomba karnaval dan cerdas cermat antar sekolah.
d.   Penyelesaian
Sesaat hampir saja Pak Harfan memulai pidatonya untuk memberitahukan bahwa penerimaan siswa baru di SD Muhammadiyah dibatalkan, seorang ibu muncul  untuk mendaftarkan anaknya (Harun) yang mengidap keterbelakangan mental. Tentu saja kedatangan Harun dan ibunya ini memberikan napas lega kepada Pak Harfan, Bu Muslimah dan juga para calon siswa serta orang tuanya. Harun telah menggenapi jumlah siswa untuk menghindarkan SD Muhammadiyah dari penutupan.
Sekolah yang jika malam dipakai sebagai kandang ternak ini akhirnya memulai kegiatan belajar-mengajar meski dengan fasilitas yang seadanya. Tiba saatnya mengikuti karnaval antar sekolah. Keikutsertaan SD Muhammadiyah sempat diperdebatkan karena ketidakadaan dana dan sikap pesimistis yang muncul. Namun, Bu Muslimah bersikeras mengikutkan murid-muridnya. Karena nilai keseniannya paling tinggi dan dianggap sebagai murid yang kreatif, Mahar pun ditunjuk sebagai ketua untuk mengurusi persiapan karnaval. Dengan ide cemerlang dan kreativitasnya, Mahar berhasil menggiring teman-temannya merebut piala kemenangan.
SD Muhammadiyah kembali mengikuti perlombaan. Kali ini adalah perlombaan cerdas cermat. Bu Muslimah, Ikal dan kawan-kawan sempat khawatir karena tak lama perlombaan akan dimulai namun ujung tombak tim mereka belum juga datang. Untungnya meski hampir terlambat, akhirnya si cerdas itu pun datang (Lintang). Awalnya tim dari SD Muhammadiyah tertinggal angka melawan SD PN dan SD Negeri. Namun pada saat memasuki soal yang berbau angka SD Muhammadiyah mengejar ketertinggalan dan berhasil keluar sebagai juara.
3.      Latar Cerita
a.   Latar Tempat
Latar tempat yang digunakan dalam film ini adalah di sebuah sekolah bernama SD Muhammadiyah yang terletak di Desa Gantung, Kabupaten Gantung, Belitong Timur, Sumatera Selatan. Namun, ada pula yang latarnya adalah di rumah, pohon, gua, tepi pantai, pasar dan lain-lain tapi masih di kawasan Belitong.
b.   Latar Waktu
Dikarenakan film “Laskar Pelangi” ini merupakan novel yang menceritakan kisah nyata meski ada bumbu imajinasi, maka latar waktu yang disampaikan pun jelas yaitu terjadi pada tahun 1974.



c.    Latar Suasana
Latar suasana yang ada dalam film ini beragam dikarenakan konflik-konfik yang muncul juga beragam. Ada kalanya senang, sedih, hingga cemas. Berikut beberapa penggalan kisah yang menjelaskan suasana dalam novel :
· Suasana Sedih
Salah satu penggalan cerita yang menggambarkan suasana sedih ialah saat Ikal, teman-temannya dan Bu Muslimah berpisah dari Lintang yang memutuskan berhenti sekolah karena harus mengurusi keluarga yang ditinggal mati ayahnya.
· Suasana Senang
Salah satu penggalan cerita yang menggambarkan suasana senang ialah saat tim cerdas cermat SD Muhammadiyah berhasil memenangkan pertandingan.
· Suasana Cemas
Salah satu penggalan cerita yang menggambarkan suasana cemas ialah saat Pak Harfan, Bu Muslimah dan calon murid SD Muhammadiyah beserta orang tuanya menunggu untuk menggenapkan calon siswa yang mendaftar agar sekolah tidak ditutup.
4.      Penokohan
Tokoh-tokoh yang berperan dalam film ‘Laskar Pelangi’ antara lain :
a)      Ikal
Ikal atau yang di dalam film laskar pelangi berperan sebagai ‘aku’ merupakan tokoh utama. Ikal adalah salah seorang anggota ‘Laskar Pelangi’. Di sekolah ia termasuk murid yang lumayan pandai, namun kepandaiannya masih di bawah dari temannya yaitu Lintang. Ia selalu berada di peringkat kedua di sekolah setelah Lintang. Ikal termasuk orang yang tidak mudah putus asa, selalu bersemangat melakukan hal yang ia sukai dan tegar. Ikal begitu menyukai dunia sastra terutama puisi. Dalam film ini, Ikal diceritakan menyukai seorang gadis keturunan Tionghoa bernama A Ling. Ia sering sekali mengirimkan puisi tentang luapan perasaannya kepada A Ling.
b)      Taprani
Taprani merupakan sosok yang tampan, rapi,  perfeksionis, lumayan pintar, bicara seperlunya (pendiam), santun, sangat berbakti kepada orang tua dan manja. Ia bercita-cita menjadi guru di daerah terpencil untuk memajukan pendidikan orang melayu pedalaman. Taprani selalu diperhatikan ibunya. Apa pun yang akan dilakukannya harus selalu diketahui ibunya. Ia sangat tergantung pada ibunya.

c)      Sahara
Sahara merupakan satu-satunya murid perempuan yang bersekolah di SD Muhammadiyah. Tubuhnya ramping dan selalu berjilbab rapi. Di sekolah ia termasuk murid yang pintar. Meski pun ia adalah sosok yang perhatian, namun ia termasuk tipe orang yang temperamental, ketus, skeptis, susah diyakinkan dan tidak mudah terkesan. Sahara Sangat menjujung tinggi nilai kejujuran. Ia paling tidak suka berbohong. Dalam film itu diceritakan bahwa ia bertengkar dengan A Kiong yang tidak pernah sependapat atau satu pemikiran dengannya.
d)     A Kiong
A Kiong adalah satu-satunya murid keturunan Tionghoa yang bersekolah di SD Muhammadiyah. Sifatnya begitu polos dan selalu mempercayai apa yang dikatakan Mahar. Ia selalu menjadi pendukung sekaligus pengikut setia Mahar. A Kiong memiliki rasa persahabatan yang tinggi dan suka menolong. Ia sering kali bertengkar dengan Sahara.
e)      Harun
Harun yang sudah mulai memasuki jenjang pendidikan Sekolah Dasar pada usia lima belas tahun ini mengidap keterbelakangan mental. Sifatnya santun, pendiam, dan murah senyum. Laki-laki yang memiliki model rambut seperti Chairil Anwar ini hobi sekali mengunyah permen asam jawa. Ia pun selalu berpakaian rapi. Di kelas, ia sama sekali tidak bisa menangkap pelajaran membaca atau pun menulis. Ia pun sering kali bercerita tentang kucing belang tiganya yang melahirkan tiga anak yang juga bebelang tiga secara berulang-ulang.
f)       Borek
Borek memilki tubuh yang tinggi tinggi dan besar. Ia sangat terobsesi dengan body building dan tergila-gila dengan citra cowok macho.
g)      Syahdan
Karakter Syahdan tidak begitu menonjol dalam film itu Ia adalah salah satu anggota ‘Laskar Pelangi’ yang selalu setia menemani Ikal membeli kapur tulis di took Sinar Harapan milik orang tua A Ling. Syahdan merupakan saksi cinta pertama Ikal kepada A Ling. Ia memiliki cita-cita sebagai aktor.





h)      Kucai
Kucai adalah salah satu anggota ‘Laskar Pelangi’ yang diamanahi sebagai ketua kelas. Ia sempat frustrasi ketika menjadi ketua kelas karena kesulitan dalam mengatur teman-temannya. Meski begitu, laki-laki yang menderita rabun jauh ini selalu terpilih menjadi ketua kelas dan pada akhirnya ia menerima keputusan itu. Anak yang banyak bicara dan susah diatur ini berbakat menjadi seorang politikus.
i)        Lintang
Lintang merupakan anak yang paling jenius dan gigih di antara teman-temannya. Meski pun jarak rumahnya dari sekolah sangat jauh (80 km), ia tetap semangat untuk pergi ke sekolah dan menjadi anak yang paling pagi datang. Setiap berangkat sekolah, ia harus melalui jalan yang merupakan tempat buaya tinggal. Ayahnya adalah seorang nelayan miskin yang bertanggung jawab menafkahi empat belas nyawa yang tinggal di rumahnya. Di sekolah, Lintang begitu serius belajar dan aktif. Otaknya yang jenius dan cermat membawa tim SD Muhammadiyah menjadi pemenang dalam lomba cerdas cermat. Lintang sangat suka membaca dan mempelajari berbagai ilmu penngetahuan. Lintang pun tak segan membagi ilmunya kepada teman-temannya. Idenya sangat kreatif. Lucunya, kelihaiannya dalam berpikir tidak dibarengi dengan tulisan tangan yang indah.
j)        Mahar
Mahar memiliki bakat dalam bidang seni, baik itu menyanyi, melukis, seni rupa dan lain sebagainya. Pemikirannya imajinatif dan kreatif. Anak tampan ini termasuk orang yang menggemari dongeng-dongeng yang tak masuk akal (mungkin karena ia terlalu imajinatif). Mahar sering kali diejek dan ditertawakan teman-temannya karena pemikirannya dianggap aneh.
k)      Bu Muslimah
Wanita bernama lengkap N.A. Muslimah Hafsari ini adalah guru di SD Muhammadiyah. Ia sangat gigih dalam mengajar meski pun gajinya belum dibayar. Ia sangat berdedikasi terhadap dunia pendidikan dan dengan segenap jiwa mengajar murid-murid di SD Muhammadiyah. Wanita cantik yang menyukai bunga ini memiliki pendirian yang progresif dan terbuka terhadap ide-ide baru. Ia termasuk orang yang sabar dan baik hati.
l)        Pak Harfan
Pria bernama lengkap K.A Harfan Efendy Noor ini menjabat sebagai kepala SD Muhammadiyah. Bersama Bu Muslimah, ia tetap mempertahankan sekolah yang hampir ditutup karena kekurangan siswa. Pak Harfan juga memiliki dedikasi tinggi terhadap pendidikan.
m)    A Ling
Gadis keturunan Tiongoa ini merupakan cinta pertama Ikal. Ia memiliki tubuh yang ramping dan tinggi. Anak dari pemilik toko Sinar Harapan ini ternyata juga menyukai Ikal. Namun sayangnya ia pindah ke Jakarta.
n)      Flo
Ia merupakan murid pindahan dari sekolah PN. Gadis tomboi yang berasal dari keluarga kaya ini merupakan tokoh terakhir yang muncul sebagai anggota ‘Laskar Pelangi’.

5.      Sudut Pandang yang Digunakan
Sudut pandang yang digunakan dalam novel ini adalah sudut pandang orang pertama pelaku utama karena dalam penceritaan novel penulis menggunakan kata ‘aku’. Tokoh ‘aku’ dalam novel itu diceritakan paling dominan sehingga si tokoh ‘aku’ dapat dikatakan sebagai tokoh atau pelaku utama.

6.      Amanat
Banyak sekali amanat yang terkandung dalam film “Laskar Pelangi” ini. Diantaranya adalah :
·         Jangan mudah menyerah oleh keadaan (jangan putus asa)
Keadaan boleh saja serba kekurangan, namun kekurangan janganlah menjadi alasan untuk tidak berusaha. Justru jadikanlah kekurangan itu sebagai motivasi untuk bisa menutupinya. Dalam film ini diceritakan tentang kehidupan pendidikan yang keadaannya serba minim. Namun, tokoh-tokoh di dalamnya tidak menyerah dengan keadaan seperti itu. Mereka tetap bersemangat mengikuti kegiatan belajar mengajar. Kemiskinan bukan alasan untuk tidak belajar.
·         Jauhi sifat pesimis
Saat menengadahkan perasaan kepada orang-orang yang ada di atas kita, bukan berarti kita harus merasa kecil dan lemah di hadapan mereka. Kita ada di bawah, bukan berarti kita tidak bisa seperti orang yang ada di atas. Menengadahkan perasaan ke atas mestinya dijadikan cambuk semangat untuk bisa seperti orang itu atau bahkan bisa lebih baik lagi. Contonya pada film ini yang menceritakan sebuah sekolah kampung (SD Muhammadiyah) biasa yang selalu optimis untuk bisa lebih baik dari sekolah yang dari awal memang sudah baik (SD PN).

·         Sebagai guru haruslah dengan ikhlas mengajar dan berdedikasi tinggi terhadap pendidikan.
Dalam film ini diceritakan seorang guru yang begitu tinggi dedikasinya terhadap pendidikan. Guru diibaratkan  kompas yang menunjukkan kemana murid-muridnya akan pergi. Bu Muslimah merupakan sosok yang menjadi guru teladan yang dengan segenap kemampuannya berjuang untuk memajukan pendidikan di sebuah kampug kecil.

B. Unsur Ekstrinsik
            Selain unsur intrinsik, dalam film “Laskar Pelangi” ini amat kental dengan pengaruh unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik yang ada dalam film “laskar pelangi” tidak lepas dari latar belakang kehidupan pengarang entah itu dari segi budaya yang dipegang, kepercayaan, lingkungan tempat tinggal dan lain sebagainya. Ada pun beberapa unsur ekstrinsik yang dibahas antara lain :
1.      Latar Belakang Tempat Tinggal
Lingkungan tempat tinggal pengarang mempengaruhi psikologi penulisan novel. Apalagi novel “Laskar Pelangi” merupakan adaptasi dari cerita nyata yang dialami oleh pengarang langsung. Letak tempat tinggal pengarang yang jauh berada di Desa Gantung, Kabupaten Gantung, Belitong Timur, Sumatera Selatan ternyata benar-benar dijadikannya latar tempat bagi penulisan novelnya.
2.      Latar Belakang Sosial dan Budaya
Pada novel ini banyak sekali unsur-unsur sosial dan budaya masyarakat yang bertempat tinggal di Belitong. Adanya perbedaan status antara komunitas buruh tambang dan komunitas pengusaha yang dibatasi oleh tembok tinggi merupakan latar belakang sosial. Dimana interaksi antara kedua komunitas ini memang ada dan saling ketergantungan. Komunitas buruh tambang memerlukan uang untuk melanjutkan kehidupan, sedang komunitas pengusaha memerlukan tenaga para buruh tambang untuk menjalankan usaha mereka.
3.      Latar Belakang Religi (agama)
Latar belakang religi atau agama si pengarang sangat terlihat seperti pantulan cermin dalam film “Laskar Pelangi” ini. Nuansa keislamannya begitu kental. Dalam beberapa penggalan cerita, pengarang sering kali menyelipkan pelajaran-pelajaran mengenai keislaman.
4.      Latar Belakang Ekonomi
Sebagian masyarakat Belitong mengabdikan dirinya pada perusahaan-perusahaan timah. Digambarkan dalam cerita bahwa Belitong adalah pulau yang kaya akan sumber daya alam. Namun tidak semua masyarakat Belitong bisa menikmati hasil bumi itu. PN memonopoli hasil produksi, sementara masyarakat termarginalkan di tanah mereka sendiri. Latar belakang ekonomi dalam cerita ini diambil dari kacamata masyarakat belitong kebanyakan yang tingkat ekonominya masih rendah. Padahal sumber daya alamnya tinggi.
5.      Latar Belakang Pendidikan
Dalam novel ini terkandung banyak sekali nilai-nilai edukasi yang disampaikan pengarang. Pengarang tidak hanya bercerita, tapi juga menyajikan berbagai ilmu pengetahuan yang diselipkan di antara ceritanya.  Begitu banyak cabang ilmu pengetahuan yang diselipkan antara lain seperti sains (fisika, kimia, biologi, astronomi). Pengarang gemar sekali memasukkan istilah-istilah asing ilmu pengetahuan yang tertuang dalam cerita. Ini menandakan bahwa pengarangnya memiliki tingkat pendidikan yang tinggi.
Benarkah Soekarno Komunis ?

Pertanyaan diatas sudah terlalu sering kita dengar. Terlebih diawal berdirinya ORBA atau saat-saat awal runtuhnya kekuasaan Bung Karno.
Mengapa isyu itu harus dihembuskan ? Jawabnya hanya satu: Masyarakat Indonesia sangat religius dan sangat sulit menerima kehadiran seorang komunis. Maka hanya dengan mengisyukan bahwa Soekarno komunislah usaha untuk melepaskan ikatan batin antara Soekarno dan masyarakat yang mencintainya akan berhasil.
Bung Karno, lahir bukan dari keluarga muslim dalam pengertian seperti keluarga “pak haji”. Ibunya dari Bali, yang tentu saja sebelumnya memeluk Hindu sebagai keyakinannya. Ayahnya? Seperti kebanyakan muslim Jawa tempo doeloe, yakni seorang muslim “abangan”, cenderung kejawen. Dia mengenal rukun Islam, dia menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai orang Islam, tetapi juga menjalankan ritual-ritual kejawen yang sarat mistik.
Perkenalan Sukarno dengan Islam lebih dalam, diakuinya saat usia 15 tahun, saat ia duduk di bangku HBS. Yang memperkenalkan adalah H.O.S. Cokroaminoto. Ia bahkan terbilang rajin mengikuti pengajian Muhammadiyah, di sebuah tempat di seberang Gang Peneleh, Surabaya, tempat ia tinggal bersama keluarga Cokro. Sekali dalam sebulan, ia mengaji di sana, dari pukul 20.00 hingga larut malam.
Akan tetapi, pendalaman terhadap Alquran diperoleh tahun 1928, saat ia mendekam di sel nomor 233 penjara Sukamiskin, Bandung. Segala bacaan yang berbau politik dilarang, jadilah ia mendalami Alquran sedalam-dalamnya. Kepada penulis biografinya, Cindy Adams, Bung Karno mengaku, sejak itu ia tak pernah meninggalkan sujud lima kali sehari menghadap ka’bah: Subuh, dhuhur, ‘asar, maghrib, dan isya.
Sejak itu pula, segala sesuatu dijawabnya dengan “Insya Allah — Kalau Tuhan menghendaki.” Mungkinkah seseorang yang sujud lima kali sehari menyembah Allah SWT adalah seorang komunis? Tanyalah dia, “He, Sukarno, apakah engkau akan pergi ke Bogor minggu ini?” Dan Sukarno akan menjawab, “Insya Allah, kalau Tuhan mengizinkan saya pergi.” Mungkinkan orang yang demikian dapat menjadi seorang komunis?
Ia sendiri meragukan kalau ada manusia yang bertahun-tahun disekap dalam dunia penjara yang gelap, tetapi masih meragukan adanya Tuhan. Akan halnya Sukarno, ia bertahun-tahun mendekam di balik jerajak besi. Malam-malam yang gelap, ia hanya bisa mengintip kerlip bintang di langit dari sebuah lubang penjara yang sempit. Manakala rembulan melintas, sejenak sinarnya mengintip Bung Karno di dalam penjara.
Masa-masa yang gelap di dalam penjara, masa-masa di mana ia tak bisa menelan bulat-bulat indahnya purnama dan bintang-gemintang, Bung Karno hanya bisa tertunduk sendiri. Ia sungguh tak tahu nasib akan berkata apa saat fajar menyingsing nanti. Sukarno menuturkan, dalam keadaan seperti itulah, sholat malam menjadi begitu khusuk.
Pengkajian alquran yang intens, menempatkan kesadaran tertinggi seorang Sukarno, bahwa Tuhan bukanlah suatu pribadi. Tuhan tiada hingganya, meliputi seluruh jagat raya. Ia Maha Kuasa. Ia Maha Ada. Tidak hanya di pengapnya ruang penjara, akan tetapi ada di mana-mana. Ia hanya esa. Tuhan ada di atas puncak gunung, di angkasa, di balik awan, di atas bintang-bintang yang ia lihat setiap malam-malam tak berawan. Tuhan ada di venus. Tuhan ada di Saturnus, Ia tidak terbagi-bagi di matahari dan di bulan. Tidak. Ia berada di mana-mana, di hadapan kita, di belakang kita, memimpin kita, menjaga kita.
Sampai pada kesadaran yang demikian, Bung Karno insaf seinsaf-insafnya, bahwa tak ada satu pun yang patut ia takutkan, karena ia sadar betul bahwa Tuhan tak jauh dari kesadarannya. Yang ia perlukan hanyalah bermunajat ke dalam hati yang terdalam untuk menemuiNya. Ia pun memasrahkan setiap langkahnya agar senantiasa dipimpin oleh Tuhan yang ia sembah dalam menggelorakan revolusi kemerdekaan.
Pertanyaan diatas sudah terlalu sering kita dengar. Terlebih diawal berdirinya ORBA atau saat-saat awal runtuhnya kekuasaan Bung Karno.
Mengapa isyu itu harus dihembuskan ? Jawabnya hanya satu: Masyarakat Indonesia sangat religius dan sangat sulit menerima kehadiran seorang komunis. Maka hanya dengan mengisyukan bahwa Soekarno komunislah usaha untuk melepaskan ikatan batin antara Soekarno dan masyarakat yang mencintainya akan berhasil.
Bung Karno, lahir bukan dari keluarga muslim dalam pengertian seperti keluarga “pak haji”. Ibunya dari Bali, yang tentu saja sebelumnya memeluk Hindu sebagai keyakinannya. Ayahnya? Seperti kebanyakan muslim Jawa tempo doeloe, yakni seorang muslim “abangan”, cenderung kejawen. Dia mengenal rukun Islam, dia menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai orang Islam, tetapi juga menjalankan ritual-ritual kejawen yang sarat mistik.
Perkenalan Sukarno dengan Islam lebih dalam, diakuinya saat usia 15 tahun, saat ia duduk di bangku HBS. Yang memperkenalkan adalah H.O.S. Cokroaminoto. Ia bahkan terbilang rajin mengikuti pengajian Muhammadiyah, di sebuah tempat di seberang Gang Peneleh, Surabaya, tempat ia tinggal bersama keluarga Cokro. Sekali dalam sebulan, ia mengaji di sana, dari pukul 20.00 hingga larut malam.
Akan tetapi, pendalaman terhadap Alquran diperoleh tahun 1928, saat ia mendekam di sel nomor 233 penjara Sukamiskin, Bandung. Segala bacaan yang berbau politik dilarang, jadilah ia mendalami Alquran sedalam-dalamnya. Kepada penulis biografinya, Cindy Adams, Bung Karno mengaku, sejak itu ia tak pernah meninggalkan sujud lima kali sehari menghadap ka’bah: Subuh, dhuhur, ‘asar, maghrib, dan isya.
Sejak itu pula, segala sesuatu dijawabnya dengan “Insya Allah — Kalau Tuhan menghendaki.” Mungkinkah seseorang yang sujud lima kali sehari menyembah Allah SWT adalah seorang komunis? Tanyalah dia, “He, Sukarno, apakah engkau akan pergi ke Bogor minggu ini?” Dan Sukarno akan menjawab, “Insya Allah, kalau Tuhan mengizinkan saya pergi.” Mungkinkan orang yang demikian dapat menjadi seorang komunis?
Ia sendiri meragukan kalau ada manusia yang bertahun-tahun disekap dalam dunia penjara yang gelap, tetapi masih meragukan adanya Tuhan. Akan halnya Sukarno, ia bertahun-tahun mendekam di balik jerajak besi. Malam-malam yang gelap, ia hanya bisa mengintip kerlip bintang di langit dari sebuah lubang penjara yang sempit. Manakala rembulan melintas, sejenak sinarnya mengintip Bung Karno di dalam penjara.
Masa-masa yang gelap di dalam penjara, masa-masa di mana ia tak bisa menelan bulat-bulat indahnya purnama dan bintang-gemintang, Bung Karno hanya bisa tertunduk sendiri. Ia sungguh tak tahu nasib akan berkata apa saat fajar menyingsing nanti. Sukarno menuturkan, dalam keadaan seperti itulah, sholat malam menjadi begitu khusuk.
Pengkajian alquran yang intens, menempatkan kesadaran tertinggi seorang Sukarno, bahwa Tuhan bukanlah suatu pribadi. Tuhan tiada hingganya, meliputi seluruh jagat raya. Ia Maha Kuasa. Ia Maha Ada. Tidak hanya di pengapnya ruang penjara, akan tetapi ada di mana-mana. Ia hanya esa. Tuhan ada di atas puncak gunung, di angkasa, di balik awan, di atas bintang-bintang yang ia lihat setiap malam-malam tak berawan. Tuhan ada di venus. Tuhan ada di Saturnus, Ia tidak terbagi-bagi di matahari dan di bulan. Tidak. Ia berada di mana-mana, di hadapan kita, di belakang kita, memimpin kita, menjaga kita.
Sampai pada kesadaran yang demikian, Bung Karno insaf seinsaf-insafnya, bahwa tak ada satu pun yang patut ia takutkan, karena ia sadar betul bahwa Tuhan tak jauh dari kesadarannya. Yang ia perlukan hanyalah bermunajat ke dalam hati yang terdalam untuk menemuiNya. Ia pun memasrahkan setiap langkahnya agar senantiasa dipimpin oleh Tuhan yang ia sembah dalam menggelorakan revolusi kemerdekaan.
http://penasoekarno.wordpress.com/2009/10/22/benarkah-soekarno-komunis/


Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia


Alasan Menulis Bab ini …
CARA yang paling mudah untuk melukiskan tentang diri Sukarno ialah dengan menamakannya seorang yang maha‐pencinta. Ia mencintai negerinya, ia mencintai rakyatnya, ia mencintai wanita, ia mencintai seni dan melebihi daripada segala‐galanya ia cinta kepada dirinya sendiri. Sukarno adalah seorang manusia perasaan. Seorang pengagum. Ia menarik napas panjang apabila menyaksikan pemandangan yang indah. Jiwanya bergetar memandangi matahari terbenam di Indonesia. Ia menangis dikala menyanyikan lagu spirituil orang negro. Orang mengatakan bahwa Presiden Republik Indonesia terlalu banyak memiliki darah seorang seniman. “Akan tetapi aku bersyukur kepada Yang Maha Pencipta, karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah seni. Kalau tidak demikian, bagaimana aku bisa menjadi Pemimpin Besar Revolusi, sebagairnana 105 juta rakyat menyebutku? Kalau tidak demikian, bagairnana aku bisa memimpin bangsaku untuk merebut kembali kemerdekaan dan hak‐asasinya, setelah tiga setengah abad dibawah penjajahan Belanda? Kalau tidak demikian bagaimana aku bisa mengobarkan suatu revolusi di tahun 1945 dan menciptakan suatu Negara Indonesia yang bersatu, yang terdiri dari pulau Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan bagian lain dari Hindia Belanda? Irama suatu‐revolusi adalah menjebol dan membangun. Pernbangunan menghendaki jiwa seorang arsitek. Dan di dalam jiwa arsitek terdapatlah unsur‐unsur perasaan dan jiwa seni. Kepandaian memimpin suatu revolusi hanya dapat dicapai dengan rnencari ilham dalam segala sesuatu yang dilihat. Dapatkah orang memperoleh ilham dalam sesuatu, bilamana ia bukan seorang manusia‐perasaan dan bukan manusia‐seni barang sedikit ? Namun tidak setiap orang setuju dengan gambaran Sukarno tentang diri Sukarno. Tidak semua orang menyadari, bahwa jalan untuk mendekatiku adalah semata‐mata melalui hati jang ikhlas. Tidak semua orang menyadari, bahwa aku ini tak ubahnya seperti anak kecil. Berilah aku sebuah pisang dengan sedikit simpati yang keluar dari lubuk‐hatimu, tentu aku akan mencintaimu untuk selama‐lamanja. Akan tetapi berilah aku seribu juta dollar dan disaat itu pula engkau tampar mukaku dihadapan umum, maka sekalipun ini nyawa tantangannya aku akan berkata kepadamu, “Persetan !” Manusia Indonesia hidup dengan getaran perasaan. Kamilah satu‐satunya bangsa di dunia yang mempunyai sejenis bantal yang dipergunakan sekedar untuk dirangkul. Di setiap tempat‐tidur orang Indonesia terdapat sebuah bantal sebagai kalang hulu dan sebuah lagi bantal kecil berbentuk bulatpanjang yang dinamai guling. Guling ini bagi kami gunanya hanya untuk dirangkul sepanjang malam. Aku menjadi orang yang paling menyenangkan didunia ini, apabila aku merasakan arus persahabatan, sirnpati terhadap persoalan‐persoalanku, pengertian dan penghargaan datang menyambutku. Sekalipun ia tak diucapkan, ia dapat kurasakan. Dan sekalipun rasa‐tidak senang itu tidak diucapkan, aku juga dapat merasakannya. Dalam kedua hal itu aku bereaksi menurut instink. Dengan satu perkataan yang lembut, aku akan melebur. Aku bisa keras seperti baja, tapi akupun bisa sangat lunak. Seorang diplomat tinggi Inggris masih belum menyadari, bahwa kunci menuju Sukarno akan berputar dengan mudah, kalau ia diminyaki dengan perasaan kasih sayang. Dalam sebuah suratnya belum lama berselang yang ditujukan ke Downing Street 10 ia menulis, “Presiden Sukarno tidak dapat dikendalikan, tidak dapat diramalkan dan tidak dapat dikuasai. Dia seperti tikus yang terdesak. “Suatu ucapan yang sangat bagus bagi seseorang yang telah mempersembahkan seluruh hidupnya kepangkuan tanah airnya, orang yang 13 tahun lamanya meringkuk dalam penjara dan pembuangan, karena ia mengabdi kepada suatu cita‐cita. Mungkin aku tidak sependapat dan sependirian dengan dia tetapi seperti seekor tikus? Jantungku berhenti mendenyut ketika surat itu sampai ditanganku. Ia mengakhiri suratnya dengan mengatakan, bahwa ia telah mengusahakan agar Sukarno mendapat perlakuan yang paling buruk dalam surat‐surat kabar.
“Aku tidak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat lagi tidur barang sekejap. Kadang‐kadang, dilarut tengah malam, aku menelpon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, “Bandrio, datanglah ketempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, ma’afkanlah.” Aku membaca setiap malam, berpikir setiap malam dan aku sudah bangun lagi jam lima pagi. Untuk pertamakali dalam hidupku aku mulai makan obat‐tidur. Aku lelah. Terlalu lelah. Aku bukan manusia yang tidak mempunyai kesalahan. Setiap makhluk membuat kesalahan. Di hari‐hari keramat aku minta ma’af kepada rakyatku dimuka umum atas kesalahan yang kutahu telah kuperbuat, dan atas kekeliruan‐kekeliruan yang tidak kusadari. Barangkali suatu kesalahanku ialah, bahwa aku selalu mengejar suatu cita‐cita dan bukan persoalan‐persoalan yang dingin. Aku tetap mencoba untuk menundukkan keadaan atau menciptakan lagi keadaan‐keadaan, sehingga ia dapat dipakai sebagai jalan untuk mencapai apa yang sedang dikejar. Hasilnya, sekalipun aku berusaha begitu keras bagi rakyatku, aku menjadi korban dari serangan‐serangan yang jahat. Orang bertanya, “Sukarno, apakah engkau tidak merasa tersinggung bila orang mengeritikmu?” Sudah tentu aku merasa tersinggung. Aku benci dimaki orang. Bukankah aku bersifat manusia seperti juga setiap manusia lainnya? Bahkan kalau engkau melukai seorang Kepala Negara, ia akan lemah. Tentu aku ingin disenangi orang. Aku mempunyai ego. Itu kuakui. Tapi tak seorangpun tanpa ego dapat menyatukan 10.000 pulau‐pulau menjadi satu Kebangsaan. Dan aku angkuh. Siapa pula yang tidak angkuh? Bukankah setiap orang yang membaca buku ini ingin mendapat pujian?.
Aku teringat akan suatu hari, ketika aku menghadapi dua buah laporan yang bertentangan tentang diriku. Kadang‐kadang seorang Kepala Pemerintahan tidak tahu, mana yang harus dipercayainya. Yang pertama berasal dari majalah “Look”. “Look” menyatakan, bahwa rakyat Indonesia semua menentangku. Majalah ini memuat sebuah tulisan mengenai seorang tukang becak yang mengatakan seakan‐akan segala sesuatu di Indonesia sangat menyedihkan keadaannya dan orang‐orang kampung pun sekarang sudah muak terhadap Sukarno.
Kusudahi membaca artikel itu pada jam lima sore dan tepat pada waktu aku telah siap hendak berjalanjalan selama setengah djam, seperti biasanya kulakukan dalam lingkungan istana, inilah satu‐satunya macam gerak badan bagiku seorang pejabat polisi yang sangat gugup dibawa masuk. Sambil berjalan kutanyakan kepadanya, apa yang sedang dipikirkannya. “Ya, Pak,” ia memulai, “Sebenarnya kabar baik.” “Apa maksudmu dengan sebenarnya kabar baik?” tanyaku. “Ya,” katanya, “Rakyat sangat menghargai Bapak. Mereka mencintai Bapak. Dan terutama rakyat jelata. Saya mengetahui, karena saya baru menyaksikan sendiri suatu keadaan yang menunjukkan penghargaan terhadap Bapak. Kemudian ia berhenti. “Teruslah,” desakku, “Katakan padaku. Darimana engkau dan siapa yang kautemui dan apa yang mereka lakukan?” “Begini, Pak,” ia mulai lagi. “Kita mempunyai suatu daerah, dimana perempuan‐perempuan lacur semua ditempatkan secara berurutan. Kami memeriksa daerah itu dalam waktu‐waktu tertentu, karena sudah menjadi tugas kami untuk mengadakan pengawasan tetap. Kemarin suatu kelompok memeriksa keadaan mereka dan Bapak tahu apa yang mereka temui ‐Mereka menyaksikan potret Bapak, Pak. Digantungkan di dinding.” “Dimana aku digantungkan?” tanyaku kepadanya. “Ditiap kamar, Pak. Ditiap kamar terdapat, sudah barang tentu, sebuah tempat tidur. Dekat tiap ranjang ada meja dan tepat diatas meja itu disitulah gambar Bapak digantungkan. “Dengan gugup ia mengintai kepadaku sambil menunggu perintah. “Pak, kami merasa bahagia karena rakyat kita memuliakan Bapak, tapi dalam hal ini kami masih ragu apakah wajar kalau gambar Presiden kita digantungkan di dinding rumah pelacuran. Apa yang harus kami kerdjakan? Apakah akan kami pindahkan gambar Bapak dari dinding‐dinding itu?” “Tidak,” djawabku. “Biarkanlah aku disana. Biarkan mataku yang tua dan letih itu memandangnya! “Tidak seorangpun dalam peradaban modern ini yang menimbulkan demikian banyak perasasn pro dan kontra seperti Sukarno. Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja bagai Dewa. Tidak jarang kakek‐kakek datang berkunjung kepadaku sebelum mereka mengakhiri hajatnya. Seorang nelayan yang sudah tua, yang tidak mengharapkan pujian atau keuntungan, berjalan kaki 23 hari lamanya sekedar hanya untuk sujud dihadapanku dan mencium kakiku. Ia menyatakan, bahwa ia telah berjanji pada dirinya sendiri, sebelum mati ia akan melihat wajah Presidennya dan menunjukkan kecintaan serta kesetiaan kepadanya. Banyak yang percaya bahwa aku seorang Dewa, mempunyai kekuatan‐kekuatan sakti yang menyembuhkan. Seorang petani kelapa yang anaknya sakit keras bermimpi, bahwa ia harus pergi kepada Bapak dan minta air untuk anaknya. Hanya air ledeng biasa dan yang diambil dari dapur. Ia yakin, bahwa air ini, yang kuambil sendiri, tentu mengandung zat‐zat yang menjembuhkan. Aku tidak bisa bersoal jawab dengan dia. karena orang Jawa adalah orang yang percaya kepada ilmu kebatinan, dan ia yakin bahwa ia akan kehilangan anaknya kalau tidak membawa obat ini dariku. Kuberikan air itu kepadanya. Dan seminggu kemudian anak itu sembuh kembali. Aku senantiasa mengadakan perjalanan ke pelbagai pelosok tanah air dari Sabang, negeri yang paling utara dari pulau Sumatra, sampai ke Merauke di Irian Barat dan yang paling timur. Beberapa tahun yang lalu aku mengunjungi sebuah desa kecil di Jawa Tengah. Seorang perempuan dari desa itu mendatangi pelayanku dan membisikkan, “Jangan biarkan orang mengambil piring Presiden. Berikanlah kepada saya sisanya. Saya sedang mengandung dan saya ingin anak laki‐laki. Saya mengidamkan seorang anak seperti Bapak. Jadi tolonglah, biarlah saya memakan apa‐apa yang telah dijamah sendiri oleh Presidenku.” Di pulau Bali orang percaya, bahwa Sukarno adalah penjelmaan kembali dari Dewa Wishnu, Dewa Hujan dalam agama Hindu. Karena, bilamana sajapun Bapak datang ke tempat istirahat yang kecil, yang kurencanakan dan kubangun sendiri di luar Denpasar, bahkan sekalipun di tengah musim kemarau, kedatanganku bagi mereka berarti hujan. Orang Bali yakin, bahwa aku membawa pangestu kepada mereka. Dikala terakhir aku terbang ke Bali disana sedang berlangsung musim kering. Tepat setelah aku sampai disana, langit tercurah. Berbicara secara terus‐terang, aku memanjatkan‐do’a syukur kehadirat Yang Maha Pengasih manakala turun hujan selama aku berada di Tampaksiring. Karena, kalaulah ini tidak terjadi, sedikit banyak akan mengurangi pengaruhku.Namun, dunia hanya membaca tentang satu orang tukang becak. Dunia hanya tahu, bahwa Sukarno bukan ahli ekonomi. Itu memang benar. Aku bukan ahli ekonomi. Tapi apakah Kennedy ahli ekonorni? Apakah Johnson ahli ekonomi? Apakah itu suatu alas an bagi majalah‐majalah Barat untuk menulis bahwa negeriku sedang menuju kepada keruntuhan ekonomi? Atau bahwa kami adalah “bangsa yang bobrok”. Atau untuk menjuduli sebuah cerita: “Mari kita bergerak menentang Sukarno?” Kalau para wartawan membenci Jepang atau Filipina, mereka dapat menyebut suatu daerah di sana, dimana seluruh keluarga — ibu, bapak dan anak‐anaknya—bunuh diri, karena menderita kelaparan. Ini semua sudah diketahui orang. Tapi tidak! Hanya mengenai “Orang Jahat dari Asia” mereka membuat foto‐foto dari penderitaan rakyat, karena kekurangan makanan oleh musim kering dan hama tikus, sementara dilatarbelakangnya digambarkan hotelku yang indah. Lalu kepala karangannya: “Indonesia kepunyaan Sukarno”. Tapi itu BUKAN Indonesia kepunyaan Sukarno. Indonesia kepunyaan Sukarno sekarang adalah suatu bangsa yang 10051 bebas buta huruf di bawah umur 45 tahun.
Pada waktu Negara kami dilahirkan duapuluh tahun yang lalu hanya 6% dari kami yang pandai baca tulis. Indonesia kepunyaan Sukarno sekarang adalah suatu bangsa yang dua inci lebih tinggi daripada generasi terdahulu. Apakah masuk diakal, anak‐anak bisa tumbuh lebih subur dalam keadaan kelaparan?. Akan tetapi wartawan‐wartawan terus saja menulis, bahwa aku ini seorang “Budak Moskow”. Marilah kita perbaiki ini sekali dan untuk selama‐lamanya. Aku bukan, tidak pernah dan tidak mungkin menjadi seorang Komunis. Aku menyembah ke Moskow? Setiap orang yang pernah mendekati Sukarno mengetahui, bahwa egonya terlalu besar untuk bisa menjadi budak seseorang—kecuali menjadi budak dari rakyatnya. Namun para wartawan tidak menulis tentang apa‐apa yang baik dari Sukarno. Pokok pokok yang dibicarakan hanya tentang yang jelek dari Sukarno.Mereka suka memperlihatkan Hotel Indonesiaku yang penuh gairah dan di belakangnya gambar‐gambar daerah pinggiran yang miskin. Alasan dari “orang yang menghamburkan uang” mendirikan gedung itu ialah, untuk memperoleh devisa yang tidak dapat kami cari dengan jalan lain. Kami menghasilkan dua juta dollar Amerika setelah hotel itu berjalan selama setahun. Aku sadar, bahwa kami masih mempunyai daerah pinggiran yang miskin dekat itu. Akan tetapi negeri‐negeri yang kayapun punya hotel yang gemerlapan, empuk dari yang harganya jutaan dollar, sedang di sudutnya terdapat bangunan‐bangunan yang tercela penuh dengan kotoran, busuk dan jelek. Aku melihat orang‐orang kaya dengan segala kemegahannya berjalan dengan sedansedan yang mengkilap, akan tetapi aku juga melihat mereka‐mereka yang malang mencakar‐cakar dalam
tong sampah mencari kulit kentang. Memang ada daerah pinggiran yang miskin di seluruh kota di dunia. Bukan hanya di Jakarta kepunyaan Sukamo. Barat selalu menuduhku terlalu memperlihatkan muka manis kepada Negara‐Negara Sosialis. “Ooohh,” kata mereka, “Lihatlah Sukarno lagi‐lagi bermain‐main sahabat dengan Blok Timur.” Yah, mengapa tidak? Negara‐Negara Sosialis tak pernah mengizinkan seorangpun mengejekku dalam pers mereka. Negara‐Negara Sosialis selalu memujiku. Mereka tidak membikin aku malu ke seluruh dunia ataupun tidak memperlakukanku di muka umum seperti seorang anak yang tercela dengan menolak memberikan lebih banjak jajan sampai aku menjadi anak yang manis. Negara‐Negara Sosialis selalu mencoba untuk merebut hati Sukarno. Krushchov mengirimi aku jam dan pudding dua minggu sekali dan memetikkan appel, gandum dan hasil tanaman lain dari panennya yang terbaik. Jadi, salahkah aku kalau berterima‐kasih kepadanya? Siapakah yang takkan ramah terhadap seseorang yang bersikap ramah kepadanya? Aku mengejar politik netral, ya! Akan tetapi dalam hati kecilnya siapa yang menyalahkanku, jika aku berkata, “Terimakasih rakyat‐rakyat Negara Blok Timur, karena engkau selalu memperlihatkan kepadaku tanda persahabatan.
Terima‐kasih rakyat‐rakyat Negara Blok Timur, karena engkau berusaha tidak menyakiti hatiku. Terimakasih, karena engkau telah menyampaikan kepada rakyatmu bahwa Sukamo setidak‐tidaknya mencoba sekuat tenaganya berbuat untak negerinya. Terima‐kasih atas pemberianmu.” Apa yang kuucapkan itu adalah tanda terima‐kasih, bukan Komunisme! Aku dicela dalam berbagai soal. Mengapa dia ‐terlalu banyak mengadakan perjalanan, musuh‐musuhku selalu bertanya. Di bulan Juni 1960, pada waktu aku mengadakan perlawatan selama dua bulan empat hari ke India, Hongaria, Austria, RPA, Guinea, Tunisia, Marokko, Portugal, Cuba, Puerto Rico, San Francisco, Hawaii dan Jepang, kepadaku ditujukan kata‐kata
baru yang dikarang buat diriku. Aku malahan tidak tahu apa maksud “Have 707 Will Travel” hingga seorang sahabat bangsa Amerika menerangkannya. Memang benar, bahwa aku adalah satu‐satunya Presiden yang mengadakan demikian banyak perlawatan. Aku sudah kemana‐mana kecuali ke London, sekalipun Ratu Inggris sudah dua kali mengundangku untuk berkunjung. Aku mengharapkan, di satu saat dapat menerima keramahannya itu. Ada sebabnya aku mengadakan perlawatan itu. Aku ingin agar Indonesia dikenal orang. Aku ingin memperlihatkan kepada dunia, bagaimana rupa orang Indonesia. Aku ingin menyampaikan kepada dunia, bahwa kami bukan “Bangsa yang pandir” seperti orang Belanda berulang‐ulang kali mengatakan kepada kami. Bahwa kami bukan lagi “Inlander goblok hanya baik untuk diludahi” seperti Belanda mengatakan kepada kami berkali‐kali. Bahwa kami bukanlah lagi penduduk kelas kambing yang berjulan menyuruk nyuruk dengan memakai sarung dan ikat kepala, merangkak‐rangkak seperti yang dikehendaki oleh majikan‐majikan kolonial dimasa yang silam. Setelah Republik Rakyat Tiongkok, India, Uni Soviet, dan Amerika Serikat, maka kami adalah bangsa yang ke lima di dunia dalam hal jumlah penduduk. 3000 dari pulau‐pulau kami dapat didiami. Tapi tahukah Saudara berapa banyak rakyat yang tidak mengetahui tentang Indonesia? Atau dimana letaknya? Atau tentang warna kulitnya, apakah kami sawomatang, hitam, kuning atau putih?. Yang mereka ketahui hanya nama Sukarno. Dan mereka mengenal wajah Sukarno. Mereka tidak tahu, bahwa negeri kami adalah rangkaian pulau yang terbesar di dunia. Bahwa negeri kami terhampar sepanjang 5.000 kilometer atau menutupi seluruh negeri‐negeri Eropa sejak dari pantai Barat benuanya sampai keperbatasan paling ujung di sebelah Timur. Mereka tidak tahu, bahwa kami sesudah Australia adalah negara keenam terbesar, dengan luas tanah sebesar dua juta mil persegi. Mereka umumnya tidak menyadari, bahwa kami terletak antara dua benua, benua Asia dan Australia, dan dua buah Samudra raksasa, Lautan Teduh dan Samudra Indonesia. Atau, bahwa kami menghasilkan kopi yang paling baik didunia; dari itu timbulnya ucapan: “A cup of Java”. Bahwa setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet maka Indonesialah penghasil minyak yang terbesar di Asia Tenggara dan penghasil timah yang kedua terbesar di dunia, negara terkaya di alam semesta dalam hal sumber alam. Atau, bahwa satu dari empat buah ban mobil, Amerika dibuat dari karet Indonesia. Namun apa yang mereka mau tahu hanya nama Sukarno.
Departemen Luar Negeri kami menyatakan kepadaku, bahwa satu kali kunjungan Sukarno sama artinya dengan sepuluh tahun pekerjaan Duta. Dan itulah alasan, mengapa aku mengadakan perlawatan dan mengapa aku selalu memberikan kenyataan‐kenyataan tentang tanah airku dalam setiap pidato yang kuucapkan di setiap penjuru dunia. Aku hendak mengajar orang‐orang asing dan memberikan pandangan pertama selintas lalu tentang negeriku, yang terhampar menghijau dan tercinta ini laksana untaian zamrud yang melingkar di sepanjang katulistiwa.Pada suatu hari sekretarisku menyerahkan sebuah surat yang beralamat singkat “Presiden Sukarno, Indonesia, Asia Tenggara”. Penulis surat ini berkata, ia mendengar bahwa aku ini mengekang kemerdekaan pers dan apakah itu benar dan kalau memang demikian alangkah kejamnya aku ini! Orang yang menulis surat picisan ini menamakan aku seorang yang
angkara. Dia mengejek kepadaku, tapi ini tidak kupedulikan. Tahukah engkau apa yang membuat aku gusar? Kenyataan bahwa dia menganggap kantor pos tidak tahu dimana letak Indonesia. Dan oleh sebab itu dia menambahkan kata‐kata “Asia Tenggara” pada alamatnya! Pendapat manusia berjalan bagai gelombang. Dalam tahun ’56 ketika aku pertamakali berkundjung ke Amerika Serikat, setiap orang menyukaiku. Sekarang arusnya menjadi terbalik, menentang Sukarno. Betapapun, aku telah dijadikan bulan‐bulanan.
Baru‐baru ini diserahkan kepadaku sebuah majalah remaja Amerika. Majalah itu memperlihatkan gadis striptease setengah telanjang, yang hanya memakai celana dalam dan berdiri di samping Sukarno berpakaian seragam militer lengkap. Ini adalah kombinasi yang ditempelkan menjadi satu supaya kelihatan seolah‐olah satu foto dari seorang gadis penari telanjang membuka pakaiannya dihadapan Presiden Republik Indonesia. Kedua foto ini ditempelkan satu dengan yang lain. Ini adalah perbuatan kotor yang dilakukan terhadap seorang Kepala Negara. Apakah aku harus mencintai Amerika, kalau ia melakukan perbuatan seperti itu terhadap diriku? Aku memperbincangkan muslihat semacam ini dengan Presiden Kennedy yang sangat kuhormati. John F. Kennedy dan aku saling menyukai pergaulan kami satu sama lain. Dia berkata, “Presiden Sukarno, saya sangat mengagumi Tuan. Seperti saya sendiri, Tuan mempunyai pikiran yang senantiasa menyelidiki dan bertanya‐tanya. Tuan membaca segala‐galanya. Tuan sangat banyak mengetahui.” Lalu dia membicarakan cita‐cita politik yang kupelopori dan mengutip bagian‐bagian dari pidato‐pidatoku. Kennedy mempunyai cara untuk mendekati seseorang melalui hati manusia. Kami banyak mempunyai persamaan. Kennedy adalah orang yang sangat ramah dan menunjukkan persahabatan terhadapku. Dia membawaku ke tingkat atas, ke kamar tidurnya sendiri dan disanalah kami bercakap‐cakap. Kukatakan kepadanya, “Tuan Kennedy, apakah Tuan tidak menyadari, bahwa sementara Tuan sendiri memadu hubungan persahabatan, seringkali Tuan dapat merusakkan hubungan dengan negara‐negara lain dengan membiarkan ejekan, serangan makian dan mengizinkan kritik‐kritik secara tetap terhadap pemimpin mereka dalam pers Tuan? Kadang‐kadang kami lebih condong untuk bertindak atau memberikan reaksi lebih keras, oleh karena kami dilukai atau dibikin marah. Sesungguhnya apakah pergaulan internasional itu bukan pergaulan antar manusia dalam hubungan yang lebih besar? Penggerogotan terus‐menerus semacam ini merobek‐robek keseimbangan dan mempertegang lebih hebat lagi hubungan yang sulit antara negara lain dengan negeri Tuan.” Saya setuju dengan Tuan, Presiden Sukarno. Sayapun telah mendapat kesukaran dengan para wartawan kami,” dia mengeluh. “Apakah kami beruntung atau tidak, namun kemerdekaan pers merupakan satu bagian dari pusaka peninggalan Amerika.” Ketika Alben Barkley menjadi Wakil Presiden Amerika Serikat, ia mengunjungi tanah air saya,” kataku. Dan saya sendiri berdiri dekat beliau di waktu beliau dicium oleh serombongan anak‐anak gadis cantik remadja.” Saya yakin, tentu Wakil Presiden Barkley sangat bersenang hati,” kata Kennedy dengan ketawa yang disembunyikan. Sekalipun demikian tak satupun surat kabar Indonesia mau menyiarkannya.
Dan disamping itu mereka tak berani mengambil resiko untuk menimbulkan kesusahan terhadap seorang negarawan ke seluruh dunia. Barkley adalah seorang yang gembira dan barangkali tidak peduli bila gambarnya itu dimuat. Akan tetapi bukanlah itu soalnya. Yang pokok adalah bahwa kami berkeyakinan perlunya para pemimpin dunia dilindungi di negeri kami. “Kennedy sangat seperasaan denganku mengenai soal ini dan berkata kepadaku dengan penuh kepercayaan, “Tuan memang benar sekali, tapi apa yang dapat saya lakukan? Sedangkan saya dikutuk di negeri saya sendiri.” Karena itu kataku, “Ya, itulah sistem Tuan. Kalau Tuan dikutuk di rurnah sendiri, saya tidak dapat berbuat apa‐apa. Akan tetapi saya kira saya tidak perlu menderita penghinaan seperti itu di negeri Tuan, dimana Kepala Negaranya sendiri harus menderita sedemikian. Majalah Tuan “Time” dan “Life” terutama sangat kurang ajar terhadap saya. Coba pikir, “Time” menulis, “Sukarno tidak bisa melihat rok wanita tanpa bernafsu”. Selalu mereka menulis yang jelek‐jelek. Tidak pernah hal‐hal yang baik yang telah saya kerdjakan. “Sekalipun Presiden Kennedy dan aku telah mengadakan pertemuan pendapat, persetujuan dalam lingkungan kecil ini tidak pernah tersebar dalam pers Amerika Serikat. Masih saja, hari demi hari, mereka menggambarkanku sebagai pengejar cinta. Ya, ya, ya, aku mencintai wanita. Ya, itu kuakui. Akan tetapi aku bukanlah seorang anak pelesiran sebagaimana mereka tudukkan padaku. Di Tokyo aku telah pergi dengan kawan‐kawan ke suatu Rumah Geisha. Tiada sesuatu yang melanggar susila mengenai Rumah Geisha itu. Orang sekedar duduk, makan‐makan, bercakap‐cakap dan mendengarkan musik. Hanya itu. Akan tetapi dalam majalah‐majalah Barat digembar‐gemborkan seolaholah aku ini Le Grand Seducteur. Tanpa hiburan‐hiburan kecil ini aku akan mati. Aku mencintai hidup. Orang‐orang‐asing yang mengunjungi istanaku menyatakan, bahwa aku menyelenggarakan, “suatu istana yang menyenangkan.” Ajudan‐ajudanku mempunyai wajah‐wajah yang senyum. Aku berkelakar dengan mereka, menyanyi dengan mereka. Bila aku tidak memperoleh kegembiraan, nyanyian dan sedikit hiburan kadang‐kadang, aku akan dibinasakan oleh kehidupan ini. Umurku sudah 64 tahun. Menjadi Presiden adalah pekerjaan yang membikin orang lekas tua. Dan kalau orang menjadi tua, tentu tidak baik bagi seseorang. Karena itu, sesekali aku harus lari dari keadaan ini, supaya aku dapat hidup seterusnya. Banyak kesenangan‐kesenangan yang sederhana telah dirampas dariku. Misalnya, di masa kecilku aku telah mengelilingi pulau Jawa dengan sepeda. Sekarang perjalanan semacam itu tidak dapat kulakukan lagi, karena tentu tidak sedikit orang yang akan mengikutiku.
Di Hollywood aku diberi kesempatan untuk rnelihat‐lihat di sekitar studio‐studio film. Waktu meninggalkan halaman studio aku melihat seorang anak pengantar surat lewat dengan sepeda, lalu menghentikan sepedanya untuk sesaat. Tiba‐tiba aku merasa senang dan pikiranku terbuka, karena itu aku naik dan pergi. Aku bukan hendak memberi kesan kepada siapapun. Hanya karena merasa senang. Yah, gema dan gambarku ini tersebar ke seluruh dunia ini. Di negeriku sendiripun aku tak dapat lagi menikmati kesenangan yang paling memuaskan hati, yaitu menggeledahi toko‐toko kesenian, melihatlihat benda yang akan dikumpulkan, lalu menawarnya. Kemanapun aku pergi, rakyat berkumpul berbondong‐bondong. Dokterku telah memperhatikan, bahwa kegembiraan memang mutlak perlu buat menjaga kesehatanku. Dengan demikian aku bisa terlepas sedikit dari diriku sendiri dan dari penjaraku. Karena begitulah keadaanku. Seorang tawanan. Tawanan dari tata cara serba resmi. Tawanan dari tata cara kesopanan. Tawanan dari perilaku yang baik. Setiap orang harus mencari suatu kesenangan supaya terlepas dari segala tata laku ini. Presiden Ayub Khan main golf, Kennedy berperahu layar, Pangeran Norodom Sihanouk mengarang musik, Raja Muang Thai main saxophone, Lyndon Johnson mempunyai tempat peternakan. Akupun memerlukan kesenangan. Karena itu, bila aku mengadakan perjalanan, aku mengizinkan diriku sendiri dengan kesenangan menjalankan tugas dalam mengejar kebahagiaan. Sesuai dengan Undang‐Undang Dasar Amerika Serikat setiap orang berhak mengejarnja. Menjadi Presiden karena diperlukan menyebabkan orang menjadi terasing. Kecakapan dan sifat‐sifat yang memungkinkan orang menduduki jabatan Presiden itu adalah kecakapan dan sifat itu juga yang menyebabkan ia diasingkan. Akan tetapi, di mata orang luar aku selalu gembira. Pembawaanku adalah demikian, sehingga perasaan susah yang teramat sangat tidak pernah memperlihatkan diri. Sekalipun perasaanku hancur luluh di dalam, orang tak dapat menduganya. Bukankah Sukarno terkenal dengan “senjumnya”? Apapun juga persoalanku— Malaysia, kemiskinan, lagi‐lagi percobaan pembunuhan—Sukarno dari luar senantiasa gembira. Seringkali aku duduk‐duduk seorang diri di beranda Istana Merdeka. Beranda itu tidak begitu indah. Setengah tertutup dengan layar untuk menghambat panas dan cahaya matahari. Perabotnya terdiri dari korsi rotan yang tidak dilapis dan tidak dicat dan meja beralas kain batik halus buatan negeriku. Suatu keistimewaan yang kuperoleh karena jabatan tinggi adalah sebuah kursi yang menyendiri pakai bantal. Itulah yang dinamakan “Kursi Presiden”. Dan aku duduk disana. Merenung. Dan memandang keluar ke taman indah yang menghilangkan kelelahan pikiran, taman yang kutanami dengan tanganku sendiri. Dan batinku merasa sangat sepi. Aku ingin bercampur dengan rakyat. Itulah yang menjadi kebiasaanku. Akan tetapi aku tidak dapat lagi berbuat demikian. Seringkali aku merasakan badanku seperti akan lemas, napasku akan berhenti, apabila aku tidak bisa keluar dan bersatu dengan rakyat jelata yang melahirkanku. Kadang‐kadang aku menjadi seorang Harun al Rasyid. Aku berputar‐putar keliling kota. Seorang diri. Hanya dengan seorang ajudan berpakaian preman di belakang kendaraan. Terasa olehku kadang‐kadang, bahwa aku harus terlepas dari berbagai persoalan untuk sesaat dan merasakan irama denyut jantung tanah airku. Namun persoalan‐persoalan selalu mengikutiku bagai bayangan besar dan hitam dan yang datang dengan samar menakutkan di belakangku. Aku takkan bisa lepas daripadanya. Aku takkan keluar dari genggamannya. Aku takkan dapat maju dengannya. Ia bagai hantu yang senantiasa mengejar‐ngejar. Pakaian seragam dan peci hitam merupakan tanda pengenalku. Akan tetapi adakalanya kalau hari sudah malam aku menukar pakaian pakai sandal, pantalon dan kalau hari terlalu panas aku hanya memakai kemeja. Dan dengan kacamata berbingkai tanduk rupaku lain samasekali. Aku dapat berkeliaran tanpa dikenal orang dan memang kulakukan. Ini kulakukan karena ingin melihat kehidupan ini. Aku adalah kepunyaan rakyat. Aku harus melihat rakyat, aku harus mendengarkan rakyat dan bersentuhan dengan mereka. Perasaanku akan tenteram kalau berada diantara mereka. Ia adalah roti kehidupan bagiku. Dan aku merasa terpisah dari rakyat jelata. Kudengarkan percakapan mereka, kudengarkan mereka berdebat, kudengarkan mereka berkelakar dan bercumbu‐kasih. Dan aku merasakan kekuatan hidup mengalir keseluruh batang tubuhku.
Kami pergi dengan mobil kecil tanpa tanda pengenal. Adakalanya aku berhenti dan membeli sate di pinggiran jalan. Kududuk seorang diri di pinggir trotoar dan menikmati jajanku dari bungkus daun pisang. Sungguh saat‐saat yang menyenangkan. Rakyat segera mengenalku apabila mendengar suaraku. Pada suatu malam aku pergi ke Senen, di sekitar gudang kereta api, dengan seorang Komisaris Polisi. Aku berputar‐putar di tengah‐tengah rakyat dan tak seorangpun memperhatikan kami. Akhirnya, untuk sekedar berbicara aku bertanya kepada seorang laki‐laki, “Dari mana diambil batu bata ini dan bahan konstruksi yang sudah dipancangkan ini?” Sebelum ia dapat memberikan jawaban, terdengar teriakan, “Hee,” teriak suara perempuan, “Itu suara Bapak Ya, suara.., Elapak Hee, orang‐orang, ini Bapak Bapak “Dalam beberapa detik ratusan kemudian ribuan rakyat datang berlari‐lari dari segala penjuru. Dengan cepat Komisaris itu membawaku keluar dari situ, masuk mobil kecil kami dan menghilang. Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan Presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil. Memang ada beberapa orang kawanku. Tidak banyak. Seringkali pikiran oranglah yang berubah‐ubah, bukan pikiranmu. Mereka memperlakukanmu lain. Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini disekelilingku. Karena itulah, apabila aku terlepas dari penjaraku ini, aku menyenangkan diriku sendiri.
Di Tokyo aku bisa pergi ke Kokusai Gekijo, dimana mereka mempertunjukkan di atas panggung sekaligus empat ratus gadis‐gadis jelita. Ditahun 1963 aku baru tahu, bahwa Duta Besar Indonesia untuk Jepang di waktu itu tidak pernah mengunjungi panggung ini. Aku mengumpatnya, “Hei, Bambang Sugeng, engkau ini Duta Besar yang malang. Seorang diplomat harus mengecap setiap jenis kehidupan negeri dimana dia ditempatkan. Hayo, Mari kita pergi melihat gadis‐gadis itu. “Akupun mengajak seorang Indonesia yang bersusila kawakan, yang kaget apabila Presidennya mempercakapkan wanita. Orang ini mengerling pada gadis‐gadis yang cantik ini, kemudian bangkit dan berkata, “Saya tidak dapat menyaksikannya. Saya akan pergi saja. Terlalu menegangkan pikiran saya.” Dia seorang munafik. Aku benci orang‐orang munafik. Sudah barang tentu lagi‐lagi reputasiku menyebabkan aku menjadi korban keadaan. Di Filipina di tahun 1964, Presiden Diosdado Macapagal menyambutku di lapangan terbang. Beliau mengiringkanku ke Laurels Mansion dimana aku menginap. Disana tinggal Tuan Laurels bekas Presiden Filipina, isterinya dan anak cucunya. Untuk lebih memeriahkan kedatanganku mereka mendatangkan Bayanihan Cultural
Ensemble, suatu perkumpulan paduan suara, yang menyambutku dengan Tari Lenso sebagai tanda penghormatan. Dua orang wanita muda tampil dari dalam kelompok ensemble itu dan meminta kepadaku untuk turut menari. Sukar untuk menolaknya, karena itu aku mulai menari dan GEGER! Kilat lampu! Jepretan karnera! Dan induk karangannya: “Lihat Sukarno pengejar cinta mulai lagi”. Aku menyukai gadis gadis yang menarik di sekelilingku, karena gadis‐gadis ini bagiku tak ubahnya seperti kembang yang sedang mekar dan aku senang memandangi kembang. Di tahun 1946, di hari‐hari yang berat itu semasa revolusi fisik, isteri dari sekretaris duaku datang setiap pagi hanya sekedar untuk membelah telor untuk sarapanku. Ah, sebenarnya aku sendiri bisa memecahkannya, akan tetapi isteriku tak pernah bangun begitu pagi dan aku merasa lebih tenang dan kuat disaat‐saat yang tegang seperti itu apabila melihat barang sesuatu tersenyum disekitarku. Aku merasa terhibur oleh wanita‐wanita muda di sekeliling kantorku. Apabila para tetamu menyiasati tentang ajudan‐ajudan wanitaku yang masih muda belia, aku berkelakar kepada mereka, “Perempuan tak ubahnya seperti pohon karet. Dia tidak baik lagi setelah tigapuluh tahun.” Katakanlah, aku bereaksi lebih baik terhadap wanita. Wanita lebih mengerti. Wanita lebih bisa turut merasakan. Kuanggap mereka memberikan kesegaran. Justru wanitalah yang dapat memberikan ini kepadaku. Sekali lagi, aku tidak berbicara dalam arti jasmaniah. Aku hanya sekedar tertarik pada suatu pandangan yang lembut atau sesuatu yang kelihatan indah. Sebagai seorang seniman, aku tertarik menurut pembawaan watak kepada segala apa yang menyenangkan pikiran. Bila hari sudah larut aku merasa lelah. Seringkali aku kehabisan tenaga, sehingga sukar untuk menggerakkan persendian. Dan apabila seorang sekretaris laki‐laki berbadan besar, tidak menarik, buruk dan botak datang membawa setumpukan tinggi surat‐surat untuk ditandatangani, aku akan berteriak kepadanya supaya dia segera pergi dan membiarkanku seorang diri. Sepihan‐sepihan kulitnya akan rontok dari badannya karena kaget. Aku akan menggeledek kepadanya. Aku akan bangkitkan petir diatas kepalanya. Akan tetapi bilamana yang datang seorang gadis sekretaris berbadan ramping, dengan dandan yang rapi dan meluapkan bau harum menyegarkan tersenyum manis dan berkata kepadaku dengan lunak, “Pak, silahkan!”, tahukah
engkau apa yang terjadi? Bagaimanapun keadaan hatiku, aku akan menjadi tenang. Dan aku akan selalu berkata, “Baik”. Di tahun ’61 aku sakit keras. Di Wina para ahli mengeluarkan batu dari ginjalku. Waktu itu adalah saat memuncaknya perjuangan kami merebut kembali Irian Barat dan dalam kalangan lawan lawan kami timbul kegembiraan. Tidak guna lagi mengutuk Sukarno dan meminta‐minta supaya dia mati, karena Sukarno sekarang sedang menuju kematiannya. Karena itu para dokter melakukan perawatan yang lebih teliti terhadap diriku. Mereka membujuk hatiku, “Jangan kuatir, Presiden Sukarno, kami akan memberikan perawat‐perawat yang berpengalaman untuk menjaga Tuan.” Hehhhh!! Ketika hal ini disampaikan kepadaku, keadaanku menjadi lebih payah daripada sewaktu aku mula‐mula masuk. Aku tahu apa yang akan kuhadapi. Aku tidak berkata apa‐apa, karena aku tidak mau menentang dokter. Pendeknya di hari berikut ia melakukan pembedahan dan aku ingin agar hatinya senang terhadapku selama ia menjalankan pembedahan itu. Akan tetapi sementara itu aku berpikir dalam hatiku sendiri, “Aku akan lebih cepat sembuh dengan gadisgadis perawat yang tidak berpengalaman, karena yang sudah punya pengalaman 40 tahun tentu setidaktidaknya sekarang sudah berumur 55 ! “Orang mengatakan, bahwa Sukarno suka melihat perempuan cantik dengan sudut matanya. Kenapa mereka berkata begitu? Itu tidak benar. Sukarno suka memandangi perempuan cantik dengan seluruh bola matanya. Akan tetapi ini bukanlah suatu kejahatan. Sedangkan Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam mengagumi keindahan. Dan sebagai seorang Islam yang beriman aku adalah pengikut Nabi Muhammad yang mengatakan, “Tuhan yang dapat menciptakan makhluk‐makhiuk yang cantik seperti wanita adalah Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Pengasih.” Aku setuju dengan ucapan beliau. Seperti yang dikisahkan, Muhammad mempunyai seorang budak bernama Said. Said, orang yang pertama‐tama masuk Islam, mempunjai isteri yang sangat cantik bernama Zainab. Ketika Muhammad melihat Zainab, beliau mengucapkan “Allahu Akbar”, Tuhan Maha Besar. Tatkala murid‐muridnya bertanya, mengapa beliau mengucapkan Allahu Akbar ketika melihat Zainab, maka beliau menjawab, “Aku memuji Tuhan karena telah menciptakan makhluk‐makhluk yang cantik seperti perempuan ini.” Aku menjunjung Nabi Besar. Aku mempelajari ucapan‐ucapan beliau dengan teliti. Jadi, moralnya bagiku adalah: bukanlah suatu dosa atau tidak sopan kalau seseorang mengagumi seorang perempuan yang cantik. Dan aku tidak malu berbuat begitu, karena dengan melakukan itu pada hakekatnya aku memuji Tuhan dan memuji apa yang telah diciptakan‐Nya. Aku hanya seorang pencinta kecantikan yang luar biasa. Aku mengumpulkan benda‐benda perunggu karya seni dari Budapest, seni pualam dari Italia, lukisan‐lukisan dari segala penjuru. Untuk Istana Negara di Jakarta aku sendiri berbelanja membeli kandil kristal yang berat dan kursi beludru cukilan emas di Eropa. Aku memungut permadani di Iraq. Aku membuat sendiri rencana meja kantorku dari satu potong kayu jati Indonesia yang utuh. Aku merencanakan meja ruang makan Negara dari satu potong kayu jati Indonesia. Aku menggantungkan setiap kain hiasan dinding, memilih setiap barang, merencanakan dimana harus diletakkan setiap pot bunga atau karya seni pahat. Kalau aku melihat sepotong kertas di lantai, aku akan berhenti dan memungutnya. Anggota Kabinet tertawa melihat bagaimana aku, di tengah‐tengah persoalan yang pelik, datang kepada mereka dan meluruskan dasinya. Aku senang bila makanan diatur secara menarik di atas meja. Aku mengagumi keindahan dalam segala bentuk.
Dalam perkunjungannya ke Istana Negara di Bogor, seorang Texas terpikat hatinya pada salah satu benda seniku. “Tuan Presiden,” katanya tiba‐tiba. “Saya akan menyampaikan apa yang hendak saya kerjakan untuk Tuan. Saya akan menyerahkan sebuah Cadillac sebagai ganti ini.” Kukatakan kepadanya “Yah, tak soal kata‐kata apa yang telah kuucapkan kepadanya. Tapi pokoknya adalah “Tidak”. Tidak satupun dari benda‐benda indah yang telah kukumpulkan dapat ditukar dengan Cadillac. Kalau aku senang kepadamu, engkau akan kuberi sebuah lukisan atau barang tenunan sebagai hadiah. Akan tetapi untuk menjualnja, tidak, sekali‐kali tidak. Semua itu akan kuwariskan kepada rakyat Indonesia, bilamana aku pergi. Biarlah rakyatku memasukkannya ke dalam Museum Nasional. Kemudian, apabila mereka lelah atau pikirannya kacau, biarlah mereka duduk dihadapan sebuah lukisan dan meneguk keindahan dan ketenangannya, sehingga mengisi seluruh kalbu mereka dengan kedamaian seperti ia juga terjadi terhadap diriku. Ya, aku akan mewariskan hasil‐hasil seni ini kepada rakyatku. Untuk dijual? Jangan kira! Seorang orang asing yang mengerti kepadaku adalah Duta besar Amerika di Indonesia, Howard Jones. Ia sudah lama ditempatkan di Jakarta dan menjabat sebagai Ketua dari Korps Diplomatik. Kami sering terlibat dalam perdebatan‐perdebatan sengit dan pahit, akan tetapi aku semakin memandangnya sebagai seorang kawan yang tercinta. Uraian Howard tentang diri pribadiku adalah: “Suatu perpaduan antara Franklin Delano Roosevelt dan Clark Gable.” Apakah orang heran, apabila aku menyebutnya sebagai seorang kawan yang tercinta? Di suatu hari Minggu beberapa tahun yang silam, ia dengan isterinya Marylou makan bersama‐sama denganku dan isteriku Hartini di pavilyun kecil karni di Bogor. Bogor adalah tempat di daerah pegunungan yang sejuk di luar kota Jakarta. Berlainan dengan dugaan orang
bahwa aku mempunyai kran‐kran dari emas murni seperti sepantasnya bagi Yang Dipertuan di daerah Timur, maka aku tidak tinggal di Istana Negara yang besar itu. Di pekarangannya kami mempunyai sebuah bungalow kecil yang besarnya kira‐kira sama dengan yang dipunyai oleh seorang pejabat biasa. Bungalow ini terdiri dari beberapa kamar‐tidur, suatu ruang makan kecil dan ruang duduk yang sangat kecil. Ia tidak mewah. Sederhana sekali. Akan tetapi menyenangkan dan itulah rumahku. Selagi makan Howard berkata, “Tuan Presiden, saya kira sudah waktunya bagi Tuan untuk melihat kembali jalan‐jalan dalam sejarah. Menurut pendapat saya sudah tepat waktunya bagi Tuan untuk menuliskan sejarah hidup Tuan. “Seperti biasa, apabila seseorang menyebut‐nyebut tentang otobiografi, aku menjawab, “Tidak”. Insya Allah, jika Tuhan mengizinkan, saatnya masih 10 atau 20 tahun lagi. Bagaimana saya bisa mengetahui apa yang akan terjadi terhadap diriku? Siapa yang dapat menceriterakan, bagaimana jalannya kehidupan saya? Itulah sebabnya mengapa saya selalu menolak hal ini, karena saya yakin bahwa buruk baiknya kehidupan seseorang hanya dapat dipertimbangkan setelah ia mati.” “Terkecuali Presiden Republik Indonesia,” jawabnya. “Disamping telah menjadi Kepala Negara selama 20 tahun, ia telah dipilih sebagai Presiden seumur hidup. Ia adalah orang yang paling banyak diperdebatkan dan dikritik di jaman kita ini. Ia “mempunyai banyak rahasia,” kataku dengan senyum yang disembunyikan. “Akan tetapi dialah satu‐satunya orang yang dapat memberanikan diri untuk mengguratkannya dan disamping itu menjawab serangan‐serangan dari para pengeritiknya dan kawan‐kawannya. “Pertemuan ini merupakan pertemuan kekeluargaan yang tidak formil. Aku pakai baju sport dan tidak bersepatu. Hartini membuat nasi goreng, karena dia tahu bahwa keluarga Jones sangat doyan pada nasi goreng ayam dan Presiden makan puluk — artinya makan dengan tangan—dan kami duduk disekitar meja bersama‐sama menikmati saat‐saat istirahat yang menyenangkan, yang hanya dapat dilakukan diantara kawan‐kawan lama. “Untuk membuat otobiografi yang sesungguhnya si penulis hendaknya dalam keadaan yang susah seperti Rousseau ketika dia menulis pengakuan‐pengakuannya dan pengakuan yang demikian ternyata sukar bagi saya. Banyak tokoh yang masih hidup akan menderita, apabila saya menceriterakan semuanya. Dan banyak pemerintahan‐pemerintahan, dengan mana saya sekarang mempunyai hubungan yang baik, akan mendapat serangan sejadi‐jadinya apabila saya menyatakan beberapa hal yang ingin saya ceriterakan.” “Walaupun bagaimana, Tuan Presiden, orang‐orang asing merubah pendirian mereka setelah bertemu dengan Tuan dan jatuh kedalam kekuatan pribadi Bung Karno yang terkenal dan menarik seperti besi berani. Kalau Tuan terus maju dengan daya penarik pribadi Tuan itu, maka saya yakin kritikus yang paling tajampun kemudian akan berkata, “Hee, dia sesungguhnya tidak bernapaskan asap dan api seperti naga. Dia sangat menyenangkan.” “Itulah sebabnya saya pada dasarnya ingin berkawan, “kuterangkan kepadanya. “Saya menyukai orang Timur, saya menyukai orang Barat bahkan Tengku Abdul Rahman sendiri dan orang Inggris. Pun juga orang‐orang yang membenci saya. Setiap saat apabila mereka ingin bersahabat, saya lebih ingin lagi dari itu. Suatu kali saya mengetahui bahwa De Gaulle tidak senang kepada saya. Sekalipun demikian saya bertemu dengan dia di Wina. Setelah itu sikapnya berubah. “Itulah maksud saya,” Jones melanjutkan. “Tuan tidak bisa mendatangi sendiri seluruh rakyat di dunia, akan tetapi Tuan dapat datang kepada mereka dengan melalui halaman‐halaman buku. Tuan menawan hati sejuta pendengar di lapangan terbuka. Mengapa Tuan tidak menghendaki jumlah pendengar yang lebih besar lagi. “Percakapan ini berlangsung terus sampai makan perabung, berupa pisang rebus kesukaanku. “Begini,” kataku. “Suatu otobiografi tidak ada harganya, kecuali jika si penulis merasa kehidupannya tidak berguna apa‐apa. Kalau dia menganggap dirinya seorang besar, karyanya akan menjadi subjektif. Tidak objektif. Otobiografiku hanya mungkin jika ada perimbangan dari kedua‐duanya. Sekian banyak yang baik‐baik supaya dapat menenangkan egoku dan sekian banyak yang jelek‐jelek sehingga orang mau membeli buku itu. Kalau dimasukkan hanya yang baik‐baik saja orang akan menyebutmu egois, karena memuji diri sendiri. Memasukkan hanya yang jelek‐jelek saja akan menimbulkan suasana mental yang buruk bagi rakyatku sendiri. Hanya setelah mati dunia ini dapat ditimbang dengan judjur, ‘Apakah; Sukarno manusia yang baik ataukah manusia yang buruk? ‘ Hanya di saat itulah dia baru dapat diadili. “Bertahun‐tahun lamanya orang mendesakku untuk menuliskan kenang‐kenanganku. Press Officerku, Nyonya Rochmulyati Hamzah, selalu menjadi perantara. Satu kali aku betul‐betul membentak‐bentak
Roch yang manis itu. Di tahun 1960, ketika Krushchov sedang berkunjung kemari, ada seratus orang wartawan asing berkerumun dibawah tangga. Disatu saat dia berkata, “Ma’af, Pak, Bapak jangan marah, karena kami sendiripun tidak mengetahui sejarah hidup Bapak. Dan Bapak sedikit sekali memberikan wawancara. Oleh karena itu dapatkah Bapak menenteramkan hati saya barang sedikit dan menerima seorang wartawan CBS yang ramah sekali dan ingin menulis riwayat hidup Bapak?” Aku berpaling kepadanya dan menyembur. “Berapa kali aku harus mengatakan kepadamu, T‐I‐D‐A‐K !! Pertama, aku tidak mengenalnya, akan tetapi kalau aku pada satu saat menulis riwayat hidupku, aku akan kerjakan dengan seorang perempuan. Sekarang jauh‐jauhlah dari penglihatanku. Engkau seperti pesurah wartawan asing.” Roch berlari keluar dan pulang kerumahnya. Kemudian aku merasa menyesal. Ajudanku menelpon Roch dan. memberitahukan, bahwa aku hendak bertemu dengan dia. Lalu kukirimi kendaraan untuk menjemputnya. Dia datang dan mengira bahwa akan menerima semprotan lagi, akan tetapi sebaliknya, Presidennja hendak minta ma’af kepadanya. “Ma’afkanlah aku, Roch,” kataku. “Kadang‐kadang aku berteriak dan menyebut nama‐nama buruk, akan tetapi sebenarnya akulah itu. Jangan masukkan kata‐kata itu dalam hatimu. Kalau aku meradang, itu berarti aku mencintaimu. Aku menyemprot kepada orang‐orang yang terdekat dan paling kusayangi. Hanya mereka yang menjadi papan suaraku.” Kemudian kucium dia dipipinya, cara yang biasa kulakukan sebagai salam pertemuan dan perpisahan dengan anak‐anak perempuan sekretarisku—dan dia pergi dengan hati yang senang sekali. Itu sebabnya, mengapa persoalan‐persoalan Asia harus diselesaikan dengan cara Asia. Caraku bukanlah sesungguhnya gaya Barat, kukira. Aku tak dapat membayangkan seorang Perdana Menteri Inggris memeluk sekretaris wanitanya sebagai ucapan selamat pagi atau ucapan ma’af, setelah mana perempuan itu lari keluar dan membiarkan dia sendiri. Aku tidak menduga, tidak lama setelah kejadian ini aku bertemu dengan Cindy Adams. Cindy, seorang wartawan wanita, berada di Jakarta di tahun 1961 dengan suaminya pelawak Joey Adams, yang memimpin Missi Kesenian Presiden Kennedy ke Asia Tenggara. Wanita Amerika yang riang dan rapi ini, dengan pembawaannya yang suka berkelakar, menyebabkan aku seperti kena pukau. Wawancara dengan Cindy menyenangkan sekali dan tidak menyakitkan hati. Tulisannya jujur dan dapat dipercaya sepen~nja. Bahkan dia nampaknya dapat merasakan sedikit tentang Indonesia dan persoalan persoalannya dan, yah, dia adalah seorang penulis yang paling menarik yang pernah kujumpai! Kami orang jawa bekerja dengan instink. Setahun lamanya aku mencari‐cari seorang wanita yang akan menjabat sebagai press officer, akan tetapi ketika aku melihat Roch aku segera mengetahui, bahwa dialah yang kucari. Kupekerjakan dia segera. Begitupun halnya dengan Cindy. Pada kesempatan lain, ketika Howard Jones memulai lagi pokok pembicaraan tentang sejarah hidupku, aku memberikan ‘surprise’ kepadanya. Aku meringis. “Dengan satu syarat. Bahwa aku mengerjakannya dengan Cindy Adams. “Dan apakah akhirnya yang menyebabkan aku mengambil keputusan untuk mengerjakan sejarah hidupku? Yah, mungkin juga benar, sudah mendekat waktu aku harus rnenyadari, bahwa aku sudah tua. Sekarang, mataku yang sudah tua dan malang itu berair. Aku harus memandang gambaran ini dengan alasan. Disatu pagi yang lain seorang kemenakan datang menemuiku. Aku biasa memangkunya ketika dia masih kecil. Sekarang beratnya 70 kilo. Aku menyadari dengan tiba‐tiba, bahwa aku tidak dapat memangkunya lagi diatas lututku. Mungkin dia akan mematahkan kakiku yang tua dan lelah itu. Memang wanita cantik dapat membikin hatiku menjadi muda lagi, akan tetapi bila aku menginsyafi bahwa anak itu sekarang menjadi ibu dari beberapa orang anak, tahulah aku bahwa aku sudah berangsur tua juga. Dan begitulah, waktunya sudah datang. Kalau aku hendak menuliskan kisahku, aku harus mengguratkannya sekarang. Mungkin aku tidak mempunyai kesempatan nanti. Aku tahu, bahwa orang ingin mengetabui, apakah Sukarno seorang kolaborator Jepang semasa Perang Dunia Kedua. Kukira hanya Sukarno yang dapat menerangkan periode kehidupannya itu dan karena itu ia bersedia menerangkannya. Bertahuntahun lamanya orang bertanya‐tanya, apakah Sukarno seorang Diktator, apakah dia seorang Komunis; mengapa dia tidak membenarkan kemerdekaan pers; berapa banyak isterinya; mengapa dia membangun departemen store‐departemen store yang baru, sedangkan rakyatnya dalam keadaan compang‐amping ……… Hanya Sukarno sendiri yang dapat menjawabnya. Ini adalah pekerjaan yang sukar bagiku. Suatu otobiografi adalah ibarat pembedahan mental bagiku. Sungguh berat. Menyobek plester pembalut luka luka dari ingatan seseorang dan membuka luka‐luka itu, memang sakit, sekalipun banyak diantaranya yang sudah mulai sembuh. Tambahan lagi, aku akan melakukannya dalam bahasa Inggris, bahasa asing bagiku. Terkadang aku membuat kesalahan dalam tata bahasa dan seringkali aku terhenti karena merasa agak kaku. Akan tetapi, mungkin juga aku wajib menceritakan kisah ini kepada tanah airku, kepada bangsaku, kepada anak‐anakku dan kepada diriku sendiri. Karenanya kuminta kepadamu, pembaca, untuk mengingat bahwa, lebih daripada bahasa kata‐kata yang tertulis adalah bahasa yang keluar dari lubuk hati. Buku ini tidak ditulis untuk mendapatkan simpati atau meminta supaya setiap orang suka kepadaku. Harapanku hanyalah, agar dapat menambah pengertian yang lebih baik tentang Sukarno dan dengan itu menambah pengertian yang lebih baik terhadap Indonesia yang tercinta.
http://penasoekarno.wordpress.com/2009/12/27/bab-ii-putera-sang-fajar/



Putera Sang Fajar 

IBU telah memberikan pangestu kepadaku ketika aku baru berumur beberapa tahun. Di pagi itu ia sudah bangun sebelum matahari terbit dan duduk di dalam gelap di beranda rumah kami yang kecil, tiada bergerak. Ia tidak berbuat apa‐apa, ia tidak berkata apa‐apa, hanya memandang arah ke Timur dan dengan sabar menantikan hari akan siang. Akupun bangun dan mendekatinya. Diulurkannya kedua belah tangannya dan meraih badanku yang kecil ke dalam pelukannya. Sambil mendekapkan tubuhku ke dadanya, ia memelukku dengan tenang. Kemudian ia berbicara dengan suara lunak, “Engkau sedang memandangi fajar, nak.” Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing.
Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali‐kali kaulupakan, nak!, bahwa engkau ini putera dari sang fajar. “Bersamaan dengan kelahiranku menyingsinglah fajar dari suatu hari yang baru dan menyingsing pulalah fajar dari satu abad yang baru. Karena aku dilahirkan di tahun 1901. Bagi Bangsa Indonesia abad kesembilanbelas merupakan jaman yang gelap. Sedangkan jaman sekarang baginya adalah jaman yang terang benderang dalam menaiknya pasang revolusi kemanusiaan. Abad ini adalah suatu jaman dimana bangsa‐bangsa baru dan merdeka di benua Asia dan Afrika mulai berkembang dan berkembangnya negara‐negara Sosialis yang meliputi seribu juta manusia. Abad inipun dinamakan Abad Atom. Dan Abad Ruang Angkasa. Dan mereka yang dilahirkan dalam Abad Revolusi Kemanusiaan ini terikat oleh suatu kewajiba untuk menjalankan tugas‐tugas kepahlawanan. Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam, bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet. Aku bisa keras laksana baja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah paduan daripada pikiran sehat dan getaran perasaan. Aku seorang yang suka mema’afkan, akan tetapi akupun seorang yang keras‐kepala. Aku menjebloskan musuh‐musuh Negara ke belakang jeruji besi, namun demikian aku tidak sampai hati membiarkan burung terkurung di dalam sangkar. Pada suatu kali di Sumatra aku diberi seekor monyet. Binatang itu diikat dengan rantai. Aku tidak dapat membiarkannya! Dia kulepaskan ke dalam hutan. Ketika Irian Barat kembali kepangkuan kami, aku diberi hadiah seekor kanguru. Binatang itu dikurung. Kuminta supaya dia dibawa kembali ke tempatnya dan dikembalikan kemerdekaannya. Aku menjatuhkan hukuman mati, namun aku tak pernah mengangkat tangan untuk memukul mati seekor nyamuk. Sebaliknya aku berbisik kepada binatang itu, “Hayo, nyamuk, pergilah, jangan kaugigit aku.” Sebagai Panglirna Tertinggi aku mengeluarkan perintah untuk membunuh. Karena aku terdiri dari dua belahan, aku dapat memperlihatkan segala rupa, aku dapat mengerti segala pihak, aku memimpin semua orang. Boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan. Boleh jadi juga pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu menjadikan aku seseorang yang merangkul semuanya. Masih ada pertanda lain ketika aku dilahirkan. Gunung Kelud, yang tidak jauh letaknya dari tempat kami, meletus. Orang yang percaya kepada tahayul meramalkan, “Ini adalah penyambutan terhadap bayi Sukarno.” Sebaliknya orang Bali mempunyai kepertcayaan lain; kalau gunung Agung meletus ini berarti bahwa rakyat telah melakukan maksiat. Jadi, orangpun dapat mengatakan bahwa gunung Kelud sebenarnya tidak menyambut bayi Sukarno. Gunung Kelud malah menyatakan kemarahannya, karena anak yang begitu jahat lahir ke muka bumi ini. Berlainan dengan pertanda‐pertanda yang mengiringi kelahiranku itu, maka kelahiran itu sendiri sangatlah menyedihkan. Bapak tidak mampu memanggil dukun untuk menolong anak yang akan lahir. Keadaan kami terlalu ketiadaan. Satu‐satunya orang yang menghadapi ibu ialah seorang kawan dari keluarga kami, seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Dialah, dan tak ada orang lain selain dari orang tua itu, yang menyambutku menginjak dunia ini. Di Bogor ada sebuah plaket timbul yang terbuat dari batu pualam putih lagi bersih, yang melukiskan kelahiran Hercules. Ia tergantung di ruang gang yang menuju keruangan resepsi Negara. Plaket ini memperlihatkan bayi Hercules dalam pangkuan ibunya dikelilingi oleh empatbelas orang wanita‐wanita cantik — semua dalam keadaan telanjang. Cobalah bayangkan, betapa bahagianya untuk dilahirkan di tengah‐tengah empatbelas orang wanita cantik seperti ini!, Akan tetapi Sukarno tidak sama beruntungnya dengan Hercules. Pada waktu aku dilahirkan, tak seorangpun yang akan mengambilku ke dalam pangkuannya, kecuali seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Lalu 50 tahun kemudian. Ini bukanlah lelucon sebagai bahan tertawaan. Di tahun 1949 Republik kami yang masih muda menginjak tahun keempat dari revolusi kami melawan Belanda. Suatu perjuangan yang hebat dengan menggunakan berbagai muslihat. Pihak sana di Negeri Belanda benci kepadaku habishabisan seperti mereka habis‐habisan membenci neraka. Mereka menentangku melalui radio. Dan mereka menentangku melalui pers. Sebuah majalah membuat suatu pengakuan dengan menyatakan bahwa, “Sukarno adalah seorang yang bersemangat, dinamis dan berlainan sama sekali dengan orang Jawa yang lamban dan lambat berpikir. Sukarno dapat berbicara dalam tujuh bahasa dengan lancar. Kita hendaknya bisa melihat kenyataan dan kenyataan adalah, bahwa Sukarno sesungguhnya seorang pemimpin.” Dalam tulisan ini diuraikan segala sifat dan tanda yang baik mengenai diriku. Dengan segera aku menyadari maksud tujuannya. Tulisan itu akhirnya menyimpulkan, “Pembaca yang budiman, tahukah pembaca mengapa Sukarno memiliki sifat‐sifat yang luar‐biasa itu? Karena Sukarno bukanlah orang Indonesia asli. Itulah sebabnya. Dia adalah anak yang tidak sah dari seorang tuan kebun dari perkebunan kopi yang mengadakan hubungan gelap dengan seorang buruh perempuan Bumiputera, kemudian menyerahkan anak itu kepada orang lain sebagai anak‐angkat. “Sayang! Satu‐satunya saksi untuk bersumpah kepada bapakku yang sesungguhnya dan untuk menjadi saksi bahwa aku dilahirkan oleh ibuku yang sebenarnya bukan oleh
pekerja di perkebunan kopi sudah sejak lama meninggal. Melalui generasi demi generasi darah Indonesia sudah bercampur dengan orang India, Arab, Polynesia asli
dan sudah barang tentu dengan orang Tionghoa. Pada dasarnya kami adalah suku bangsa rumpun Melayu. Dari kata asal Ma timbul kata‐kata Manila, Madagaskar, Malaya, Madura, Maori, Himalaja. Nenek moyang kami berpindah‐pindah di sepanjang daerah Asia, menetap di tigaribu pulau yang kemudian menjadi orang Bali, Jawa, Aceh, Ambon, Sumatra dan seterusnya. Aku adalah anak dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idayu, asalnya dari keturunan bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir adalah paman ibu. Bapakku berasal dari Jawa. Nama lengkapnya Raden Sukemi Sosrodihardjo. Dan bapak berasal dari keturunan Sultan Kediri. Lagi‐lagi, merupakan suatu kebetulan ataupun suatu takdir padaku bahwa aku dilahirkan dalam lingkungan kelas yang berkuasa. Namun betapapun asal kelahiranku ataupun nasibku, pengabdianku untuk kemerdekaan rakyatku bukanlah suatu keputusan yang tiba‐tiba. Aku mewarisinya. Semenjak tahun 1596, yaitu pada waktu Belanda pertama kali menyerbu kepulauan kami, maka tindakan Belanda menguasai daerah kami dan perlawanan kami yang sia‐sia dalam merebut kembali tanah pusaka kami telah membikin hitam lembaran‐lembaran dalam sejarah kami. Kakek dan moyangku dari pihak ibu adalah pejuang‐pejuang kemerdekaan yang gagah. Moyangku gugur dalam Perang Puputan, suatu daerah di pantai utara Bali di tempat mana terletak Kerajaan Singaraja dan dimana telah berkobar pertempuran sengit dan bersejarah melawan penjajah. Ketika moyangku menyadari, bahwa semuanya telah hilang dan tentaranya tidak dapat menaklukkan lawan, maka ia dengan sisa orang Bali yang bercita‐cita mengenakan pakaian serba putih, dari kepala sampai kekaki. Mereka menaiki kudanya, masing masing menghunus keris, lalu menjerbu musuh. Mereka dihancurkan. Raja Singaraja yang terakhir secara licik dikeluarkan oleh Belanda dan kerajaannya. Kekayaannya, tempat tinggal, tanah dan semua miliknya dirampas. Mereka mengundangnya ke sebuah kapal perang untuk berunding. Begitu sampai di atas kapal, Belanda menahannya secara paksa, lalu berlayar dan menjebloskannya ke tempat pembuangan. Setelah Belanda menduduki istananya dan merampas miliknya, keluarga ibu jatuh melarat. Karena itu kebencian ibu terhadap Belanda tak habishabisnya dan ini disampaikannya kepadaku. Di tahun 1946, ketika itu umur ibu sudah lebih dari 70 tahun, Republik kami yang masih muda terlibat dalam pertempuran‐pertempuran jarak dekat dengan musuh. Dalam suatu pertempuran, pasukan kami berkumpul di pekarangan belakang rumah ibu di Blitar. Kisah ini kemudian diceritakan oleh pejuang gerilya kepadaku, “Di tempat ini keadaan gerakan kami tenang sekali. Kami semua tiarap menunggu. Rupanya ibu tidak mendengar apa‐apa dari pihak kita. Tidak ada tembakan, tidak ada teriakan. Dengan mata yang bernyala‐nyala beliau keluar mendatangi kami, “Kenapa tidak ada tembakan?” Kenapa tidak bertempur? Apa kamu semua penakut?. Kenapa kamu tidak keluar menembak Belanda, Hayo, terus, semua kamu, keluar dan bunuh Belanda‐ Belanda itu!’” Pihak bapakpun adalah patriot‐patriot ulung. Nenek dari nenek bapak kedudukannya dibawah seorang Puteri, namun dia seorang pejuang puteri di samping pahlawan besar kami, Diponegoro. Dengan menaiki kuda dia mendampingi Diponegoro sampai menemui ajalnya dalam Perang Jawa yang besar itu, yang berkobar dari tahun 1825 sampai tahun 1830. Sebagai kanak‐kanak aku tidak mendapat cerita‐cerita seperti di televisi atau cerita Wild West yang dibumbui. Ibu selalu menceritakan kisah‐kisah kebangsaan dan kepahlawanan. Kalau ibu sudah mulai bercerita, aku lalu duduk dekat kakinya dan dengan haus meneguk kisah‐kisah yang menarik tentang pejuang‐pejuang kemerdekaan dalam keluarga kami. Ibupun menceritakan tentang bagaimana bapak merebutnya. Semasa mudanya ibu menjadi seorang gadis pura yang pekerjaannya membersihkan rumah ibadat itu setiap pagi dan petang. Bapak bekerja sebagai guru sekolah rendah gubernemen di Singaraja dan setelah selesai sekolah sering datang ke lubuk di muka pura tempat ibu bekerja untuk menikmati ketenangannya. Pada suatu hari ia melihat ibu. Pada kesempatan lain ketika duduk lagi dekat lubuk itu ia melihat ibu sekali lagi. Setelah sore demi sore berlalu, ia menegur ibu sedikit. Ibu menjawab. Segera ia merasa tertarik kepada ibu dan ibu kepadanya. Seperti biasanya menurut adat, bapak mendatangi orang tua ibu untuk meminta ibu secara beradat. “Bolehkah saya meminta anak ibu‐bapak?” Orangtua ibu lalu menjawab, “Tidak bisa. Engkau berasal dari Jawa dan engkau beragama Islam. Tidak, sekali‐kali tidak! Kami akan kehilangan anak kami. ‘Seperti halnya dengan keadaan sebelum Perang Dunia Kedua, perempuan Bali tidak ada yang mengawini orang luar. Yang kumaksud bukan orang luar dari negara lain, akan tetapi orang luar dari pulau lain. Waktu itu tidak ada perkawinan campuran antara satu suku dengan suku lain sama sekali. Kalaupun terjadi bencana semacam ini, maka pengantin baru itu diasingkan dari rumah orangtuanya sendiri. Suatu keistimewaan dari Sukarno, ia dapat menyatukan rakyatnya. Warna kulit kami mungkin berbeda, bentuk hidung dan dahi kami mungkin berlainan lihat orang Irian hitam, lihat orang Sumatra sawomatang, lihat orang Jawa pendek‐pendek, orang Maluku lebih tinggi, lihat orang Lampung mempunyai bentuk sendiri, rakyat Pasundan mempunyai ciri sendiri, akan tetapi kami tidak lagi jadi inlander atau menganggap diri kami orang‐asing satu sama lain. Sekarang kami sudah menjadi orang Indonesia dan kami satu. Semboyan negeri kami Bhineka Tunggal Ika “Berbeda‐beda tapi satu jua”. Kembali kepada kisah bapakku, betapa sukarnya situasi ketika ia hendak mengawini ibu. Terutama karena ia resminya seorang Islam, sekalipun ia menjalankan Theosofi. Untuk kawin secara Islam, maka ibu harus menganut agama Islam terlebih dulu. Satu‐satunya jalan bagi mereka ialah kawin lari. Kawin lari menurut kebiasaan di Bali harus mengikuti tata cara tertentu. Kedua merpati itu bermalam di malam perkawinannya di rumah salah seorang kawan. Sementara itu dikirimkan utusan ke rumah orangtua si gadis untuk memberitahukan bahwa anak mereka sudah menjalankan perkawinannya. Ibu dan bapakku mencari perlindungan di rumah Kepala Polisi yang menjadi kawan bapak. Keluarga ibu datang menjemputnya, akan tetapi Kepala Polisi itu tidak mau melepaskan. “Tidak, dia berada dalam perlindungan saya,” katanya. Bukanlah kebiasaan kami untuk menghadapkan pengantin kemuka pengadilan, sekalipun orangtua tidak setuju. Akan tetapi kejadian ini adalah keadaan yang luar biasa ketika itu. Bapak seorang Islam Theosof dan ibu seorang Bali Hindu‐Budha. Pada waktu perkara itu diadili, ibu ditanya, “Apakah laki‐laki ini memaksamu, bertentangan dengan kemauanmu sendiri?” Dan ibu menjawab, “Tidak, tidak. Saya mencintainya dan melarikan diri atas kemauan saya sendiri. “Tiada pilihan lain bagi mereka, kecuali mengizinkan perkawinan itu. Sekalipun demikian pengadilan mendenda ibu 25 ringgit, yang nilainya sama dengan 25 dolar. Ibu mewarisi beberapa perhiasan emas dan untuk membayar denda itu ibu menjual perhiasannya. Karena bapak merasa tidak disukai orang di Bali, ia kemudian mengajukan permohonan kepada Departemen Pengajaran untuk dipindahkan ke Jawa. Bapak dikirim ke Surabaya dan disanalah putera sang fajar dilahirkan.
BAB II Putera Sang Fajar
IBU telah memberikan pangestu kepadaku ketika aku baru berumur beberapa tahun. Di pagi itu ia sudah bangun sebelum matahari terbit dan duduk di dalam gelap di beranda rumah kami yang kecil, tiada bergerak. Ia tidak berbuat apa‐apa, ia tidak berkata apa‐apa, hanya memandang arah ke Timur dan dengan sabar menantikan hari akan siang. Akupun bangun dan mendekatinya. Diulurkannya kedua belah tangannya dan meraih badanku yang kecil ke dalam pelukannya. Sambil mendekapkan tubuhku ke dadanya, ia memelukku dengan tenang. Kemudian ia berbicara dengan suara lunak, “Engkau sedang memandangi fajar, nak.” Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing.
Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali‐kali kaulupakan, nak!, bahwa engkau ini putera dari sang fajar. “Bersamaan dengan kelahiranku menyingsinglah fajar dari suatu hari yang baru dan menyingsing pulalah fajar dari satu abad yang baru. Karena aku dilahirkan di tahun 1901. Bagi Bangsa Indonesia abad kesembilanbelas merupakan jaman yang gelap. Sedangkan jaman sekarang baginya adalah jaman yang terang benderang dalam menaiknya pasang revolusi kemanusiaan. Abad ini adalah suatu jaman dimana bangsa‐bangsa baru dan merdeka di benua Asia dan Afrika mulai berkembang dan berkembangnya negara‐negara Sosialis yang meliputi seribu juta manusia. Abad inipun dinamakan Abad Atom. Dan Abad Ruang Angkasa. Dan mereka yang dilahirkan dalam Abad Revolusi Kemanusiaan ini terikat oleh suatu kewajiba untuk menjalankan tugas‐tugas kepahlawanan. Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam, bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet. Aku bisa keras laksana baja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah paduan daripada pikiran sehat dan getaran perasaan. Aku seorang yang suka mema’afkan, akan tetapi akupun seorang yang keras‐kepala. Aku menjebloskan musuh‐musuh Negara ke belakang jeruji besi, namun demikian aku tidak sampai hati membiarkan burung terkurung di dalam sangkar. Pada suatu kali di Sumatra aku diberi seekor monyet. Binatang itu diikat dengan rantai. Aku tidak dapat membiarkannya! Dia kulepaskan ke dalam hutan. Ketika Irian Barat kembali kepangkuan kami, aku diberi hadiah seekor kanguru. Binatang itu dikurung. Kuminta supaya dia dibawa kembali ke tempatnya dan dikembalikan kemerdekaannya. Aku menjatuhkan hukuman mati, namun aku tak pernah mengangkat tangan untuk memukul mati seekor nyamuk. Sebaliknya aku berbisik kepada binatang itu, “Hayo, nyamuk, pergilah, jangan kaugigit aku.” Sebagai Panglirna Tertinggi aku mengeluarkan perintah untuk membunuh. Karena aku terdiri dari dua belahan, aku dapat memperlihatkan segala rupa, aku dapat mengerti segala pihak, aku memimpin semua orang. Boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan. Boleh jadi juga pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu menjadikan aku seseorang yang merangkul semuanya. Masih ada pertanda lain ketika aku dilahirkan. Gunung Kelud, yang tidak jauh letaknya dari tempat kami, meletus. Orang yang percaya kepada tahayul meramalkan, “Ini adalah penyambutan terhadap bayi Sukarno.” Sebaliknya orang Bali mempunyai kepertcayaan lain; kalau gunung Agung meletus ini berarti bahwa rakyat telah melakukan maksiat. Jadi, orangpun dapat mengatakan bahwa gunung Kelud sebenarnya tidak menyambut bayi Sukarno. Gunung Kelud malah menyatakan kemarahannya, karena anak yang begitu jahat lahir ke muka bumi ini. Berlainan dengan pertanda‐pertanda yang mengiringi kelahiranku itu, maka kelahiran itu sendiri sangatlah menyedihkan. Bapak tidak mampu memanggil dukun untuk menolong anak yang akan lahir. Keadaan kami terlalu ketiadaan. Satu‐satunya orang yang menghadapi ibu ialah seorang kawan dari keluarga kami, seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Dialah, dan tak ada orang lain selain dari orang tua itu, yang menyambutku menginjak dunia ini. Di Bogor ada sebuah plaket timbul yang terbuat dari batu pualam putih lagi bersih, yang melukiskan kelahiran Hercules. Ia tergantung di ruang gang yang menuju keruangan resepsi Negara. Plaket ini memperlihatkan bayi Hercules dalam pangkuan ibunya dikelilingi oleh empatbelas orang wanita‐wanita cantik — semua dalam keadaan telanjang. Cobalah bayangkan, betapa bahagianya untuk dilahirkan di tengah‐tengah empatbelas orang wanita cantik seperti ini!, Akan tetapi Sukarno tidak sama beruntungnya dengan Hercules. Pada waktu aku dilahirkan, tak seorangpun yang akan mengambilku ke dalam pangkuannya, kecuali seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Lalu 50 tahun kemudian. Ini bukanlah lelucon sebagai bahan tertawaan. Di tahun 1949 Republik kami yang masih muda menginjak tahun keempat dari revolusi kami melawan Belanda. Suatu perjuangan yang hebat dengan menggunakan berbagai muslihat. Pihak sana di Negeri Belanda benci kepadaku habishabisan seperti mereka habis‐habisan membenci neraka. Mereka menentangku melalui radio. Dan mereka menentangku melalui pers. Sebuah majalah membuat suatu pengakuan dengan menyatakan bahwa, “Sukarno adalah seorang yang bersemangat, dinamis dan berlainan sama sekali dengan orang Jawa yang lamban dan lambat berpikir. Sukarno dapat berbicara dalam tujuh bahasa dengan lancar. Kita hendaknya bisa melihat kenyataan dan kenyataan adalah, bahwa Sukarno sesungguhnya seorang pemimpin.” Dalam tulisan ini diuraikan segala sifat dan tanda yang baik mengenai diriku. Dengan segera aku menyadari maksud tujuannya. Tulisan itu akhirnya menyimpulkan, “Pembaca yang budiman, tahukah pembaca mengapa Sukarno memiliki sifat‐sifat yang luar‐biasa itu? Karena Sukarno bukanlah orang Indonesia asli. Itulah sebabnya. Dia adalah anak yang tidak sah dari seorang tuan kebun dari perkebunan kopi yang mengadakan hubungan gelap dengan seorang buruh perempuan Bumiputera, kemudian menyerahkan anak itu kepada orang lain sebagai anak‐angkat. “Sayang! Satu‐satunya saksi untuk bersumpah kepada bapakku yang sesungguhnya dan untuk menjadi saksi bahwa aku dilahirkan oleh ibuku yang sebenarnya bukan oleh
pekerja di perkebunan kopi sudah sejak lama meninggal. Melalui generasi demi generasi darah Indonesia sudah bercampur dengan orang India, Arab, Polynesia asli
dan sudah barang tentu dengan orang Tionghoa. Pada dasarnya kami adalah suku bangsa rumpun Melayu. Dari kata asal Ma timbul kata‐kata Manila, Madagaskar, Malaya, Madura, Maori, Himalaja. Nenek moyang kami berpindah‐pindah di sepanjang daerah Asia, menetap di tigaribu pulau yang kemudian menjadi orang Bali, Jawa, Aceh, Ambon, Sumatra dan seterusnya. Aku adalah anak dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idayu, asalnya dari keturunan bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir adalah paman ibu. Bapakku berasal dari Jawa. Nama lengkapnya Raden Sukemi Sosrodihardjo. Dan bapak berasal dari keturunan Sultan Kediri. Lagi‐lagi, merupakan suatu kebetulan ataupun suatu takdir padaku bahwa aku dilahirkan dalam lingkungan kelas yang berkuasa. Namun betapapun asal kelahiranku ataupun nasibku, pengabdianku untuk kemerdekaan rakyatku bukanlah suatu keputusan yang tiba‐tiba. Aku mewarisinya. Semenjak tahun 1596, yaitu pada waktu Belanda pertama kali menyerbu kepulauan kami, maka tindakan Belanda menguasai daerah kami dan perlawanan kami yang sia‐sia dalam merebut kembali tanah pusaka kami telah membikin hitam lembaran‐lembaran dalam sejarah kami. Kakek dan moyangku dari pihak ibu adalah pejuang‐pejuang kemerdekaan yang gagah. Moyangku gugur dalam Perang Puputan, suatu daerah di pantai utara Bali di tempat mana terletak Kerajaan Singaraja dan dimana telah berkobar pertempuran sengit dan bersejarah melawan penjajah. Ketika moyangku menyadari, bahwa semuanya telah hilang dan tentaranya tidak dapat menaklukkan lawan, maka ia dengan sisa orang Bali yang bercita‐cita mengenakan pakaian serba putih, dari kepala sampai kekaki. Mereka menaiki kudanya, masing masing menghunus keris, lalu menjerbu musuh. Mereka dihancurkan. Raja Singaraja yang terakhir secara licik dikeluarkan oleh Belanda dan kerajaannya. Kekayaannya, tempat tinggal, tanah dan semua miliknya dirampas. Mereka mengundangnya ke sebuah kapal perang untuk berunding. Begitu sampai di atas kapal, Belanda menahannya secara paksa, lalu berlayar dan menjebloskannya ke tempat pembuangan. Setelah Belanda menduduki istananya dan merampas miliknya, keluarga ibu jatuh melarat. Karena itu kebencian ibu terhadap Belanda tak habishabisnya dan ini disampaikannya kepadaku. Di tahun 1946, ketika itu umur ibu sudah lebih dari 70 tahun, Republik kami yang masih muda terlibat dalam pertempuran‐pertempuran jarak dekat dengan musuh. Dalam suatu pertempuran, pasukan kami berkumpul di pekarangan belakang rumah ibu di Blitar. Kisah ini kemudian diceritakan oleh pejuang gerilya kepadaku, “Di tempat ini keadaan gerakan kami tenang sekali. Kami semua tiarap menunggu. Rupanya ibu tidak mendengar apa‐apa dari pihak kita. Tidak ada tembakan, tidak ada teriakan. Dengan mata yang bernyala‐nyala beliau keluar mendatangi kami, “Kenapa tidak ada tembakan?” Kenapa tidak bertempur? Apa kamu semua penakut?. Kenapa kamu tidak keluar menembak Belanda, Hayo, terus, semua kamu, keluar dan bunuh Belanda‐ Belanda itu!’” Pihak bapakpun adalah patriot‐patriot ulung. Nenek dari nenek bapak kedudukannya dibawah seorang Puteri, namun dia seorang pejuang puteri di samping pahlawan besar kami, Diponegoro. Dengan menaiki kuda dia mendampingi Diponegoro sampai menemui ajalnya dalam Perang Jawa yang besar itu, yang berkobar dari tahun 1825 sampai tahun 1830. Sebagai kanak‐kanak aku tidak mendapat cerita‐cerita seperti di televisi atau cerita Wild West yang dibumbui. Ibu selalu menceritakan kisah‐kisah kebangsaan dan kepahlawanan. Kalau ibu sudah mulai bercerita, aku lalu duduk dekat kakinya dan dengan haus meneguk kisah‐kisah yang menarik tentang pejuang‐pejuang kemerdekaan dalam keluarga kami. Ibupun menceritakan tentang bagaimana bapak merebutnya. Semasa mudanya ibu menjadi seorang gadis pura yang pekerjaannya membersihkan rumah ibadat itu setiap pagi dan petang. Bapak bekerja sebagai guru sekolah rendah gubernemen di Singaraja dan setelah selesai sekolah sering datang ke lubuk di muka pura tempat ibu bekerja untuk menikmati ketenangannya. Pada suatu hari ia melihat ibu. Pada kesempatan lain ketika duduk lagi dekat lubuk itu ia melihat ibu sekali lagi. Setelah sore demi sore berlalu, ia menegur ibu sedikit. Ibu menjawab. Segera ia merasa tertarik kepada ibu dan ibu kepadanya. Seperti biasanya menurut adat, bapak mendatangi orang tua ibu untuk meminta ibu secara beradat. “Bolehkah saya meminta anak ibu‐bapak?” Orangtua ibu lalu menjawab, “Tidak bisa. Engkau berasal dari Jawa dan engkau beragama Islam. Tidak, sekali‐kali tidak! Kami akan kehilangan anak kami. ‘Seperti halnya dengan keadaan sebelum Perang Dunia Kedua, perempuan Bali tidak ada yang mengawini orang luar. Yang kumaksud bukan orang luar dari negara lain, akan tetapi orang luar dari pulau lain. Waktu itu tidak ada perkawinan campuran antara satu suku dengan suku lain sama sekali. Kalaupun terjadi bencana semacam ini, maka pengantin baru itu diasingkan dari rumah orangtuanya sendiri. Suatu keistimewaan dari Sukarno, ia dapat menyatukan rakyatnya. Warna kulit kami mungkin berbeda, bentuk hidung dan dahi kami mungkin berlainan lihat orang Irian hitam, lihat orang Sumatra sawomatang, lihat orang Jawa pendek‐pendek, orang Maluku lebih tinggi, lihat orang Lampung mempunyai bentuk sendiri, rakyat Pasundan mempunyai ciri sendiri, akan tetapi kami tidak lagi jadi inlander atau menganggap diri kami orang‐asing satu sama lain. Sekarang kami sudah menjadi orang Indonesia dan kami satu. Semboyan negeri kami Bhineka Tunggal Ika “Berbeda‐beda tapi satu jua”. Kembali kepada kisah bapakku, betapa sukarnya situasi ketika ia hendak mengawini ibu. Terutama karena ia resminya seorang Islam, sekalipun ia menjalankan Theosofi. Untuk kawin secara Islam, maka ibu harus menganut agama Islam terlebih dulu. Satu‐satunya jalan bagi mereka ialah kawin lari. Kawin lari menurut kebiasaan di Bali harus mengikuti tata cara tertentu. Kedua merpati itu bermalam di malam perkawinannya di rumah salah seorang kawan. Sementara itu dikirimkan utusan ke rumah orangtua si gadis untuk memberitahukan bahwa anak mereka sudah menjalankan perkawinannya. Ibu dan bapakku mencari perlindungan di rumah Kepala Polisi yang menjadi kawan bapak. Keluarga ibu datang menjemputnya, akan tetapi Kepala Polisi itu tidak mau melepaskan. “Tidak, dia berada dalam perlindungan saya,” katanya. Bukanlah kebiasaan kami untuk menghadapkan pengantin kemuka pengadilan, sekalipun orangtua tidak setuju. Akan tetapi kejadian ini adalah keadaan yang luar biasa ketika itu. Bapak seorang Islam Theosof dan ibu seorang Bali Hindu‐Budha. Pada waktu perkara itu diadili, ibu ditanya, “Apakah laki‐laki ini memaksamu, bertentangan dengan kemauanmu sendiri?” Dan ibu menjawab, “Tidak, tidak. Saya mencintainya dan melarikan diri atas kemauan saya sendiri. “Tiada pilihan lain bagi mereka, kecuali mengizinkan perkawinan itu. Sekalipun demikian pengadilan mendenda ibu 25 ringgit, yang nilainya sama dengan 25 dolar. Ibu mewarisi beberapa perhiasan emas dan untuk membayar denda itu ibu menjual perhiasannya. Karena bapak merasa tidak disukai orang di Bali, ia kemudian mengajukan permohonan kepada Departemen Pengajaran untuk dipindahkan ke Jawa. Bapak dikirim ke Surabaya dan disanalah putera sang fajar dilahirkan
BAB II Putera Sang Fajar
IBU telah memberikan pangestu kepadaku ketika aku baru berumur beberapa tahun. Di pagi itu ia sudah bangun sebelum matahari terbit dan duduk di dalam gelap di beranda rumah kami yang kecil, tiada bergerak. Ia tidak berbuat apa‐apa, ia tidak berkata apa‐apa, hanya memandang arah ke Timur dan dengan sabar menantikan hari akan siang. Akupun bangun dan mendekatinya. Diulurkannya kedua belah tangannya dan meraih badanku yang kecil ke dalam pelukannya. Sambil mendekapkan tubuhku ke dadanya, ia memelukku dengan tenang. Kemudian ia berbicara dengan suara lunak, “Engkau sedang memandangi fajar, nak.” Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing.
Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali‐kali kaulupakan, nak!, bahwa engkau ini putera dari sang fajar. “Bersamaan dengan kelahiranku menyingsinglah fajar dari suatu hari yang baru dan menyingsing pulalah fajar dari satu abad yang baru. Karena aku dilahirkan di tahun 1901. Bagi Bangsa Indonesia abad kesembilanbelas merupakan jaman yang gelap. Sedangkan jaman sekarang baginya adalah jaman yang terang benderang dalam menaiknya pasang revolusi kemanusiaan. Abad ini adalah suatu jaman dimana bangsa‐bangsa baru dan merdeka di benua Asia dan Afrika mulai berkembang dan berkembangnya negara‐negara Sosialis yang meliputi seribu juta manusia. Abad inipun dinamakan Abad Atom. Dan Abad Ruang Angkasa. Dan mereka yang dilahirkan dalam Abad Revolusi Kemanusiaan ini terikat oleh suatu kewajiba untuk menjalankan tugas‐tugas kepahlawanan. Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam, bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet. Aku bisa keras laksana baja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah paduan daripada pikiran sehat dan getaran perasaan. Aku seorang yang suka mema’afkan, akan tetapi akupun seorang yang keras‐kepala. Aku menjebloskan musuh‐musuh Negara ke belakang jeruji besi, namun demikian aku tidak sampai hati membiarkan burung terkurung di dalam sangkar. Pada suatu kali di Sumatra aku diberi seekor monyet. Binatang itu diikat dengan rantai. Aku tidak dapat membiarkannya! Dia kulepaskan ke dalam hutan. Ketika Irian Barat kembali kepangkuan kami, aku diberi hadiah seekor kanguru. Binatang itu dikurung. Kuminta supaya dia dibawa kembali ke tempatnya dan dikembalikan kemerdekaannya. Aku menjatuhkan hukuman mati, namun aku tak pernah mengangkat tangan untuk memukul mati seekor nyamuk. Sebaliknya aku berbisik kepada binatang itu, “Hayo, nyamuk, pergilah, jangan kaugigit aku.” Sebagai Panglirna Tertinggi aku mengeluarkan perintah untuk membunuh. Karena aku terdiri dari dua belahan, aku dapat memperlihatkan segala rupa, aku dapat mengerti segala pihak, aku memimpin semua orang. Boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan. Boleh jadi juga pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu menjadikan aku seseorang yang merangkul semuanya. Masih ada pertanda lain ketika aku dilahirkan. Gunung Kelud, yang tidak jauh letaknya dari tempat kami, meletus. Orang yang percaya kepada tahayul meramalkan, “Ini adalah penyambutan terhadap bayi Sukarno.” Sebaliknya orang Bali mempunyai kepertcayaan lain; kalau gunung Agung meletus ini berarti bahwa rakyat telah melakukan maksiat. Jadi, orangpun dapat mengatakan bahwa gunung Kelud sebenarnya tidak menyambut bayi Sukarno. Gunung Kelud malah menyatakan kemarahannya, karena anak yang begitu jahat lahir ke muka bumi ini. Berlainan dengan pertanda‐pertanda yang mengiringi kelahiranku itu, maka kelahiran itu sendiri sangatlah menyedihkan. Bapak tidak mampu memanggil dukun untuk menolong anak yang akan lahir. Keadaan kami terlalu ketiadaan. Satu‐satunya orang yang menghadapi ibu ialah seorang kawan dari keluarga kami, seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Dialah, dan tak ada orang lain selain dari orang tua itu, yang menyambutku menginjak dunia ini. Di Bogor ada sebuah plaket timbul yang terbuat dari batu pualam putih lagi bersih, yang melukiskan kelahiran Hercules. Ia tergantung di ruang gang yang menuju keruangan resepsi Negara. Plaket ini memperlihatkan bayi Hercules dalam pangkuan ibunya dikelilingi oleh empatbelas orang wanita‐wanita cantik — semua dalam keadaan telanjang. Cobalah bayangkan, betapa bahagianya untuk dilahirkan di tengah‐tengah empatbelas orang wanita cantik seperti ini!, Akan tetapi Sukarno tidak sama beruntungnya dengan Hercules. Pada waktu aku dilahirkan, tak seorangpun yang akan mengambilku ke dalam pangkuannya, kecuali seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Lalu 50 tahun kemudian. Ini bukanlah lelucon sebagai bahan tertawaan. Di tahun 1949 Republik kami yang masih muda menginjak tahun keempat dari revolusi kami melawan Belanda. Suatu perjuangan yang hebat dengan menggunakan berbagai muslihat. Pihak sana di Negeri Belanda benci kepadaku habishabisan seperti mereka habis‐habisan membenci neraka. Mereka menentangku melalui radio. Dan mereka menentangku melalui pers. Sebuah majalah membuat suatu pengakuan dengan menyatakan bahwa, “Sukarno adalah seorang yang bersemangat, dinamis dan berlainan sama sekali dengan orang Jawa yang lamban dan lambat berpikir. Sukarno dapat berbicara dalam tujuh bahasa dengan lancar. Kita hendaknya bisa melihat kenyataan dan kenyataan adalah, bahwa Sukarno sesungguhnya seorang pemimpin.” Dalam tulisan ini diuraikan segala sifat dan tanda yang baik mengenai diriku. Dengan segera aku menyadari maksud tujuannya. Tulisan itu akhirnya menyimpulkan, “Pembaca yang budiman, tahukah pembaca mengapa Sukarno memiliki sifat‐sifat yang luar‐biasa itu? Karena Sukarno bukanlah orang Indonesia asli. Itulah sebabnya. Dia adalah anak yang tidak sah dari seorang tuan kebun dari perkebunan kopi yang mengadakan hubungan gelap dengan seorang buruh perempuan Bumiputera, kemudian menyerahkan anak itu kepada orang lain sebagai anak‐angkat. “Sayang! Satu‐satunya saksi untuk bersumpah kepada bapakku yang sesungguhnya dan untuk menjadi saksi bahwa aku dilahirkan oleh ibuku yang sebenarnya bukan oleh
pekerja di perkebunan kopi sudah sejak lama meninggal. Melalui generasi demi generasi darah Indonesia sudah bercampur dengan orang India, Arab, Polynesia asli
dan sudah barang tentu dengan orang Tionghoa. Pada dasarnya kami adalah suku bangsa rumpun Melayu. Dari kata asal Ma timbul kata‐kata Manila, Madagaskar, Malaya, Madura, Maori, Himalaja. Nenek moyang kami berpindah‐pindah di sepanjang daerah Asia, menetap di tigaribu pulau yang kemudian menjadi orang Bali, Jawa, Aceh, Ambon, Sumatra dan seterusnya. Aku adalah anak dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idayu, asalnya dari keturunan bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir adalah paman ibu. Bapakku berasal dari Jawa. Nama lengkapnya Raden Sukemi Sosrodihardjo. Dan bapak berasal dari keturunan Sultan Kediri. Lagi‐lagi, merupakan suatu kebetulan ataupun suatu takdir padaku bahwa aku dilahirkan dalam lingkungan kelas yang berkuasa. Namun betapapun asal kelahiranku ataupun nasibku, pengabdianku untuk kemerdekaan rakyatku bukanlah suatu keputusan yang tiba‐tiba. Aku mewarisinya. Semenjak tahun 1596, yaitu pada waktu Belanda pertama kali menyerbu kepulauan kami, maka tindakan Belanda menguasai daerah kami dan perlawanan kami yang sia‐sia dalam merebut kembali tanah pusaka kami telah membikin hitam lembaran‐lembaran dalam sejarah kami. Kakek dan moyangku dari pihak ibu adalah pejuang‐pejuang kemerdekaan yang gagah. Moyangku gugur dalam Perang Puputan, suatu daerah di pantai utara Bali di tempat mana terletak Kerajaan Singaraja dan dimana telah berkobar pertempuran sengit dan bersejarah melawan penjajah. Ketika moyangku menyadari, bahwa semuanya telah hilang dan tentaranya tidak dapat menaklukkan lawan, maka ia dengan sisa orang Bali yang bercita‐cita mengenakan pakaian serba putih, dari kepala sampai kekaki. Mereka menaiki kudanya, masing masing menghunus keris, lalu menjerbu musuh. Mereka dihancurkan. Raja Singaraja yang terakhir secara licik dikeluarkan oleh Belanda dan kerajaannya. Kekayaannya, tempat tinggal, tanah dan semua miliknya dirampas. Mereka mengundangnya ke sebuah kapal perang untuk berunding. Begitu sampai di atas kapal, Belanda menahannya secara paksa, lalu berlayar dan menjebloskannya ke tempat pembuangan. Setelah Belanda menduduki istananya dan merampas miliknya, keluarga ibu jatuh melarat. Karena itu kebencian ibu terhadap Belanda tak habishabisnya dan ini disampaikannya kepadaku. Di tahun 1946, ketika itu umur ibu sudah lebih dari 70 tahun, Republik kami yang masih muda terlibat dalam pertempuran‐pertempuran jarak dekat dengan musuh. Dalam suatu pertempuran, pasukan kami berkumpul di pekarangan belakang rumah ibu di Blitar. Kisah ini kemudian diceritakan oleh pejuang gerilya kepadaku, “Di tempat ini keadaan gerakan kami tenang sekali. Kami semua tiarap menunggu. Rupanya ibu tidak mendengar apa‐apa dari pihak kita. Tidak ada tembakan, tidak ada teriakan. Dengan mata yang bernyala‐nyala beliau keluar mendatangi kami, “Kenapa tidak ada tembakan?” Kenapa tidak bertempur? Apa kamu semua penakut?. Kenapa kamu tidak keluar menembak Belanda, Hayo, terus, semua kamu, keluar dan bunuh Belanda‐ Belanda itu!’” Pihak bapakpun adalah patriot‐patriot ulung. Nenek dari nenek bapak kedudukannya dibawah seorang Puteri, namun dia seorang pejuang puteri di samping pahlawan besar kami, Diponegoro. Dengan menaiki kuda dia mendampingi Diponegoro sampai menemui ajalnya dalam Perang Jawa yang besar itu, yang berkobar dari tahun 1825 sampai tahun 1830. Sebagai kanak‐kanak aku tidak mendapat cerita‐cerita seperti di televisi atau cerita Wild West yang dibumbui. Ibu selalu menceritakan kisah‐kisah kebangsaan dan kepahlawanan. Kalau ibu sudah mulai bercerita, aku lalu duduk dekat kakinya dan dengan haus meneguk kisah‐kisah yang menarik tentang pejuang‐pejuang kemerdekaan dalam keluarga kami. Ibupun menceritakan tentang bagaimana bapak merebutnya. Semasa mudanya ibu menjadi seorang gadis pura yang pekerjaannya membersihkan rumah ibadat itu setiap pagi dan petang. Bapak bekerja sebagai guru sekolah rendah gubernemen di Singaraja dan setelah selesai sekolah sering datang ke lubuk di muka pura tempat ibu bekerja untuk menikmati ketenangannya. Pada suatu hari ia melihat ibu. Pada kesempatan lain ketika duduk lagi dekat lubuk itu ia melihat ibu sekali lagi. Setelah sore demi sore berlalu, ia menegur ibu sedikit. Ibu menjawab. Segera ia merasa tertarik kepada ibu dan ibu kepadanya. Seperti biasanya menurut adat, bapak mendatangi orang tua ibu untuk meminta ibu secara beradat. “Bolehkah saya meminta anak ibu‐bapak?” Orangtua ibu lalu menjawab, “Tidak bisa. Engkau berasal dari Jawa dan engkau beragama Islam. Tidak, sekali‐kali tidak! Kami akan kehilangan anak kami. ‘Seperti halnya dengan keadaan sebelum Perang Dunia Kedua, perempuan Bali tidak ada yang mengawini orang luar. Yang kumaksud bukan orang luar dari negara lain, akan tetapi orang luar dari pulau lain. Waktu itu tidak ada perkawinan campuran antara satu suku dengan suku lain sama sekali. Kalaupun terjadi bencana semacam ini, maka pengantin baru itu diasingkan dari rumah orangtuanya sendiri. Suatu keistimewaan dari Sukarno, ia dapat menyatukan rakyatnya. Warna kulit kami mungkin berbeda, bentuk hidung dan dahi kami mungkin berlainan lihat orang Irian hitam, lihat orang Sumatra sawomatang, lihat orang Jawa pendek‐pendek, orang Maluku lebih tinggi, lihat orang Lampung mempunyai bentuk sendiri, rakyat Pasundan mempunyai ciri sendiri, akan tetapi kami tidak lagi jadi inlander atau menganggap diri kami orang‐asing satu sama lain. Sekarang kami sudah menjadi orang Indonesia dan kami satu. Semboyan negeri kami Bhineka Tunggal Ika “Berbeda‐beda tapi satu jua”. Kembali kepada kisah bapakku, betapa sukarnya situasi ketika ia hendak mengawini ibu. Terutama karena ia resminya seorang Islam, sekalipun ia menjalankan Theosofi. Untuk kawin secara Islam, maka ibu harus menganut agama Islam terlebih dulu. Satu‐satunya jalan bagi mereka ialah kawin lari. Kawin lari menurut kebiasaan di Bali harus mengikuti tata cara tertentu. Kedua merpati itu bermalam di malam perkawinannya di rumah salah seorang kawan. Sementara itu dikirimkan utusan ke rumah orangtua si gadis untuk memberitahukan bahwa anak mereka sudah menjalankan perkawinannya. Ibu dan bapakku mencari perlindungan di rumah Kepala Polisi yang menjadi kawan bapak. Keluarga ibu datang menjemputnya, akan tetapi Kepala Polisi itu tidak mau melepaskan. “Tidak, dia berada dalam perlindungan saya,” katanya. Bukanlah kebiasaan kami untuk menghadapkan pengantin kemuka pengadilan, sekalipun orangtua tidak setuju. Akan tetapi kejadian ini adalah keadaan yang luar biasa ketika itu. Bapak seorang Islam Theosof dan ibu seorang Bali Hindu‐Budha. Pada waktu perkara itu diadili, ibu ditanya, “Apakah laki‐laki ini memaksamu, bertentangan dengan kemauanmu sendiri?” Dan ibu menjawab, “Tidak, tidak. Saya mencintainya dan melarikan diri atas kemauan saya sendiri. “Tiada pilihan lain bagi mereka, kecuali mengizinkan perkawinan itu. Sekalipun demikian pengadilan mendenda ibu 25 ringgit, yang nilainya sama dengan 25 dolar. Ibu mewarisi beberapa perhiasan emas dan untuk membayar denda itu ibu menjual perhiasannya. Karena bapak merasa tidak disukai orang di Bali, ia kemudian mengajukan permohonan kepada Departemen Pengajaran untuk dipindahkan ke Jawa. Bapak dikirim ke Surabaya dan disanalah putera sang fajar dilahirkan.
 http://penasoekarno.wordpress.com/2009/12/27/bab-ii-putera-sang-fajar/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar