Artikel novel laskar Pelangi
Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pengarang.
Andrea Hirata Seman Said Harun lahir
di pulau Belitung 24 Oktober 1982, Andrea Hirata sendiri merupakan anak keempat
dari pasangan Seman Said Harunayah dan NA Masturah. Ia dilahirkan di sebuah
desa yang termasuk desa miskin dan letaknya yang cukup terpelosok di pulau
Belitong. Tinggal di sebuah desa dengan segala keterbatasan memang cukup
mempengaruhi pribadi Andrea sedari kecil. Ia mengaku lebih banyak mendapatkan
motivasi dari keadaan di sekelilingnya yang banyak memperlihatkan
keperihatinan.
Nama Andrea Hirata sebenarnya bukanlah nama pemberian dari kedua orang
tuanya. Sejak lahir ia diberi nama Aqil Barraq Badruddin. Merasa tak cocok
dengan nama tersebut, Andrea pun menggantinya dengan Wadhud. Akan tetapi, ia
masih merasa terbebani dengan nama itu. Alhasil, ia kembali mengganti namanya
dengan Andrea Hirata Seman Said Harun sejak ia remaja.
“Andrea
diambil dari nama seorang wanita yang nekat bunuh diri bila penyanyi pujaannya,
yakni Elvis Presley tidak membalas suratnya,” ungkap Andrea.
Sedangkan Hirata sendiri
diambil dari nama kampung dan bukanlah nama orang Jepang seperti anggapan orang
sebelumnya. Sejak remaja itulah, pria asli Belitong ini mulai menyandang nama
Andrea Hirata. Andrea tumbuh seperti halnya anak-anak kampung lainnya. Dengan
segala keterbatasan, Andrea tetap menjadi anak periang yang sesekali berubah
menjadi pemikir saat menimba ilmu di sekolah. Selain itu, ia juga kerap
memiliki impian dan mimpi-mimpi di masa depannya.
Seperti yang diceritakannya
dalam novel Laskar Pelangi, Andrea kecil bersekolah di sebuah sekolah yang
kondisi bangunannya sangat mengenaskan dan hampir rubuh. Sekolah yang bernama
SD Muhamadiyah tersebut diakui Andrea cukuplah memperihatinkan. Namun karena
ketiadaan biaya, ia terpaksa bersekolah di sekolah yang bentuknya lebih mirip
sebagai kandang hewan ternak. Kendati harus menimba ilmu di bangunan yang tak
nyaman, Andrea tetap memiliki motivasi yang cukup besar untuk belajar. Di
sekolah itu pulalah, ia bertemu dengan sahabat-sahabatnya yang dijuluki dengan
sebutan Laskar Pelangi.
Di SD Muhamadiyah pula, Andrea
bertemu dengan seorang guru yang hingga kini sangat dihormatinya, yakni NA (Nyi
Ayu) Muslimah.
“Saya
menulis buku Laskar Pelangi untuk Bu Muslimah,” ujar Andrea dengan tegas kepada
Realita.
Kegigihan Bu Muslimah untuk mengajar siswa yang hanya berjumlah tak lebih
dari 11 orang itu ternyata sangat berarti besar bagi kehidupan Andrea.
Perubahan dalam kehidupan Andrea, diakuinya tak lain karena motivasi dan hasil
didikan Bu Muslimah. Sebenarnya di Pulau Belitong ada sekolah lain yang
dikelola oleh PN Timah. Namun, Andrea tak berhak untuk bersekolah di sekolah
tersebut karena status ayahnya yang masih menyandang pegawai rendahan. “Novel yang
saya tulis merupakan memoar tentang masa kecil saya, yang membentuk saya hingga
menjadi seperti sekarang,” tutur Andrea yang memberikan royalti novelnya kepada
perpustakaan sebuah sekolah miskin ini.
Tentang sosok Muslimah, Andrea menganggapnya sebagai seorang yang sangat
menginspirasi hidupnya. “
Perjuangan kami untuk mempertahankan sekolah yang hampir rubuh sangat
berkesan dalam perjalanan hidup saya,” ujar Andrea.
Berkat Bu Muslimah, Andrea
mendapatkan dorongan yang membuatnya mampu menempuh jarak 30 km dari rumah ke
sekolah untuk menimba ilmu. Tak heran, ia sangat mengagumi sosok Bu Muslimah
sebagai salah satu inspirator dalam hidupnya. Menjadi seorang penulis pun
diakui Andrea karena sosok Bu Muslimah. Sejak kelas 3 SD, Andrea telah
membulatkan niat untuk menjadi penulis yang menggambarkan perjuangan Bu
Muslimah sebagai seorang guru. “Kalau saya besar nanti, saya akan menulis
tentang Bu Muslimah,” ungkap penggemar penyanyi Anggun ini. Sejak saat itu,
Andrea tak pernah berhenti mencoret-coret kertas untuk belajar menulis cerita.
Setelah menyelesaikan
pendidikan di kampung halamannya, Andrea lantas memberanikan diri untuk
merantau ke Jakarta selepas lulus SMA. Kala itu, keinginannya untuk menggapai
cita-cita sebagai seorang penulis dan melanjutkan ke bangku kuliah menjadi
dorongan terbesar untuk hijrah ke Jakarta. Saat berada di kapal laut, Andrea
mendapatkan saran dari sang nahkoda untuk tinggal di daerah Ciputat karena
masih belum ramai ketimbang di pusat kota Jakarta. Dengan berbekal saran
tersebut, ia pun menumpang sebuah bus agar sampai di daerah Ciputat. Namun,
supir bus ternyata malah mengantarkan dirinya ke Bogor. Kepalang tanggung,
Andrea lantas memulai kehidupan barunya di kota hujan tersebut.
Beruntung bagi dirinya, Andrea
mampu memperoleh pekerjaan sebagai penyortir surat di kantor pos Bogor. Atas
dasar usaha kerasnya, Andrea berhasil melanjutkan pendidikannya di Fakultas
Ekonomi, Universitas Indonesia. Merasakan bangku kuliah merupakan salah satu
cita-citanya sejak ia berangkat dari
Belitong. Setelah menamatkan
dan memperoleh gelar sarjana, Andrea juga mampu mendapatkan beasiswa untuk
melanjutkan pendidikan S2 Economic Theory di Universite de Paris, Sorbonne,
Perancis dan Sheffield Hallam University, Inggris.
Berkat otaknya yang cemerlang,
Andrea lulus dengan status cum laude dan mampu meraih gelar Master Uni Eropa.
Sekembalinya ke tanah air, Andrea bekerja di PT Telkom dan Mulailah ia bekerja
sebagai seorang karyawan Telkom. Kini, Andrea masih aktif sebagai seorang
instruktur di perusahaan telekomunikasi tersebut. Selama bekerja, niatnya
menjadi seorang penulis masih terpendam dalam hatinya. Niat untuk menulis
semakin menggelora setelah ia menjadi seorang relawan di Aceh untuk para korban
tsunami. “Waktu itu saya melihat kehancuran akibat tsunami, termasuk kehancuran
sekolah-sekolah di Aceh,” kenang pria yang tak memiliki latarbelakang sastra
ini.
Kondisi sekolah-sekolah yang
telah hancur lebur lantas mengingatkannya terhadap masa lalu SD Muhamadiyah
yang juga hampir rubuh meski bukan karena bencana alam. Ingatan terhadap sosok
Bu Muslimah pun kembali membayangi pikirannya. Sekembalinya dari Aceh, Andrea
pun memantapkan diri untuk menulis tentang pengalaman masa lalunya di SD
Muhamadiyah dan sosok Bu Muslimah. “Saya mengerjakannya hanya selama tiga
minggu,” aku pria yang berulang tahun pada 24 Oktober ini.
Naskah setebal 700 halaman itu
lantas digandakan menjadi 11 buah. Satu kopi naskah tersebut dikirimkan kepada
Bu Muslimah yang kala itu tengah sakit. Sedangkan sisanya dikirimkan kepada
sahabat-sahabatnya dalam Laskar Pelangi. Tak sengaja, naskah yang berada dalam
laptop Andrea dibaca oleh salah satu rekannya yang kemudian mengirimkan ke
penerbit.
Bak gayung bersambut, penerbit
pun tertarik untuk menerbitkan dan menjualnya ke pasar. Tepatnya pada Desember
2005, buku Laskar Pelangi diluncurkan ke pasar secara resmi. Dalam waktu
singkat, Laskar Pelangi menjadi bahan pembicaraan para penggemar karya sastra
khususnya novel. Dalam waktu seminggu, novel perdana Andrea tersebut sudah
mampu dicetak ulang. Bahkan dalam kurun waktu setahun setelah peluncuran,
Laskar Pelangi mampu terjual sebanyak 200 ribu sehingga termasuk dalam best
seller. Hingga saat ini, Laskar Pelangi mampu terjual lebih dari satu juta
eksemplar.
Penjualan Laskar Pelangi
semakin merangkak naik setelah Andrea muncul dalam salah satu acara televisi.
Bahkan penjualannya mencapai 20 ribu dalam sehari. Sungguh merupakan suatu
prestasi tersendiri bagi Andrea, terlebih lagi ia masih tergolong baru sebagai
seorang penulis novel. Padahal Andrea sendiri mengaku sangatlah jarang membaca
novel sebelum menulis Laskar Pelangi. Sukses dengan Laskar Pelangi, Andrea
kemudian kembali meluncurkan buku kedua, Sang Pemimpi yang terbit pada Juli
2006 dan dilanjutkan dengan buku ketiganya, Edensor pada Agustus 2007. Selain
meraih kesuksesan dalam tingkat penjualan, Andrea juga meraih penghargaan
sastra Khatulistiwa Literary Award (KLA) pada tahun 2007.
Lebaran di Belitong. Kini, Andrea sangat disibukkan dengan kegiatannya
menulis dan menjadi pembicara dalam berbagai acara yang menyangkut dunia
sastra. Penghasilannya pun sudah termasuk paling tinggi sebagai seorang
penulis. Namun demikian, beberapa pihak sempat meragukan isi dari novel Laskar
Pelangi yang dianggap terlalu berlebihan. “Ini kan novel, jadi wajar seandainya
ada cerita yang sedikit digubah,” ungkap Andrea yang memiliki impian tinggal di
Kye Gompa, desa tertinggi di dunia yang terletak di pegunungan Himalaya.
Kesuksesannya sebagai seorang penulis tentunya membuat Andrea bangga dan
bahagia atas hasil kerja kerasnya selama ini.
Meski disibukkan dengan kegiatannya yang cukup menyita waktu, Andrea masih
tetap mampu meluangkan waktu untuk mudik di saat Lebaran lalu. Bahkan bagi
Andrea, mudik ke Belitong di saat Lebaran adalah wajib hukumnya. “Orang tua
saya sudah sepuh, jadi setiap Lebaran saya harus pulang,” ujar Andrea dengan
tegas. Di Belitong, Andrea melakukan rutinitas bersilaturahmi dengan orang tua
dan kerabat lainnya sembari memakan kue rimpak, kue khas Melayu yang selalu
hadir pada saat Lebaran. Kendati perjalanan ke Belitong tidaklah mudah, karena
pilihan transportasi yang terbatas, Andrea tetap saja harus mudik setiap
Lebaran tiba. Terlebih lagi, bila ia tak kebagian tiket pesawat ke Bandara
Tanjung Pandan, Pulau Belitong, maka mau tak mau Andrea harus menempuh 18 jam
perjalanan dengan menggunakan kapal laut.
Perasaan bangga dan bahagia semakin dirasakan Andrea tatkala Laskar Pelangi
diangkat menjadi film layar lebar oleh Mira Lesmana dan Riri Riza. “Saya
percaya dengan kemampuan mereka,” ujarnya tegas. Apalagi, film Laskar Pelangi
juga sempat ditonton oleh orang nomor satu di negeri ini, Susilo Bambang
Yudhoyono beberapa waktu lalu. “
Kini Laskar Pelangi memiliki artikulasi yang lebih luas daripada sebuah
buku. Nilai-nilai dalam Laskar Pelangi menjadi lebih luas,” tutur Andrea
Menjadi seorang penulis novel
terkenal mungkin tak pernah ada dalam pikiran Andrea Hirata sejak masih
kanak-kanak. Berjuang untuk meraih pendidikan tinggi saja, dirasa sulit kala
itu. Namun, seiring dengan perjuangan dan kerja keras tanpa henti, Andrea mampu
meraih sukses sebagai penulis memoar kisah masa kecilnya yang penuh dengan
keperihatinan.
B.
Rumusan Masalah
- Apa Tema dari film Laskar Pelangi?
- Bagaimana alur cerita dalam film Laskar Pelangi?
- Apa latar cerita dari film Laskar Pelangi?
- Siapa saja Tokoh dan Penokohan dalam film Laskar Pelangi?
- Sudut Pandang apa yang digunakan dalam film Laskar Pelangi?
- Amanat apa yang tersurat atau tersirat dalam film Laskar Pelangi?
C.
Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui Tema dari film Laskar Pelangi.
- Untuk mengetahui alur cerita dalam film Laskar Pelangi.
- Untuk mengetahui latar cerita dari film Laskar Pelangi.
- Untuk mengetahui Tokoh dan Penokohan dalam film Laskar Pelangi.
- Untuk mengetahui Sudut Pandang yang digunakan dalam film Laskar Pelangi.
- Untuk mengetahui Amanat yang tersurat atau tersirat dalam film Laskar Pelangi.
D.
Manfaat Penulisan
- Supaya mengetahui judul dari film Laskar Pelangi.
- Supaya mengetahui alur cerita dalam film Laskar Pelangi.
- Supaya mengetahui latar cerita dari film Laskar Pelangi.
- Supaya mengetahui Tokoh dan Penokohan dalam film Laskar Pelangi.
- Supaya mengetahui Sudut Pandang yang digunakan dalam film Laskar Pelangi.
- Supaya mengetahui Amanat yang tersurat atau tersirat dalam film Laskar Pelangi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Unsur
Intrinsik
1. Tema
Tema utama dalam film “Laskar
Pelangi” ini adalah pendidikan. Namun uniknya tema pendidikan ini diselingi
oleh kisah persahabatan yang erat antara anggota ‘Laskar Pelangi’. Tema
pendidikan ini sendiri dipadukan dengan tema ekonomi. Namun tema pendidikan lah
yang lebih menonjol.
2. Plot (alur)
a. Pengenalan Situasi Cerita
`
Cerita diawali dengan dibukanya penerimaan murid baru di SD Muhammadiyah yang
ada di Desa Gantung, Kabupaten Gantung, Belitong Timur, Sumatera Selatan.
Sebuah daerah yang kaya akan sumber daya alamnya yaitu timah. Belitong
merupakan daerah yang menjadi tempat penambangan timah terbesar dan menghasilkan
banyak sekali keuntungan. Meski pun begitu, kehidupan di sana seperti
terpetak-petak antara yang kaya dan yang miskin.
Pagi itu, satu demi satu calon siswa yang
didampingi oleh orang tuanya berdatangan mendaftarkan diri di sekolah yang
hampir roboh dan mungkin sudah tidak layak untuk dipakai sebagai tempat
belajar-mengajar.
b. Menuju Adanya Konflik
Dalam film “Laskar Pelangi” ini,
banyak sekali bermunculan masalah-masalah atau konflik-konflik. Namun konflik
awal yang pertama muncul adalah saat suasana mulai tegang karena ternyata
pendaftar tidak mencukupi batas minimal siswa yang disyaratkan oleh Depdikbud
Sumsel. Apabila calon siswa yang mendaftar kurang dari sepuluh anak, maka SD
Muhammadiyah harus ditutup.
c. Puncak Konflik
Puncak konfliknya ialah setelah
ditunggu hingga siang, ternyata jumlah pendaftar tidak lebih dari sembilan
orang. Jumlah ini tentu saja belum mencukupi persyaratan Depdikbud. Hal ini
tentu saja sangat mencemaskan Pak Harfan sang kepala sekolah dan Bu Muslimah
sang guru. Sampai pada akhirnya Pak Harfan memutuskan untuk memberikan pidato
sekaligus mengumumkan bahwa penerimaan siswa baru dibatalkan.
Selanjutnya konflik-konflik
lain bermunculan dari masing-masing tokoh. Namun konflik selanjutnya yang
secara garis besar melibatkan hampir semua tokoh ialah saat akan diadakannya
lomba karnaval dan cerdas cermat antar sekolah.
d. Penyelesaian
Sesaat hampir saja Pak Harfan
memulai pidatonya untuk memberitahukan bahwa penerimaan siswa baru di SD
Muhammadiyah dibatalkan, seorang ibu muncul untuk mendaftarkan anaknya
(Harun) yang mengidap keterbelakangan mental. Tentu saja kedatangan Harun dan
ibunya ini memberikan napas lega kepada Pak Harfan, Bu Muslimah dan juga para
calon siswa serta orang tuanya. Harun telah menggenapi jumlah siswa untuk
menghindarkan SD Muhammadiyah dari penutupan.
Sekolah yang jika malam dipakai sebagai kandang ternak
ini akhirnya memulai kegiatan belajar-mengajar meski dengan fasilitas yang
seadanya. Tiba saatnya mengikuti karnaval antar sekolah. Keikutsertaan SD
Muhammadiyah sempat diperdebatkan karena ketidakadaan dana dan sikap pesimistis
yang muncul. Namun, Bu Muslimah bersikeras mengikutkan murid-muridnya. Karena
nilai keseniannya paling tinggi dan dianggap sebagai murid yang kreatif, Mahar
pun ditunjuk sebagai ketua untuk mengurusi persiapan karnaval. Dengan ide
cemerlang dan kreativitasnya, Mahar berhasil menggiring teman-temannya merebut
piala kemenangan.
SD Muhammadiyah kembali mengikuti perlombaan. Kali ini
adalah perlombaan cerdas cermat. Bu Muslimah, Ikal dan kawan-kawan sempat
khawatir karena tak lama perlombaan akan dimulai namun ujung tombak tim mereka
belum juga datang. Untungnya meski hampir terlambat, akhirnya si cerdas itu pun
datang (Lintang). Awalnya tim dari SD Muhammadiyah tertinggal angka melawan SD
PN dan SD Negeri. Namun pada saat memasuki soal yang berbau angka SD
Muhammadiyah mengejar ketertinggalan dan berhasil keluar sebagai juara.
3. Latar Cerita
a. Latar Tempat
Latar tempat yang digunakan dalam
film ini adalah di sebuah sekolah bernama SD Muhammadiyah yang terletak di Desa
Gantung, Kabupaten Gantung, Belitong Timur, Sumatera Selatan. Namun, ada pula
yang latarnya adalah di rumah, pohon, gua, tepi pantai, pasar dan lain-lain
tapi masih di kawasan Belitong.
b. Latar Waktu
Dikarenakan film “Laskar Pelangi”
ini merupakan novel yang menceritakan kisah nyata meski ada bumbu imajinasi,
maka latar waktu yang disampaikan pun jelas yaitu terjadi pada tahun 1974.
c. Latar Suasana
Latar suasana yang ada dalam film ini
beragam dikarenakan konflik-konfik yang muncul juga beragam. Ada kalanya
senang, sedih, hingga cemas. Berikut beberapa penggalan kisah yang menjelaskan
suasana dalam novel :
· Suasana Sedih
Salah satu penggalan cerita yang
menggambarkan suasana sedih ialah saat Ikal, teman-temannya dan Bu Muslimah
berpisah dari Lintang yang memutuskan berhenti sekolah karena harus mengurusi
keluarga yang ditinggal mati ayahnya.
· Suasana Senang
Salah satu penggalan cerita yang
menggambarkan suasana senang ialah saat tim cerdas cermat SD Muhammadiyah
berhasil memenangkan pertandingan.
· Suasana Cemas
Salah satu penggalan cerita yang
menggambarkan suasana cemas ialah saat Pak Harfan, Bu Muslimah dan calon murid
SD Muhammadiyah beserta orang tuanya menunggu untuk menggenapkan calon siswa
yang mendaftar agar sekolah tidak ditutup.
4.
Penokohan
Tokoh-tokoh yang berperan dalam film ‘Laskar Pelangi’
antara lain :
a) Ikal
Ikal atau yang di dalam film laskar
pelangi berperan sebagai ‘aku’ merupakan tokoh utama. Ikal adalah salah seorang
anggota ‘Laskar Pelangi’. Di sekolah ia termasuk murid yang lumayan pandai,
namun kepandaiannya masih di bawah dari temannya yaitu Lintang. Ia selalu
berada di peringkat kedua di sekolah setelah Lintang. Ikal termasuk orang yang tidak
mudah putus asa, selalu bersemangat melakukan hal yang ia sukai dan tegar. Ikal
begitu menyukai dunia sastra terutama puisi. Dalam film ini, Ikal diceritakan
menyukai seorang gadis keturunan Tionghoa bernama A Ling. Ia sering sekali
mengirimkan puisi tentang luapan perasaannya kepada A Ling.
b) Taprani
Taprani merupakan sosok yang tampan,
rapi, perfeksionis, lumayan pintar, bicara seperlunya (pendiam), santun,
sangat berbakti kepada orang tua dan manja. Ia bercita-cita menjadi guru di
daerah terpencil untuk memajukan pendidikan orang melayu pedalaman. Taprani
selalu diperhatikan ibunya. Apa pun yang akan dilakukannya harus selalu
diketahui ibunya. Ia sangat tergantung pada ibunya.
c) Sahara
Sahara merupakan satu-satunya murid
perempuan yang bersekolah di SD Muhammadiyah. Tubuhnya ramping dan selalu
berjilbab rapi. Di sekolah ia termasuk murid yang pintar. Meski pun ia adalah
sosok yang perhatian, namun ia termasuk tipe orang yang temperamental, ketus,
skeptis, susah diyakinkan dan tidak mudah terkesan. Sahara Sangat menjujung
tinggi nilai kejujuran. Ia paling tidak suka berbohong. Dalam film itu
diceritakan bahwa ia bertengkar dengan A Kiong yang tidak pernah sependapat
atau satu pemikiran dengannya.
d) A Kiong
A Kiong adalah satu-satunya murid
keturunan Tionghoa yang bersekolah di SD Muhammadiyah. Sifatnya begitu polos
dan selalu mempercayai apa yang dikatakan Mahar. Ia selalu menjadi pendukung
sekaligus pengikut setia Mahar. A Kiong memiliki rasa persahabatan yang tinggi
dan suka menolong. Ia sering kali bertengkar dengan Sahara.
e) Harun
Harun yang sudah mulai memasuki
jenjang pendidikan Sekolah Dasar pada usia lima belas tahun ini mengidap
keterbelakangan mental. Sifatnya santun, pendiam, dan murah senyum. Laki-laki
yang memiliki model rambut seperti Chairil Anwar ini hobi sekali mengunyah
permen asam jawa. Ia pun selalu berpakaian rapi. Di kelas, ia sama sekali tidak
bisa menangkap pelajaran membaca atau pun menulis. Ia pun sering kali bercerita
tentang kucing belang tiganya yang melahirkan tiga anak yang juga bebelang tiga
secara berulang-ulang.
f) Borek
Borek memilki tubuh yang tinggi
tinggi dan besar. Ia sangat terobsesi dengan body building dan
tergila-gila dengan citra cowok macho.
g) Syahdan
Karakter Syahdan tidak begitu
menonjol dalam film itu Ia adalah salah satu anggota ‘Laskar Pelangi’ yang
selalu setia menemani Ikal membeli kapur tulis di took Sinar Harapan milik
orang tua A Ling. Syahdan merupakan saksi cinta pertama Ikal kepada A Ling. Ia
memiliki cita-cita sebagai aktor.
h) Kucai
Kucai adalah salah satu anggota
‘Laskar Pelangi’ yang diamanahi sebagai ketua kelas. Ia sempat frustrasi ketika
menjadi ketua kelas karena kesulitan dalam mengatur teman-temannya. Meski
begitu, laki-laki yang menderita rabun jauh ini selalu terpilih menjadi ketua
kelas dan pada akhirnya ia menerima keputusan itu. Anak yang banyak bicara dan
susah diatur ini berbakat menjadi seorang politikus.
i) Lintang
Lintang merupakan anak yang paling
jenius dan gigih di antara teman-temannya. Meski pun jarak rumahnya dari
sekolah sangat jauh (80 km), ia tetap semangat untuk pergi ke sekolah dan
menjadi anak yang paling pagi datang. Setiap berangkat sekolah, ia harus
melalui jalan yang merupakan tempat buaya tinggal. Ayahnya adalah seorang
nelayan miskin yang bertanggung jawab menafkahi empat belas nyawa yang tinggal
di rumahnya. Di sekolah, Lintang begitu serius belajar dan aktif. Otaknya yang
jenius dan cermat membawa tim SD Muhammadiyah menjadi pemenang dalam lomba
cerdas cermat. Lintang sangat suka membaca dan mempelajari berbagai ilmu
penngetahuan. Lintang pun tak segan membagi ilmunya kepada teman-temannya.
Idenya sangat kreatif. Lucunya, kelihaiannya dalam berpikir tidak dibarengi
dengan tulisan tangan yang indah.
j) Mahar
Mahar memiliki bakat dalam bidang
seni, baik itu menyanyi, melukis, seni rupa dan lain sebagainya. Pemikirannya
imajinatif dan kreatif. Anak tampan ini termasuk orang yang menggemari
dongeng-dongeng yang tak masuk akal (mungkin karena ia terlalu imajinatif).
Mahar sering kali diejek dan ditertawakan teman-temannya karena pemikirannya
dianggap aneh.
k) Bu Muslimah
Wanita bernama lengkap N.A. Muslimah
Hafsari ini adalah guru di SD Muhammadiyah. Ia sangat gigih dalam mengajar
meski pun gajinya belum dibayar. Ia sangat berdedikasi terhadap dunia
pendidikan dan dengan segenap jiwa mengajar murid-murid di SD Muhammadiyah.
Wanita cantik yang menyukai bunga ini memiliki pendirian yang progresif dan
terbuka terhadap ide-ide baru. Ia termasuk orang yang sabar dan baik hati.
l) Pak
Harfan
Pria bernama lengkap K.A Harfan
Efendy Noor ini menjabat sebagai kepala SD Muhammadiyah. Bersama Bu Muslimah,
ia tetap mempertahankan sekolah yang hampir ditutup karena kekurangan siswa.
Pak Harfan juga memiliki dedikasi tinggi terhadap pendidikan.
m) A Ling
Gadis keturunan Tiongoa ini
merupakan cinta pertama Ikal. Ia memiliki tubuh yang ramping dan tinggi. Anak
dari pemilik toko Sinar Harapan ini ternyata juga menyukai Ikal. Namun
sayangnya ia pindah ke Jakarta.
n) Flo
Ia merupakan murid pindahan dari
sekolah PN. Gadis tomboi yang berasal dari keluarga kaya ini merupakan tokoh
terakhir yang muncul sebagai anggota ‘Laskar Pelangi’.
5. Sudut Pandang yang
Digunakan
Sudut pandang yang digunakan dalam
novel ini adalah sudut pandang orang pertama pelaku utama karena dalam
penceritaan novel penulis menggunakan kata ‘aku’. Tokoh ‘aku’ dalam novel itu
diceritakan paling dominan sehingga si tokoh ‘aku’ dapat dikatakan sebagai
tokoh atau pelaku utama.
6. Amanat
Banyak sekali amanat yang terkandung
dalam film “Laskar Pelangi” ini. Diantaranya adalah :
·
Jangan mudah
menyerah oleh keadaan (jangan putus asa)
Keadaan boleh saja serba kekurangan,
namun kekurangan janganlah menjadi alasan untuk tidak berusaha. Justru
jadikanlah kekurangan itu sebagai motivasi untuk bisa menutupinya. Dalam film
ini diceritakan tentang kehidupan pendidikan yang keadaannya serba minim.
Namun, tokoh-tokoh di dalamnya tidak menyerah dengan keadaan seperti itu.
Mereka tetap bersemangat mengikuti kegiatan belajar mengajar. Kemiskinan bukan
alasan untuk tidak belajar.
·
Jauhi sifat
pesimis
Saat menengadahkan perasaan kepada
orang-orang yang ada di atas kita, bukan berarti kita harus merasa kecil dan
lemah di hadapan mereka. Kita ada di bawah, bukan berarti kita tidak bisa
seperti orang yang ada di atas. Menengadahkan perasaan ke atas mestinya
dijadikan cambuk semangat untuk bisa seperti orang itu atau bahkan bisa lebih
baik lagi. Contonya pada film ini yang menceritakan sebuah sekolah kampung (SD
Muhammadiyah) biasa yang selalu optimis untuk bisa lebih baik dari sekolah yang
dari awal memang sudah baik (SD PN).
·
Sebagai guru
haruslah dengan ikhlas mengajar dan berdedikasi tinggi terhadap pendidikan.
Dalam film ini diceritakan seorang
guru yang begitu tinggi dedikasinya terhadap pendidikan. Guru diibaratkan
kompas yang menunjukkan kemana murid-muridnya akan pergi. Bu Muslimah merupakan
sosok yang menjadi guru teladan yang dengan segenap kemampuannya berjuang untuk
memajukan pendidikan di sebuah kampug kecil.
B. Unsur Ekstrinsik
Selain unsur intrinsik, dalam film “Laskar Pelangi” ini amat kental dengan
pengaruh unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik yang ada dalam film “laskar
pelangi” tidak lepas dari latar belakang kehidupan pengarang entah itu dari
segi budaya yang dipegang, kepercayaan, lingkungan tempat tinggal dan lain
sebagainya. Ada pun beberapa unsur ekstrinsik yang dibahas antara lain :
1. Latar Belakang Tempat
Tinggal
Lingkungan tempat tinggal pengarang
mempengaruhi psikologi penulisan novel. Apalagi novel “Laskar Pelangi”
merupakan adaptasi dari cerita nyata yang dialami oleh pengarang langsung.
Letak tempat tinggal pengarang yang jauh berada di Desa Gantung, Kabupaten
Gantung, Belitong Timur, Sumatera Selatan ternyata benar-benar dijadikannya
latar tempat bagi penulisan novelnya.
2. Latar Belakang Sosial
dan Budaya
Pada novel ini banyak sekali
unsur-unsur sosial dan budaya masyarakat yang bertempat tinggal di Belitong.
Adanya perbedaan status antara komunitas buruh tambang dan komunitas pengusaha
yang dibatasi oleh tembok tinggi merupakan latar belakang sosial. Dimana
interaksi antara kedua komunitas ini memang ada dan saling ketergantungan.
Komunitas buruh tambang memerlukan uang untuk melanjutkan kehidupan, sedang
komunitas pengusaha memerlukan tenaga para buruh tambang untuk menjalankan
usaha mereka.
3. Latar Belakang Religi
(agama)
Latar belakang religi atau agama si
pengarang sangat terlihat seperti pantulan cermin dalam film “Laskar Pelangi”
ini. Nuansa keislamannya begitu kental. Dalam beberapa penggalan cerita,
pengarang sering kali menyelipkan pelajaran-pelajaran mengenai keislaman.
4. Latar Belakang
Ekonomi
Sebagian masyarakat Belitong
mengabdikan dirinya pada perusahaan-perusahaan timah. Digambarkan dalam cerita
bahwa Belitong adalah pulau yang kaya akan sumber daya alam. Namun tidak semua
masyarakat Belitong bisa menikmati hasil bumi itu. PN memonopoli hasil
produksi, sementara masyarakat termarginalkan di tanah mereka sendiri. Latar
belakang ekonomi dalam cerita ini diambil dari kacamata masyarakat belitong
kebanyakan yang tingkat ekonominya masih rendah. Padahal sumber daya alamnya
tinggi.
5. Latar Belakang
Pendidikan
Dalam novel ini terkandung banyak
sekali nilai-nilai edukasi yang disampaikan pengarang. Pengarang tidak hanya
bercerita, tapi juga menyajikan berbagai ilmu pengetahuan yang diselipkan di
antara ceritanya. Begitu banyak cabang ilmu pengetahuan yang diselipkan
antara lain seperti sains (fisika, kimia, biologi, astronomi). Pengarang gemar
sekali memasukkan istilah-istilah asing ilmu pengetahuan yang tertuang dalam
cerita. Ini menandakan bahwa pengarangnya memiliki tingkat pendidikan yang tinggi.
Benarkah Soekarno Komunis ?
Pertanyaan diatas sudah terlalu sering
kita dengar. Terlebih diawal berdirinya ORBA atau saat-saat awal
runtuhnya kekuasaan Bung Karno.
Mengapa isyu itu harus dihembuskan ?
Jawabnya hanya satu: Masyarakat Indonesia sangat religius dan sangat
sulit menerima kehadiran seorang komunis. Maka hanya dengan mengisyukan
bahwa Soekarno komunislah usaha untuk melepaskan ikatan batin antara
Soekarno dan masyarakat yang mencintainya akan berhasil.
Bung Karno, lahir bukan dari keluarga
muslim dalam pengertian seperti keluarga “pak haji”. Ibunya dari Bali,
yang tentu saja sebelumnya memeluk Hindu sebagai keyakinannya. Ayahnya?
Seperti kebanyakan muslim Jawa tempo doeloe, yakni seorang muslim
“abangan”, cenderung kejawen. Dia mengenal rukun Islam, dia menjalankan
kewajiban-kewajiban sebagai orang Islam, tetapi juga menjalankan
ritual-ritual kejawen yang sarat mistik.
Perkenalan Sukarno dengan Islam lebih
dalam, diakuinya saat usia 15 tahun, saat ia duduk di bangku HBS. Yang
memperkenalkan adalah H.O.S. Cokroaminoto. Ia bahkan terbilang rajin
mengikuti pengajian Muhammadiyah, di sebuah tempat di seberang Gang
Peneleh, Surabaya, tempat ia tinggal bersama keluarga Cokro. Sekali
dalam sebulan, ia mengaji di sana, dari pukul 20.00 hingga larut malam.
Akan tetapi, pendalaman terhadap Alquran
diperoleh tahun 1928, saat ia mendekam di sel nomor 233 penjara
Sukamiskin, Bandung. Segala bacaan yang berbau politik dilarang, jadilah
ia mendalami Alquran sedalam-dalamnya. Kepada penulis biografinya,
Cindy Adams, Bung Karno mengaku, sejak itu ia tak pernah meninggalkan
sujud lima kali sehari menghadap ka’bah: Subuh, dhuhur, ‘asar, maghrib,
dan isya.
Sejak itu pula, segala sesuatu dijawabnya
dengan “Insya Allah — Kalau Tuhan menghendaki.” Mungkinkah seseorang
yang sujud lima kali sehari menyembah Allah SWT adalah seorang komunis?
Tanyalah dia, “He, Sukarno, apakah engkau akan pergi ke Bogor minggu
ini?” Dan Sukarno akan menjawab, “Insya Allah, kalau Tuhan mengizinkan
saya pergi.” Mungkinkan orang yang demikian dapat menjadi seorang
komunis?
Ia sendiri meragukan kalau ada manusia
yang bertahun-tahun disekap dalam dunia penjara yang gelap, tetapi masih
meragukan adanya Tuhan. Akan halnya Sukarno, ia bertahun-tahun mendekam
di balik jerajak besi. Malam-malam yang gelap, ia hanya bisa mengintip
kerlip bintang di langit dari sebuah lubang penjara yang sempit.
Manakala rembulan melintas, sejenak sinarnya mengintip Bung Karno di
dalam penjara.
Masa-masa yang gelap di dalam penjara,
masa-masa di mana ia tak bisa menelan bulat-bulat indahnya purnama dan
bintang-gemintang, Bung Karno hanya bisa tertunduk sendiri. Ia sungguh
tak tahu nasib akan berkata apa saat fajar menyingsing nanti. Sukarno
menuturkan, dalam keadaan seperti itulah, sholat malam menjadi begitu
khusuk.
Pengkajian alquran yang intens,
menempatkan kesadaran tertinggi seorang Sukarno, bahwa Tuhan bukanlah
suatu pribadi. Tuhan tiada hingganya, meliputi seluruh jagat raya. Ia
Maha Kuasa. Ia Maha Ada. Tidak hanya di pengapnya ruang penjara, akan
tetapi ada di mana-mana. Ia hanya esa. Tuhan ada di atas puncak gunung,
di angkasa, di balik awan, di atas bintang-bintang yang ia lihat setiap
malam-malam tak berawan. Tuhan ada di venus. Tuhan ada di Saturnus, Ia
tidak terbagi-bagi di matahari dan di bulan. Tidak. Ia berada di
mana-mana, di hadapan kita, di belakang kita, memimpin kita, menjaga
kita.
Sampai pada kesadaran yang demikian, Bung
Karno insaf seinsaf-insafnya, bahwa tak ada satu pun yang patut ia
takutkan, karena ia sadar betul bahwa Tuhan tak jauh dari kesadarannya.
Yang ia perlukan hanyalah bermunajat ke dalam hati yang terdalam untuk
menemuiNya. Ia pun memasrahkan setiap langkahnya agar senantiasa
dipimpin oleh Tuhan yang ia sembah dalam menggelorakan revolusi
kemerdekaan.
Pertanyaan diatas sudah terlalu sering
kita dengar. Terlebih diawal berdirinya ORBA atau saat-saat awal
runtuhnya kekuasaan Bung Karno.
Mengapa isyu itu harus dihembuskan ?
Jawabnya hanya satu: Masyarakat Indonesia sangat religius dan sangat
sulit menerima kehadiran seorang komunis. Maka hanya dengan mengisyukan
bahwa Soekarno komunislah usaha untuk melepaskan ikatan batin antara
Soekarno dan masyarakat yang mencintainya akan berhasil.
Bung Karno, lahir bukan dari keluarga
muslim dalam pengertian seperti keluarga “pak haji”. Ibunya dari Bali,
yang tentu saja sebelumnya memeluk Hindu sebagai keyakinannya. Ayahnya?
Seperti kebanyakan muslim Jawa tempo doeloe, yakni seorang muslim
“abangan”, cenderung kejawen. Dia mengenal rukun Islam, dia menjalankan
kewajiban-kewajiban sebagai orang Islam, tetapi juga menjalankan
ritual-ritual kejawen yang sarat mistik.
Perkenalan Sukarno dengan Islam lebih
dalam, diakuinya saat usia 15 tahun, saat ia duduk di bangku HBS. Yang
memperkenalkan adalah H.O.S. Cokroaminoto. Ia bahkan terbilang rajin
mengikuti pengajian Muhammadiyah, di sebuah tempat di seberang Gang
Peneleh, Surabaya, tempat ia tinggal bersama keluarga Cokro. Sekali
dalam sebulan, ia mengaji di sana, dari pukul 20.00 hingga larut malam.
Akan tetapi, pendalaman terhadap Alquran
diperoleh tahun 1928, saat ia mendekam di sel nomor 233 penjara
Sukamiskin, Bandung. Segala bacaan yang berbau politik dilarang, jadilah
ia mendalami Alquran sedalam-dalamnya. Kepada penulis biografinya,
Cindy Adams, Bung Karno mengaku, sejak itu ia tak pernah meninggalkan
sujud lima kali sehari menghadap ka’bah: Subuh, dhuhur, ‘asar, maghrib,
dan isya.
Sejak itu pula, segala sesuatu dijawabnya
dengan “Insya Allah — Kalau Tuhan menghendaki.” Mungkinkah seseorang
yang sujud lima kali sehari menyembah Allah SWT adalah seorang komunis?
Tanyalah dia, “He, Sukarno, apakah engkau akan pergi ke Bogor minggu
ini?” Dan Sukarno akan menjawab, “Insya Allah, kalau Tuhan mengizinkan
saya pergi.” Mungkinkan orang yang demikian dapat menjadi seorang
komunis?
Ia sendiri meragukan kalau ada manusia
yang bertahun-tahun disekap dalam dunia penjara yang gelap, tetapi masih
meragukan adanya Tuhan. Akan halnya Sukarno, ia bertahun-tahun mendekam
di balik jerajak besi. Malam-malam yang gelap, ia hanya bisa mengintip
kerlip bintang di langit dari sebuah lubang penjara yang sempit.
Manakala rembulan melintas, sejenak sinarnya mengintip Bung Karno di
dalam penjara.
Masa-masa yang gelap di dalam penjara,
masa-masa di mana ia tak bisa menelan bulat-bulat indahnya purnama dan
bintang-gemintang, Bung Karno hanya bisa tertunduk sendiri. Ia sungguh
tak tahu nasib akan berkata apa saat fajar menyingsing nanti. Sukarno
menuturkan, dalam keadaan seperti itulah, sholat malam menjadi begitu
khusuk.
Pengkajian alquran yang intens,
menempatkan kesadaran tertinggi seorang Sukarno, bahwa Tuhan bukanlah
suatu pribadi. Tuhan tiada hingganya, meliputi seluruh jagat raya. Ia
Maha Kuasa. Ia Maha Ada. Tidak hanya di pengapnya ruang penjara, akan
tetapi ada di mana-mana. Ia hanya esa. Tuhan ada di atas puncak gunung,
di angkasa, di balik awan, di atas bintang-bintang yang ia lihat setiap
malam-malam tak berawan. Tuhan ada di venus. Tuhan ada di Saturnus, Ia
tidak terbagi-bagi di matahari dan di bulan. Tidak. Ia berada di
mana-mana, di hadapan kita, di belakang kita, memimpin kita, menjaga
kita.
Sampai pada kesadaran yang demikian, Bung
Karno insaf seinsaf-insafnya, bahwa tak ada satu pun yang patut ia
takutkan, karena ia sadar betul bahwa Tuhan tak jauh dari kesadarannya.
Yang ia perlukan hanyalah bermunajat ke dalam hati yang terdalam untuk
menemuiNya. Ia pun memasrahkan setiap langkahnya agar senantiasa
dipimpin oleh Tuhan yang ia sembah dalam menggelorakan revolusi
kemerdekaan.
http://penasoekarno.wordpress.com/2009/10/22/benarkah-soekarno-komunis/
Alasan Menulis Bab ini …
CARA yang paling mudah untuk melukiskan tentang diri Sukarno ialah
dengan menamakannya seorang yang maha‐pencinta. Ia mencintai negerinya,
ia mencintai rakyatnya, ia mencintai wanita, ia mencintai seni dan
melebihi daripada segala‐galanya ia cinta kepada dirinya sendiri.
Sukarno adalah seorang manusia perasaan. Seorang pengagum. Ia menarik
napas panjang apabila menyaksikan pemandangan yang indah. Jiwanya
bergetar memandangi matahari terbenam di Indonesia. Ia menangis dikala
menyanyikan lagu spirituil orang negro. Orang mengatakan bahwa Presiden
Republik Indonesia terlalu banyak memiliki darah seorang seniman. “Akan
tetapi aku bersyukur kepada Yang Maha Pencipta, karena aku dilahirkan
dengan perasaan halus dan darah seni. Kalau tidak demikian, bagaimana
aku bisa menjadi Pemimpin Besar Revolusi, sebagairnana 105 juta rakyat
menyebutku? Kalau tidak demikian, bagairnana aku bisa memimpin bangsaku
untuk merebut kembali kemerdekaan dan hak‐asasinya, setelah tiga
setengah abad dibawah penjajahan Belanda? Kalau tidak demikian bagaimana
aku bisa mengobarkan suatu revolusi di tahun 1945 dan menciptakan suatu
Negara Indonesia yang bersatu, yang terdiri dari pulau Jawa, Bali,
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan bagian lain dari
Hindia Belanda? Irama suatu‐revolusi adalah menjebol dan membangun.
Pernbangunan menghendaki jiwa seorang arsitek. Dan di dalam jiwa arsitek
terdapatlah unsur‐unsur perasaan dan jiwa seni. Kepandaian memimpin
suatu revolusi hanya dapat dicapai dengan rnencari ilham dalam segala
sesuatu yang dilihat. Dapatkah orang memperoleh ilham dalam sesuatu,
bilamana ia bukan seorang manusia‐perasaan dan bukan manusia‐seni barang
sedikit ? Namun tidak setiap orang setuju dengan gambaran Sukarno
tentang diri Sukarno. Tidak semua orang menyadari, bahwa jalan untuk
mendekatiku adalah semata‐mata melalui hati jang ikhlas. Tidak semua
orang menyadari, bahwa aku ini tak ubahnya seperti anak kecil. Berilah
aku sebuah pisang dengan sedikit simpati yang keluar dari lubuk‐hatimu,
tentu aku akan mencintaimu untuk selama‐lamanja. Akan tetapi berilah aku
seribu juta dollar dan disaat itu pula engkau tampar mukaku dihadapan
umum, maka sekalipun ini nyawa tantangannya aku akan berkata kepadamu,
“Persetan !” Manusia Indonesia hidup dengan getaran perasaan. Kamilah
satu‐satunya bangsa di dunia yang mempunyai sejenis bantal yang
dipergunakan sekedar untuk dirangkul. Di setiap tempat‐tidur orang
Indonesia terdapat sebuah bantal sebagai kalang hulu dan sebuah lagi
bantal kecil berbentuk bulatpanjang yang dinamai guling. Guling ini bagi
kami gunanya hanya untuk dirangkul sepanjang malam. Aku menjadi orang
yang paling menyenangkan didunia ini, apabila aku merasakan arus
persahabatan, sirnpati terhadap persoalan‐persoalanku, pengertian dan
penghargaan datang menyambutku. Sekalipun ia tak diucapkan, ia dapat
kurasakan. Dan sekalipun rasa‐tidak senang itu tidak diucapkan, aku juga
dapat merasakannya. Dalam kedua hal itu aku bereaksi menurut instink.
Dengan satu perkataan yang lembut, aku akan melebur. Aku bisa keras
seperti baja, tapi akupun bisa sangat lunak. Seorang diplomat tinggi
Inggris masih belum menyadari, bahwa kunci menuju Sukarno akan berputar
dengan mudah, kalau ia diminyaki dengan perasaan kasih sayang. Dalam
sebuah suratnya belum lama berselang yang ditujukan ke Downing Street 10
ia menulis, “Presiden Sukarno tidak dapat dikendalikan, tidak dapat
diramalkan dan tidak dapat dikuasai. Dia seperti tikus yang terdesak.
“Suatu ucapan yang sangat bagus bagi seseorang yang telah
mempersembahkan seluruh hidupnya kepangkuan tanah airnya, orang yang 13
tahun lamanya meringkuk dalam penjara dan pembuangan, karena ia mengabdi
kepada suatu cita‐cita. Mungkin aku tidak sependapat dan sependirian
dengan dia tetapi seperti seekor tikus? Jantungku berhenti mendenyut
ketika surat itu sampai ditanganku. Ia mengakhiri suratnya dengan
mengatakan, bahwa ia telah mengusahakan agar Sukarno mendapat perlakuan
yang paling buruk dalam surat‐surat kabar.
“Aku tidak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat lagi tidur barang
sekejap. Kadang‐kadang, dilarut tengah malam, aku menelpon seseorang
yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri
Satu dan kataku, “Bandrio, datanglah ketempat saya, temani saya,
ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon,
berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau
saya tertidur, ma’afkanlah.” Aku membaca setiap malam, berpikir setiap
malam dan aku sudah bangun lagi jam lima pagi. Untuk pertamakali dalam
hidupku aku mulai makan obat‐tidur. Aku lelah. Terlalu lelah. Aku bukan
manusia yang tidak mempunyai kesalahan. Setiap makhluk membuat
kesalahan. Di hari‐hari keramat aku minta ma’af kepada rakyatku dimuka
umum atas kesalahan yang kutahu telah kuperbuat, dan atas
kekeliruan‐kekeliruan yang tidak kusadari. Barangkali suatu kesalahanku
ialah, bahwa aku selalu mengejar suatu cita‐cita dan bukan
persoalan‐persoalan yang dingin. Aku tetap mencoba untuk menundukkan
keadaan atau menciptakan lagi keadaan‐keadaan, sehingga ia dapat dipakai
sebagai jalan untuk mencapai apa yang sedang dikejar. Hasilnya,
sekalipun aku berusaha begitu keras bagi rakyatku, aku menjadi korban
dari serangan‐serangan yang jahat. Orang bertanya, “Sukarno, apakah
engkau tidak merasa tersinggung bila orang mengeritikmu?” Sudah tentu
aku merasa tersinggung. Aku benci dimaki orang. Bukankah aku bersifat
manusia seperti juga setiap manusia lainnya? Bahkan kalau engkau melukai
seorang Kepala Negara, ia akan lemah. Tentu aku ingin disenangi orang.
Aku mempunyai ego. Itu kuakui. Tapi tak seorangpun tanpa ego dapat
menyatukan 10.000 pulau‐pulau menjadi satu Kebangsaan. Dan aku angkuh.
Siapa pula yang tidak angkuh? Bukankah setiap orang yang membaca buku
ini ingin mendapat pujian?.
Aku teringat akan suatu hari, ketika aku menghadapi dua buah laporan
yang bertentangan tentang diriku. Kadang‐kadang seorang Kepala
Pemerintahan tidak tahu, mana yang harus dipercayainya. Yang pertama
berasal dari majalah “Look”. “Look” menyatakan, bahwa rakyat Indonesia
semua menentangku. Majalah ini memuat sebuah tulisan mengenai seorang
tukang becak yang mengatakan seakan‐akan segala sesuatu di Indonesia
sangat menyedihkan keadaannya dan orang‐orang kampung pun sekarang sudah
muak terhadap Sukarno.
Kusudahi membaca artikel itu pada jam lima sore dan tepat pada waktu
aku telah siap hendak berjalanjalan selama setengah djam, seperti
biasanya kulakukan dalam lingkungan istana, inilah satu‐satunya macam
gerak badan bagiku seorang pejabat polisi yang sangat gugup dibawa
masuk. Sambil berjalan kutanyakan kepadanya, apa yang sedang
dipikirkannya. “Ya, Pak,” ia memulai, “Sebenarnya kabar baik.” “Apa
maksudmu dengan sebenarnya kabar baik?” tanyaku. “Ya,” katanya, “Rakyat
sangat menghargai Bapak. Mereka mencintai Bapak. Dan terutama rakyat
jelata. Saya mengetahui, karena saya baru menyaksikan sendiri suatu
keadaan yang menunjukkan penghargaan terhadap Bapak. Kemudian ia
berhenti. “Teruslah,” desakku, “Katakan padaku. Darimana engkau dan
siapa yang kautemui dan apa yang mereka lakukan?” “Begini, Pak,” ia
mulai lagi. “Kita mempunyai suatu daerah, dimana perempuan‐perempuan
lacur semua ditempatkan secara berurutan. Kami memeriksa daerah itu
dalam waktu‐waktu tertentu, karena sudah menjadi tugas kami untuk
mengadakan pengawasan tetap. Kemarin suatu kelompok memeriksa keadaan
mereka dan Bapak tahu apa yang mereka temui ‐Mereka menyaksikan potret
Bapak, Pak. Digantungkan di dinding.” “Dimana aku digantungkan?” tanyaku
kepadanya. “Ditiap kamar, Pak. Ditiap kamar terdapat, sudah barang
tentu, sebuah tempat tidur. Dekat tiap ranjang ada meja dan tepat diatas
meja itu disitulah gambar Bapak digantungkan. “Dengan gugup ia
mengintai kepadaku sambil menunggu perintah. “Pak, kami merasa bahagia
karena rakyat kita memuliakan Bapak, tapi dalam hal ini kami masih ragu
apakah wajar kalau gambar Presiden kita digantungkan di dinding rumah
pelacuran. Apa yang harus kami kerdjakan? Apakah akan kami pindahkan
gambar Bapak dari dinding‐dinding itu?” “Tidak,” djawabku. “Biarkanlah
aku disana. Biarkan mataku yang tua dan letih itu memandangnya! “Tidak
seorangpun dalam peradaban modern ini yang menimbulkan demikian banyak
perasasn pro dan kontra seperti Sukarno. Aku dikutuk seperti bandit dan
dipuja bagai Dewa. Tidak jarang kakek‐kakek datang berkunjung kepadaku
sebelum mereka mengakhiri hajatnya. Seorang nelayan yang sudah tua, yang
tidak mengharapkan pujian atau keuntungan, berjalan kaki 23 hari
lamanya sekedar hanya untuk sujud dihadapanku dan mencium kakiku. Ia
menyatakan, bahwa ia telah berjanji pada dirinya sendiri, sebelum mati
ia akan melihat wajah Presidennya dan menunjukkan kecintaan serta
kesetiaan kepadanya. Banyak yang percaya bahwa aku seorang Dewa,
mempunyai kekuatan‐kekuatan sakti yang menyembuhkan. Seorang petani
kelapa yang anaknya sakit keras bermimpi, bahwa ia harus pergi kepada
Bapak dan minta air untuk anaknya. Hanya air ledeng biasa dan yang
diambil dari dapur. Ia yakin, bahwa air ini, yang kuambil sendiri, tentu
mengandung zat‐zat yang menjembuhkan. Aku tidak bisa bersoal jawab
dengan dia. karena orang Jawa adalah orang yang percaya kepada ilmu
kebatinan, dan ia yakin bahwa ia akan kehilangan anaknya kalau tidak
membawa obat ini dariku. Kuberikan air itu kepadanya. Dan seminggu
kemudian anak itu sembuh kembali. Aku senantiasa mengadakan perjalanan
ke pelbagai pelosok tanah air dari Sabang, negeri yang paling utara dari
pulau Sumatra, sampai ke Merauke di Irian Barat dan yang paling timur.
Beberapa tahun yang lalu aku mengunjungi sebuah desa kecil di Jawa
Tengah. Seorang perempuan dari desa itu mendatangi pelayanku dan
membisikkan, “Jangan biarkan orang mengambil piring Presiden. Berikanlah
kepada saya sisanya. Saya sedang mengandung dan saya ingin anak
laki‐laki. Saya mengidamkan seorang anak seperti Bapak. Jadi tolonglah,
biarlah saya memakan apa‐apa yang telah dijamah sendiri oleh
Presidenku.” Di pulau Bali orang percaya, bahwa Sukarno adalah
penjelmaan kembali dari Dewa Wishnu, Dewa Hujan dalam agama Hindu.
Karena, bilamana sajapun Bapak datang ke tempat istirahat yang kecil,
yang kurencanakan dan kubangun sendiri di luar Denpasar, bahkan
sekalipun di tengah musim kemarau, kedatanganku bagi mereka berarti
hujan. Orang Bali yakin, bahwa aku membawa pangestu kepada mereka.
Dikala terakhir aku terbang ke Bali disana sedang berlangsung musim
kering. Tepat setelah aku sampai disana, langit tercurah. Berbicara
secara terus‐terang, aku memanjatkan‐do’a syukur kehadirat Yang Maha
Pengasih manakala turun hujan selama aku berada di Tampaksiring. Karena,
kalaulah ini tidak terjadi, sedikit banyak akan mengurangi
pengaruhku.Namun, dunia hanya membaca tentang satu orang tukang becak.
Dunia hanya tahu, bahwa Sukarno bukan ahli ekonomi. Itu memang benar.
Aku bukan ahli ekonomi. Tapi apakah Kennedy ahli ekonorni? Apakah
Johnson ahli ekonomi? Apakah itu suatu alas an bagi majalah‐majalah
Barat untuk menulis bahwa negeriku sedang menuju kepada keruntuhan
ekonomi? Atau bahwa kami adalah “bangsa yang bobrok”. Atau untuk
menjuduli sebuah cerita: “Mari kita bergerak menentang Sukarno?” Kalau
para wartawan membenci Jepang atau Filipina, mereka dapat menyebut suatu
daerah di sana, dimana seluruh keluarga — ibu, bapak dan
anak‐anaknya—bunuh diri, karena menderita kelaparan. Ini semua sudah
diketahui orang. Tapi tidak! Hanya mengenai “Orang Jahat dari Asia”
mereka membuat foto‐foto dari penderitaan rakyat, karena kekurangan
makanan oleh musim kering dan hama tikus, sementara dilatarbelakangnya
digambarkan hotelku yang indah. Lalu kepala karangannya: “Indonesia
kepunyaan Sukarno”. Tapi itu BUKAN Indonesia kepunyaan Sukarno.
Indonesia kepunyaan Sukarno sekarang adalah suatu bangsa yang 10051
bebas buta huruf di bawah umur 45 tahun.
Pada waktu Negara kami dilahirkan duapuluh tahun yang lalu hanya 6%
dari kami yang pandai baca tulis. Indonesia kepunyaan Sukarno sekarang
adalah suatu bangsa yang dua inci lebih tinggi daripada generasi
terdahulu. Apakah masuk diakal, anak‐anak bisa tumbuh lebih subur dalam
keadaan kelaparan?. Akan tetapi wartawan‐wartawan terus saja menulis,
bahwa aku ini seorang “Budak Moskow”. Marilah kita perbaiki ini sekali
dan untuk selama‐lamanya. Aku bukan, tidak pernah dan tidak mungkin
menjadi seorang Komunis. Aku menyembah ke Moskow? Setiap orang yang
pernah mendekati Sukarno mengetahui, bahwa egonya terlalu besar untuk
bisa menjadi budak seseorang—kecuali menjadi budak dari rakyatnya. Namun
para wartawan tidak menulis tentang apa‐apa yang baik dari Sukarno.
Pokok pokok yang dibicarakan hanya tentang yang jelek dari
Sukarno.Mereka suka memperlihatkan Hotel Indonesiaku yang penuh gairah
dan di belakangnya gambar‐gambar daerah pinggiran yang miskin. Alasan
dari “orang yang menghamburkan uang” mendirikan gedung itu ialah, untuk
memperoleh devisa yang tidak dapat kami cari dengan jalan lain. Kami
menghasilkan dua juta dollar Amerika setelah hotel itu berjalan selama
setahun. Aku sadar, bahwa kami masih mempunyai daerah pinggiran yang
miskin dekat itu. Akan tetapi negeri‐negeri yang kayapun punya hotel
yang gemerlapan, empuk dari yang harganya jutaan dollar, sedang di
sudutnya terdapat bangunan‐bangunan yang tercela penuh dengan kotoran,
busuk dan jelek. Aku melihat orang‐orang kaya dengan segala kemegahannya
berjalan dengan sedansedan yang mengkilap, akan tetapi aku juga melihat
mereka‐mereka yang malang mencakar‐cakar dalam
tong sampah mencari kulit kentang. Memang ada daerah pinggiran yang
miskin di seluruh kota di dunia. Bukan hanya di Jakarta kepunyaan
Sukamo. Barat selalu menuduhku terlalu memperlihatkan muka manis kepada
Negara‐Negara Sosialis. “Ooohh,” kata mereka, “Lihatlah Sukarno
lagi‐lagi bermain‐main sahabat dengan Blok Timur.” Yah, mengapa tidak?
Negara‐Negara Sosialis tak pernah mengizinkan seorangpun mengejekku
dalam pers mereka. Negara‐Negara Sosialis selalu memujiku. Mereka tidak
membikin aku malu ke seluruh dunia ataupun tidak memperlakukanku di muka
umum seperti seorang anak yang tercela dengan menolak memberikan lebih
banjak jajan sampai aku menjadi anak yang manis. Negara‐Negara Sosialis
selalu mencoba untuk merebut hati Sukarno. Krushchov mengirimi aku jam
dan pudding dua minggu sekali dan memetikkan appel, gandum dan hasil
tanaman lain dari panennya yang terbaik. Jadi, salahkah aku kalau
berterima‐kasih kepadanya? Siapakah yang takkan ramah terhadap seseorang
yang bersikap ramah kepadanya? Aku mengejar politik netral, ya! Akan
tetapi dalam hati kecilnya siapa yang menyalahkanku, jika aku berkata,
“Terimakasih rakyat‐rakyat Negara Blok Timur, karena engkau selalu
memperlihatkan kepadaku tanda persahabatan.
Terima‐kasih rakyat‐rakyat Negara Blok Timur, karena engkau berusaha
tidak menyakiti hatiku. Terimakasih, karena engkau telah menyampaikan
kepada rakyatmu bahwa Sukamo setidak‐tidaknya mencoba sekuat tenaganya
berbuat untak negerinya. Terima‐kasih atas pemberianmu.” Apa yang
kuucapkan itu adalah tanda terima‐kasih, bukan Komunisme! Aku dicela
dalam berbagai soal. Mengapa dia ‐terlalu banyak mengadakan perjalanan,
musuh‐musuhku selalu bertanya. Di bulan Juni 1960, pada waktu aku
mengadakan perlawatan selama dua bulan empat hari ke India, Hongaria,
Austria, RPA, Guinea, Tunisia, Marokko, Portugal, Cuba, Puerto Rico, San
Francisco, Hawaii dan Jepang, kepadaku ditujukan kata‐kata
baru yang dikarang buat diriku. Aku malahan tidak tahu apa maksud
“Have 707 Will Travel” hingga seorang sahabat bangsa Amerika
menerangkannya. Memang benar, bahwa aku adalah satu‐satunya Presiden
yang mengadakan demikian banyak perlawatan. Aku sudah kemana‐mana
kecuali ke London, sekalipun Ratu Inggris sudah dua kali mengundangku
untuk berkunjung. Aku mengharapkan, di satu saat dapat menerima
keramahannya itu. Ada sebabnya aku mengadakan perlawatan itu. Aku ingin
agar Indonesia dikenal orang. Aku ingin memperlihatkan kepada dunia,
bagaimana rupa orang Indonesia. Aku ingin menyampaikan kepada dunia,
bahwa kami bukan “Bangsa yang pandir” seperti orang Belanda
berulang‐ulang kali mengatakan kepada kami. Bahwa kami bukan lagi
“Inlander goblok hanya baik untuk diludahi” seperti Belanda mengatakan
kepada kami berkali‐kali. Bahwa kami bukanlah lagi penduduk kelas
kambing yang berjulan menyuruk nyuruk dengan memakai sarung dan ikat
kepala, merangkak‐rangkak seperti yang dikehendaki oleh majikan‐majikan
kolonial dimasa yang silam. Setelah Republik Rakyat Tiongkok, India, Uni
Soviet, dan Amerika Serikat, maka kami adalah bangsa yang ke lima di
dunia dalam hal jumlah penduduk. 3000 dari pulau‐pulau kami dapat
didiami. Tapi tahukah Saudara berapa banyak rakyat yang tidak mengetahui
tentang Indonesia? Atau dimana letaknya? Atau tentang warna kulitnya,
apakah kami sawomatang, hitam, kuning atau putih?. Yang mereka ketahui
hanya nama Sukarno. Dan mereka mengenal wajah Sukarno. Mereka tidak
tahu, bahwa negeri kami adalah rangkaian pulau yang terbesar di dunia.
Bahwa negeri kami terhampar sepanjang 5.000 kilometer atau menutupi
seluruh negeri‐negeri Eropa sejak dari pantai Barat benuanya sampai
keperbatasan paling ujung di sebelah Timur. Mereka tidak tahu, bahwa
kami sesudah Australia adalah negara keenam terbesar, dengan luas tanah
sebesar dua juta mil persegi. Mereka umumnya tidak menyadari, bahwa kami
terletak antara dua benua, benua Asia dan Australia, dan dua buah
Samudra raksasa, Lautan Teduh dan Samudra Indonesia. Atau, bahwa kami
menghasilkan kopi yang paling baik didunia; dari itu timbulnya ucapan:
“A cup of Java”. Bahwa setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet maka
Indonesialah penghasil minyak yang terbesar di Asia Tenggara dan
penghasil timah yang kedua terbesar di dunia, negara terkaya di alam
semesta dalam hal sumber alam. Atau, bahwa satu dari empat buah ban
mobil, Amerika dibuat dari karet Indonesia. Namun apa yang mereka mau
tahu hanya nama Sukarno.
Departemen Luar Negeri kami menyatakan kepadaku, bahwa satu kali
kunjungan Sukarno sama artinya dengan sepuluh tahun pekerjaan Duta. Dan
itulah alasan, mengapa aku mengadakan perlawatan dan mengapa aku selalu
memberikan kenyataan‐kenyataan tentang tanah airku dalam setiap pidato
yang kuucapkan di setiap penjuru dunia. Aku hendak mengajar orang‐orang
asing dan memberikan pandangan pertama selintas lalu tentang negeriku,
yang terhampar menghijau dan tercinta ini laksana untaian zamrud yang
melingkar di sepanjang katulistiwa.Pada suatu hari sekretarisku
menyerahkan sebuah surat yang beralamat singkat “Presiden Sukarno,
Indonesia, Asia Tenggara”. Penulis surat ini berkata, ia mendengar bahwa
aku ini mengekang kemerdekaan pers dan apakah itu benar dan kalau
memang demikian alangkah kejamnya aku ini! Orang yang menulis surat
picisan ini menamakan aku seorang yang
angkara. Dia mengejek kepadaku, tapi ini tidak kupedulikan. Tahukah
engkau apa yang membuat aku gusar? Kenyataan bahwa dia menganggap kantor
pos tidak tahu dimana letak Indonesia. Dan oleh sebab itu dia
menambahkan kata‐kata “Asia Tenggara” pada alamatnya! Pendapat manusia
berjalan bagai gelombang. Dalam tahun ’56 ketika aku pertamakali
berkundjung ke Amerika Serikat, setiap orang menyukaiku. Sekarang
arusnya menjadi terbalik, menentang Sukarno. Betapapun, aku telah
dijadikan bulan‐bulanan.
Baru‐baru ini diserahkan kepadaku sebuah majalah remaja Amerika.
Majalah itu memperlihatkan gadis striptease setengah telanjang, yang
hanya memakai celana dalam dan berdiri di samping Sukarno berpakaian
seragam militer lengkap. Ini adalah kombinasi yang ditempelkan menjadi
satu supaya kelihatan seolah‐olah satu foto dari seorang gadis penari
telanjang membuka pakaiannya dihadapan Presiden Republik Indonesia.
Kedua foto ini ditempelkan satu dengan yang lain. Ini adalah perbuatan
kotor yang dilakukan terhadap seorang Kepala Negara. Apakah aku harus
mencintai Amerika, kalau ia melakukan perbuatan seperti itu terhadap
diriku? Aku memperbincangkan muslihat semacam ini dengan Presiden
Kennedy yang sangat kuhormati. John F. Kennedy dan aku saling menyukai
pergaulan kami satu sama lain. Dia berkata, “Presiden Sukarno, saya
sangat mengagumi Tuan. Seperti saya sendiri, Tuan mempunyai pikiran yang
senantiasa menyelidiki dan bertanya‐tanya. Tuan membaca segala‐galanya.
Tuan sangat banyak mengetahui.” Lalu dia membicarakan cita‐cita politik
yang kupelopori dan mengutip bagian‐bagian dari pidato‐pidatoku.
Kennedy mempunyai cara untuk mendekati seseorang melalui hati manusia.
Kami banyak mempunyai persamaan. Kennedy adalah orang yang sangat ramah
dan menunjukkan persahabatan terhadapku. Dia membawaku ke tingkat atas,
ke kamar tidurnya sendiri dan disanalah kami bercakap‐cakap. Kukatakan
kepadanya, “Tuan Kennedy, apakah Tuan tidak menyadari, bahwa sementara
Tuan sendiri memadu hubungan persahabatan, seringkali Tuan dapat
merusakkan hubungan dengan negara‐negara lain dengan membiarkan ejekan,
serangan makian dan mengizinkan kritik‐kritik secara tetap terhadap
pemimpin mereka dalam pers Tuan? Kadang‐kadang kami lebih condong untuk
bertindak atau memberikan reaksi lebih keras, oleh karena kami dilukai
atau dibikin marah. Sesungguhnya apakah pergaulan internasional itu
bukan pergaulan antar manusia dalam hubungan yang lebih besar?
Penggerogotan terus‐menerus semacam ini merobek‐robek keseimbangan dan
mempertegang lebih hebat lagi hubungan yang sulit antara negara lain
dengan negeri Tuan.” Saya setuju dengan Tuan, Presiden Sukarno. Sayapun
telah mendapat kesukaran dengan para wartawan kami,” dia mengeluh.
“Apakah kami beruntung atau tidak, namun kemerdekaan pers merupakan satu
bagian dari pusaka peninggalan Amerika.” Ketika Alben Barkley menjadi
Wakil Presiden Amerika Serikat, ia mengunjungi tanah air saya,” kataku.
Dan saya sendiri berdiri dekat beliau di waktu beliau dicium oleh
serombongan anak‐anak gadis cantik remadja.” Saya yakin, tentu Wakil
Presiden Barkley sangat bersenang hati,” kata Kennedy dengan ketawa yang
disembunyikan. Sekalipun demikian tak satupun surat kabar Indonesia mau
menyiarkannya.
Dan disamping itu mereka tak berani mengambil resiko untuk
menimbulkan kesusahan terhadap seorang negarawan ke seluruh dunia.
Barkley adalah seorang yang gembira dan barangkali tidak peduli bila
gambarnya itu dimuat. Akan tetapi bukanlah itu soalnya. Yang pokok
adalah bahwa kami berkeyakinan perlunya para pemimpin dunia dilindungi
di negeri kami. “Kennedy sangat seperasaan denganku mengenai soal ini
dan berkata kepadaku dengan penuh kepercayaan, “Tuan memang benar
sekali, tapi apa yang dapat saya lakukan? Sedangkan saya dikutuk di
negeri saya sendiri.” Karena itu kataku, “Ya, itulah sistem Tuan. Kalau
Tuan dikutuk di rurnah sendiri, saya tidak dapat berbuat apa‐apa. Akan
tetapi saya kira saya tidak perlu menderita penghinaan seperti itu di
negeri Tuan, dimana Kepala Negaranya sendiri harus menderita sedemikian.
Majalah Tuan “Time” dan “Life” terutama sangat kurang ajar terhadap
saya. Coba pikir, “Time” menulis, “Sukarno tidak bisa melihat rok wanita
tanpa bernafsu”. Selalu mereka menulis yang jelek‐jelek. Tidak pernah
hal‐hal yang baik yang telah saya kerdjakan. “Sekalipun Presiden Kennedy
dan aku telah mengadakan pertemuan pendapat, persetujuan dalam
lingkungan kecil ini tidak pernah tersebar dalam pers Amerika Serikat.
Masih saja, hari demi hari, mereka menggambarkanku sebagai pengejar
cinta. Ya, ya, ya, aku mencintai wanita. Ya, itu kuakui. Akan tetapi aku
bukanlah seorang anak pelesiran sebagaimana mereka tudukkan padaku. Di
Tokyo aku telah pergi dengan kawan‐kawan ke suatu Rumah Geisha. Tiada
sesuatu yang melanggar susila mengenai Rumah Geisha itu. Orang sekedar
duduk, makan‐makan, bercakap‐cakap dan mendengarkan musik. Hanya itu.
Akan tetapi dalam majalah‐majalah Barat digembar‐gemborkan seolaholah
aku ini Le Grand Seducteur. Tanpa hiburan‐hiburan kecil ini aku akan
mati. Aku mencintai hidup. Orang‐orang‐asing yang mengunjungi istanaku
menyatakan, bahwa aku menyelenggarakan, “suatu istana yang
menyenangkan.” Ajudan‐ajudanku mempunyai wajah‐wajah yang senyum. Aku
berkelakar dengan mereka, menyanyi dengan mereka. Bila aku tidak
memperoleh kegembiraan, nyanyian dan sedikit hiburan kadang‐kadang, aku
akan dibinasakan oleh kehidupan ini. Umurku sudah 64 tahun. Menjadi
Presiden adalah pekerjaan yang membikin orang lekas tua. Dan kalau orang
menjadi tua, tentu tidak baik bagi seseorang. Karena itu, sesekali aku
harus lari dari keadaan ini, supaya aku dapat hidup seterusnya. Banyak
kesenangan‐kesenangan yang sederhana telah dirampas dariku. Misalnya, di
masa kecilku aku telah mengelilingi pulau Jawa dengan sepeda. Sekarang
perjalanan semacam itu tidak dapat kulakukan lagi, karena tentu tidak
sedikit orang yang akan mengikutiku.
Di Hollywood aku diberi kesempatan untuk rnelihat‐lihat di sekitar
studio‐studio film. Waktu meninggalkan halaman studio aku melihat
seorang anak pengantar surat lewat dengan sepeda, lalu menghentikan
sepedanya untuk sesaat. Tiba‐tiba aku merasa senang dan pikiranku
terbuka, karena itu aku naik dan pergi. Aku bukan hendak memberi kesan
kepada siapapun. Hanya karena merasa senang. Yah, gema dan gambarku ini
tersebar ke seluruh dunia ini. Di negeriku sendiripun aku tak dapat lagi
menikmati kesenangan yang paling memuaskan hati, yaitu menggeledahi
toko‐toko kesenian, melihatlihat benda yang akan dikumpulkan, lalu
menawarnya. Kemanapun aku pergi, rakyat berkumpul berbondong‐bondong.
Dokterku telah memperhatikan, bahwa kegembiraan memang mutlak perlu buat
menjaga kesehatanku. Dengan demikian aku bisa terlepas sedikit dari
diriku sendiri dan dari penjaraku. Karena begitulah keadaanku. Seorang
tawanan. Tawanan dari tata cara serba resmi. Tawanan dari tata cara
kesopanan. Tawanan dari perilaku yang baik. Setiap orang harus mencari
suatu kesenangan supaya terlepas dari segala tata laku ini. Presiden
Ayub Khan main golf, Kennedy berperahu layar, Pangeran Norodom Sihanouk
mengarang musik, Raja Muang Thai main saxophone, Lyndon Johnson
mempunyai tempat peternakan. Akupun memerlukan kesenangan. Karena itu,
bila aku mengadakan perjalanan, aku mengizinkan diriku sendiri dengan
kesenangan menjalankan tugas dalam mengejar kebahagiaan. Sesuai dengan
Undang‐Undang Dasar Amerika Serikat setiap orang berhak mengejarnja.
Menjadi Presiden karena diperlukan menyebabkan orang menjadi terasing.
Kecakapan dan sifat‐sifat yang memungkinkan orang menduduki jabatan
Presiden itu adalah kecakapan dan sifat itu juga yang menyebabkan ia
diasingkan. Akan tetapi, di mata orang luar aku selalu gembira.
Pembawaanku adalah demikian, sehingga perasaan susah yang teramat sangat
tidak pernah memperlihatkan diri. Sekalipun perasaanku hancur luluh di
dalam, orang tak dapat menduganya. Bukankah Sukarno terkenal dengan
“senjumnya”? Apapun juga persoalanku— Malaysia, kemiskinan, lagi‐lagi
percobaan pembunuhan—Sukarno dari luar senantiasa gembira. Seringkali
aku duduk‐duduk seorang diri di beranda Istana Merdeka. Beranda itu
tidak begitu indah. Setengah tertutup dengan layar untuk menghambat
panas dan cahaya matahari. Perabotnya terdiri dari korsi rotan yang
tidak dilapis dan tidak dicat dan meja beralas kain batik halus buatan
negeriku. Suatu keistimewaan yang kuperoleh karena jabatan tinggi adalah
sebuah kursi yang menyendiri pakai bantal. Itulah yang dinamakan “Kursi
Presiden”. Dan aku duduk disana. Merenung. Dan memandang keluar ke
taman indah yang menghilangkan kelelahan pikiran, taman yang kutanami
dengan tanganku sendiri. Dan batinku merasa sangat sepi. Aku ingin
bercampur dengan rakyat. Itulah yang menjadi kebiasaanku. Akan tetapi
aku tidak dapat lagi berbuat demikian. Seringkali aku merasakan badanku
seperti akan lemas, napasku akan berhenti, apabila aku tidak bisa keluar
dan bersatu dengan rakyat jelata yang melahirkanku. Kadang‐kadang aku
menjadi seorang Harun al Rasyid. Aku berputar‐putar keliling kota.
Seorang diri. Hanya dengan seorang ajudan berpakaian preman di belakang
kendaraan. Terasa olehku kadang‐kadang, bahwa aku harus terlepas dari
berbagai persoalan untuk sesaat dan merasakan irama denyut jantung tanah
airku. Namun persoalan‐persoalan selalu mengikutiku bagai bayangan
besar dan hitam dan yang datang dengan samar menakutkan di belakangku.
Aku takkan bisa lepas daripadanya. Aku takkan keluar dari genggamannya.
Aku takkan dapat maju dengannya. Ia bagai hantu yang senantiasa
mengejar‐ngejar. Pakaian seragam dan peci hitam merupakan tanda
pengenalku. Akan tetapi adakalanya kalau hari sudah malam aku menukar
pakaian pakai sandal, pantalon dan kalau hari terlalu panas aku hanya
memakai kemeja. Dan dengan kacamata berbingkai tanduk rupaku lain
samasekali. Aku dapat berkeliaran tanpa dikenal orang dan memang
kulakukan. Ini kulakukan karena ingin melihat kehidupan ini. Aku adalah
kepunyaan rakyat. Aku harus melihat rakyat, aku harus mendengarkan
rakyat dan bersentuhan dengan mereka. Perasaanku akan tenteram kalau
berada diantara mereka. Ia adalah roti kehidupan bagiku. Dan aku merasa
terpisah dari rakyat jelata. Kudengarkan percakapan mereka, kudengarkan
mereka berdebat, kudengarkan mereka berkelakar dan bercumbu‐kasih. Dan
aku merasakan kekuatan hidup mengalir keseluruh batang tubuhku.
Kami pergi dengan mobil kecil tanpa tanda pengenal. Adakalanya aku
berhenti dan membeli sate di pinggiran jalan. Kududuk seorang diri di
pinggir trotoar dan menikmati jajanku dari bungkus daun pisang. Sungguh
saat‐saat yang menyenangkan. Rakyat segera mengenalku apabila mendengar
suaraku. Pada suatu malam aku pergi ke Senen, di sekitar gudang kereta
api, dengan seorang Komisaris Polisi. Aku berputar‐putar di
tengah‐tengah rakyat dan tak seorangpun memperhatikan kami. Akhirnya,
untuk sekedar berbicara aku bertanya kepada seorang laki‐laki, “Dari
mana diambil batu bata ini dan bahan konstruksi yang sudah dipancangkan
ini?” Sebelum ia dapat memberikan jawaban, terdengar teriakan, “Hee,”
teriak suara perempuan, “Itu suara Bapak Ya, suara.., Elapak Hee,
orang‐orang, ini Bapak Bapak “Dalam beberapa detik ratusan kemudian
ribuan rakyat datang berlari‐lari dari segala penjuru. Dengan cepat
Komisaris itu membawaku keluar dari situ, masuk mobil kecil kami dan
menghilang. Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan Presiden tak
ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil. Memang ada beberapa
orang kawanku. Tidak banyak. Seringkali pikiran oranglah yang
berubah‐ubah, bukan pikiranmu. Mereka memperlakukanmu lain. Mereka turut
menciptakan pulau kesepian ini disekelilingku. Karena itulah, apabila
aku terlepas dari penjaraku ini, aku menyenangkan diriku sendiri.
Di Tokyo aku bisa pergi ke Kokusai Gekijo, dimana mereka
mempertunjukkan di atas panggung sekaligus empat ratus gadis‐gadis
jelita. Ditahun 1963 aku baru tahu, bahwa Duta Besar Indonesia untuk
Jepang di waktu itu tidak pernah mengunjungi panggung ini. Aku
mengumpatnya, “Hei, Bambang Sugeng, engkau ini Duta Besar yang malang.
Seorang diplomat harus mengecap setiap jenis kehidupan negeri dimana dia
ditempatkan. Hayo, Mari kita pergi melihat gadis‐gadis itu. “Akupun
mengajak seorang Indonesia yang bersusila kawakan, yang kaget apabila
Presidennya mempercakapkan wanita. Orang ini mengerling pada gadis‐gadis
yang cantik ini, kemudian bangkit dan berkata, “Saya tidak dapat
menyaksikannya. Saya akan pergi saja. Terlalu menegangkan pikiran saya.”
Dia seorang munafik. Aku benci orang‐orang munafik. Sudah barang tentu
lagi‐lagi reputasiku menyebabkan aku menjadi korban keadaan. Di Filipina
di tahun 1964, Presiden Diosdado Macapagal menyambutku di lapangan
terbang. Beliau mengiringkanku ke Laurels Mansion dimana aku menginap.
Disana tinggal Tuan Laurels bekas Presiden Filipina, isterinya dan anak
cucunya. Untuk lebih memeriahkan kedatanganku mereka mendatangkan
Bayanihan Cultural
Ensemble, suatu perkumpulan paduan suara, yang menyambutku dengan
Tari Lenso sebagai tanda penghormatan. Dua orang wanita muda tampil dari
dalam kelompok ensemble itu dan meminta kepadaku untuk turut menari.
Sukar untuk menolaknya, karena itu aku mulai menari dan GEGER! Kilat
lampu! Jepretan karnera! Dan induk karangannya: “Lihat Sukarno pengejar
cinta mulai lagi”. Aku menyukai gadis gadis yang menarik di
sekelilingku, karena gadis‐gadis ini bagiku tak ubahnya seperti kembang
yang sedang mekar dan aku senang memandangi kembang. Di tahun 1946, di
hari‐hari yang berat itu semasa revolusi fisik, isteri dari sekretaris
duaku datang setiap pagi hanya sekedar untuk membelah telor untuk
sarapanku. Ah, sebenarnya aku sendiri bisa memecahkannya, akan tetapi
isteriku tak pernah bangun begitu pagi dan aku merasa lebih tenang dan
kuat disaat‐saat yang tegang seperti itu apabila melihat barang sesuatu
tersenyum disekitarku. Aku merasa terhibur oleh wanita‐wanita muda di
sekeliling kantorku. Apabila para tetamu menyiasati tentang
ajudan‐ajudan wanitaku yang masih muda belia, aku berkelakar kepada
mereka, “Perempuan tak ubahnya seperti pohon karet. Dia tidak baik lagi
setelah tigapuluh tahun.” Katakanlah, aku bereaksi lebih baik terhadap
wanita. Wanita lebih mengerti. Wanita lebih bisa turut merasakan.
Kuanggap mereka memberikan kesegaran. Justru wanitalah yang dapat
memberikan ini kepadaku. Sekali lagi, aku tidak berbicara dalam arti
jasmaniah. Aku hanya sekedar tertarik pada suatu pandangan yang lembut
atau sesuatu yang kelihatan indah. Sebagai seorang seniman, aku tertarik
menurut pembawaan watak kepada segala apa yang menyenangkan pikiran.
Bila hari sudah larut aku merasa lelah. Seringkali aku kehabisan tenaga,
sehingga sukar untuk menggerakkan persendian. Dan apabila seorang
sekretaris laki‐laki berbadan besar, tidak menarik, buruk dan botak
datang membawa setumpukan tinggi surat‐surat untuk ditandatangani, aku
akan berteriak kepadanya supaya dia segera pergi dan membiarkanku
seorang diri. Sepihan‐sepihan kulitnya akan rontok dari badannya karena
kaget. Aku akan menggeledek kepadanya. Aku akan bangkitkan petir diatas
kepalanya. Akan tetapi bilamana yang datang seorang gadis sekretaris
berbadan ramping, dengan dandan yang rapi dan meluapkan bau harum
menyegarkan tersenyum manis dan berkata kepadaku dengan lunak, “Pak,
silahkan!”, tahukah
engkau apa yang terjadi? Bagaimanapun keadaan hatiku, aku akan
menjadi tenang. Dan aku akan selalu berkata, “Baik”. Di tahun ’61 aku
sakit keras. Di Wina para ahli mengeluarkan batu dari ginjalku. Waktu
itu adalah saat memuncaknya perjuangan kami merebut kembali Irian Barat
dan dalam kalangan lawan lawan kami timbul kegembiraan. Tidak guna lagi
mengutuk Sukarno dan meminta‐minta supaya dia mati, karena Sukarno
sekarang sedang menuju kematiannya. Karena itu para dokter melakukan
perawatan yang lebih teliti terhadap diriku. Mereka membujuk hatiku,
“Jangan kuatir, Presiden Sukarno, kami akan memberikan perawat‐perawat
yang berpengalaman untuk menjaga Tuan.” Hehhhh!! Ketika hal ini
disampaikan kepadaku, keadaanku menjadi lebih payah daripada sewaktu aku
mula‐mula masuk. Aku tahu apa yang akan kuhadapi. Aku tidak berkata
apa‐apa, karena aku tidak mau menentang dokter. Pendeknya di hari
berikut ia melakukan pembedahan dan aku ingin agar hatinya senang
terhadapku selama ia menjalankan pembedahan itu. Akan tetapi sementara
itu aku berpikir dalam hatiku sendiri, “Aku akan lebih cepat sembuh
dengan gadisgadis perawat yang tidak berpengalaman, karena yang sudah
punya pengalaman 40 tahun tentu setidaktidaknya sekarang sudah berumur
55 ! “Orang mengatakan, bahwa Sukarno suka melihat perempuan cantik
dengan sudut matanya. Kenapa mereka berkata begitu? Itu tidak benar.
Sukarno suka memandangi perempuan cantik dengan seluruh bola matanya.
Akan tetapi ini bukanlah suatu kejahatan. Sedangkan Nabi Muhammad
sallallahu ‘alaihi wasallam mengagumi keindahan. Dan sebagai seorang
Islam yang beriman aku adalah pengikut Nabi Muhammad yang mengatakan,
“Tuhan yang dapat menciptakan makhluk‐makhiuk yang cantik seperti wanita
adalah Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Pengasih.” Aku setuju dengan
ucapan beliau. Seperti yang dikisahkan, Muhammad mempunyai seorang budak
bernama Said. Said, orang yang pertama‐tama masuk Islam, mempunjai
isteri yang sangat cantik bernama Zainab. Ketika Muhammad melihat
Zainab, beliau mengucapkan “Allahu Akbar”, Tuhan Maha Besar. Tatkala
murid‐muridnya bertanya, mengapa beliau mengucapkan Allahu Akbar ketika
melihat Zainab, maka beliau menjawab, “Aku memuji Tuhan karena telah
menciptakan makhluk‐makhluk yang cantik seperti perempuan ini.” Aku
menjunjung Nabi Besar. Aku mempelajari ucapan‐ucapan beliau dengan
teliti. Jadi, moralnya bagiku adalah: bukanlah suatu dosa atau tidak
sopan kalau seseorang mengagumi seorang perempuan yang cantik. Dan aku
tidak malu berbuat begitu, karena dengan melakukan itu pada hakekatnya
aku memuji Tuhan dan memuji apa yang telah diciptakan‐Nya. Aku hanya
seorang pencinta kecantikan yang luar biasa. Aku mengumpulkan
benda‐benda perunggu karya seni dari Budapest, seni pualam dari Italia,
lukisan‐lukisan dari segala penjuru. Untuk Istana Negara di Jakarta aku
sendiri berbelanja membeli kandil kristal yang berat dan kursi beludru
cukilan emas di Eropa. Aku memungut permadani di Iraq. Aku membuat
sendiri rencana meja kantorku dari satu potong kayu jati Indonesia yang
utuh. Aku merencanakan meja ruang makan Negara dari satu potong kayu
jati Indonesia. Aku menggantungkan setiap kain hiasan dinding, memilih
setiap barang, merencanakan dimana harus diletakkan setiap pot bunga
atau karya seni pahat. Kalau aku melihat sepotong kertas di lantai, aku
akan berhenti dan memungutnya. Anggota Kabinet tertawa melihat bagaimana
aku, di tengah‐tengah persoalan yang pelik, datang kepada mereka dan
meluruskan dasinya. Aku senang bila makanan diatur secara menarik di
atas meja. Aku mengagumi keindahan dalam segala bentuk.
Dalam perkunjungannya ke Istana Negara di Bogor, seorang Texas
terpikat hatinya pada salah satu benda seniku. “Tuan Presiden,” katanya
tiba‐tiba. “Saya akan menyampaikan apa yang hendak saya kerjakan untuk
Tuan. Saya akan menyerahkan sebuah Cadillac sebagai ganti ini.”
Kukatakan kepadanya “Yah, tak soal kata‐kata apa yang telah kuucapkan
kepadanya. Tapi pokoknya adalah “Tidak”. Tidak satupun dari benda‐benda
indah yang telah kukumpulkan dapat ditukar dengan Cadillac. Kalau aku
senang kepadamu, engkau akan kuberi sebuah lukisan atau barang tenunan
sebagai hadiah. Akan tetapi untuk menjualnja, tidak, sekali‐kali tidak.
Semua itu akan kuwariskan kepada rakyat Indonesia, bilamana aku pergi.
Biarlah rakyatku memasukkannya ke dalam Museum Nasional. Kemudian,
apabila mereka lelah atau pikirannya kacau, biarlah mereka duduk
dihadapan sebuah lukisan dan meneguk keindahan dan ketenangannya,
sehingga mengisi seluruh kalbu mereka dengan kedamaian seperti ia juga
terjadi terhadap diriku. Ya, aku akan mewariskan hasil‐hasil seni ini
kepada rakyatku. Untuk dijual? Jangan kira! Seorang orang asing yang
mengerti kepadaku adalah Duta besar Amerika di Indonesia, Howard Jones.
Ia sudah lama ditempatkan di Jakarta dan menjabat sebagai Ketua dari
Korps Diplomatik. Kami sering terlibat dalam perdebatan‐perdebatan
sengit dan pahit, akan tetapi aku semakin memandangnya sebagai seorang
kawan yang tercinta. Uraian Howard tentang diri pribadiku adalah: “Suatu
perpaduan antara Franklin Delano Roosevelt dan Clark Gable.” Apakah
orang heran, apabila aku menyebutnya sebagai seorang kawan yang
tercinta? Di suatu hari Minggu beberapa tahun yang silam, ia dengan
isterinya Marylou makan bersama‐sama denganku dan isteriku Hartini di
pavilyun kecil karni di Bogor. Bogor adalah tempat di daerah pegunungan
yang sejuk di luar kota Jakarta. Berlainan dengan dugaan orang
bahwa aku mempunyai kran‐kran dari emas murni seperti sepantasnya
bagi Yang Dipertuan di daerah Timur, maka aku tidak tinggal di Istana
Negara yang besar itu. Di pekarangannya kami mempunyai sebuah bungalow
kecil yang besarnya kira‐kira sama dengan yang dipunyai oleh seorang
pejabat biasa. Bungalow ini terdiri dari beberapa kamar‐tidur, suatu
ruang makan kecil dan ruang duduk yang sangat kecil. Ia tidak mewah.
Sederhana sekali. Akan tetapi menyenangkan dan itulah rumahku. Selagi
makan Howard berkata, “Tuan Presiden, saya kira sudah waktunya bagi Tuan
untuk melihat kembali jalan‐jalan dalam sejarah. Menurut pendapat saya
sudah tepat waktunya bagi Tuan untuk menuliskan sejarah hidup Tuan.
“Seperti biasa, apabila seseorang menyebut‐nyebut tentang otobiografi,
aku menjawab, “Tidak”. Insya Allah, jika Tuhan mengizinkan, saatnya
masih 10 atau 20 tahun lagi. Bagaimana saya bisa mengetahui apa yang
akan terjadi terhadap diriku? Siapa yang dapat menceriterakan, bagaimana
jalannya kehidupan saya? Itulah sebabnya mengapa saya selalu menolak
hal ini, karena saya yakin bahwa buruk baiknya kehidupan seseorang hanya
dapat dipertimbangkan setelah ia mati.” “Terkecuali Presiden Republik
Indonesia,” jawabnya. “Disamping telah menjadi Kepala Negara selama 20
tahun, ia telah dipilih sebagai Presiden seumur hidup. Ia adalah orang
yang paling banyak diperdebatkan dan dikritik di jaman kita ini. Ia
“mempunyai banyak rahasia,” kataku dengan senyum yang disembunyikan.
“Akan tetapi dialah satu‐satunya orang yang dapat memberanikan diri
untuk mengguratkannya dan disamping itu menjawab serangan‐serangan dari
para pengeritiknya dan kawan‐kawannya. “Pertemuan ini merupakan
pertemuan kekeluargaan yang tidak formil. Aku pakai baju sport dan tidak
bersepatu. Hartini membuat nasi goreng, karena dia tahu bahwa keluarga
Jones sangat doyan pada nasi goreng ayam dan Presiden makan puluk —
artinya makan dengan tangan—dan kami duduk disekitar meja bersama‐sama
menikmati saat‐saat istirahat yang menyenangkan, yang hanya dapat
dilakukan diantara kawan‐kawan lama. “Untuk membuat otobiografi yang
sesungguhnya si penulis hendaknya dalam keadaan yang susah seperti
Rousseau ketika dia menulis pengakuan‐pengakuannya dan pengakuan yang
demikian ternyata sukar bagi saya. Banyak tokoh yang masih hidup akan
menderita, apabila saya menceriterakan semuanya. Dan banyak
pemerintahan‐pemerintahan, dengan mana saya sekarang mempunyai hubungan
yang baik, akan mendapat serangan sejadi‐jadinya apabila saya menyatakan
beberapa hal yang ingin saya ceriterakan.” “Walaupun bagaimana, Tuan
Presiden, orang‐orang asing merubah pendirian mereka setelah bertemu
dengan Tuan dan jatuh kedalam kekuatan pribadi Bung Karno yang terkenal
dan menarik seperti besi berani. Kalau Tuan terus maju dengan daya
penarik pribadi Tuan itu, maka saya yakin kritikus yang paling tajampun
kemudian akan berkata, “Hee, dia sesungguhnya tidak bernapaskan asap dan
api seperti naga. Dia sangat menyenangkan.” “Itulah sebabnya saya pada
dasarnya ingin berkawan, “kuterangkan kepadanya. “Saya menyukai orang
Timur, saya menyukai orang Barat bahkan Tengku Abdul Rahman sendiri dan
orang Inggris. Pun juga orang‐orang yang membenci saya. Setiap saat
apabila mereka ingin bersahabat, saya lebih ingin lagi dari itu. Suatu
kali saya mengetahui bahwa De Gaulle tidak senang kepada saya. Sekalipun
demikian saya bertemu dengan dia di Wina. Setelah itu sikapnya berubah.
“Itulah maksud saya,” Jones melanjutkan. “Tuan tidak bisa mendatangi
sendiri seluruh rakyat di dunia, akan tetapi Tuan dapat datang kepada
mereka dengan melalui halaman‐halaman buku. Tuan menawan hati sejuta
pendengar di lapangan terbuka. Mengapa Tuan tidak menghendaki jumlah
pendengar yang lebih besar lagi. “Percakapan ini berlangsung terus
sampai makan perabung, berupa pisang rebus kesukaanku. “Begini,” kataku.
“Suatu otobiografi tidak ada harganya, kecuali jika si penulis merasa
kehidupannya tidak berguna apa‐apa. Kalau dia menganggap dirinya seorang
besar, karyanya akan menjadi subjektif. Tidak objektif. Otobiografiku
hanya mungkin jika ada perimbangan dari kedua‐duanya. Sekian banyak yang
baik‐baik supaya dapat menenangkan egoku dan sekian banyak yang
jelek‐jelek sehingga orang mau membeli buku itu. Kalau dimasukkan hanya
yang baik‐baik saja orang akan menyebutmu egois, karena memuji diri
sendiri. Memasukkan hanya yang jelek‐jelek saja akan menimbulkan suasana
mental yang buruk bagi rakyatku sendiri. Hanya setelah mati dunia ini
dapat ditimbang dengan judjur, ‘Apakah; Sukarno manusia yang baik
ataukah manusia yang buruk? ‘ Hanya di saat itulah dia baru dapat
diadili. “Bertahun‐tahun lamanya orang mendesakku untuk menuliskan
kenang‐kenanganku. Press Officerku, Nyonya Rochmulyati Hamzah, selalu
menjadi perantara. Satu kali aku betul‐betul membentak‐bentak
Roch yang manis itu. Di tahun 1960, ketika Krushchov sedang
berkunjung kemari, ada seratus orang wartawan asing berkerumun dibawah
tangga. Disatu saat dia berkata, “Ma’af, Pak, Bapak jangan marah, karena
kami sendiripun tidak mengetahui sejarah hidup Bapak. Dan Bapak sedikit
sekali memberikan wawancara. Oleh karena itu dapatkah Bapak
menenteramkan hati saya barang sedikit dan menerima seorang wartawan CBS
yang ramah sekali dan ingin menulis riwayat hidup Bapak?” Aku berpaling
kepadanya dan menyembur. “Berapa kali aku harus mengatakan kepadamu,
T‐I‐D‐A‐K !! Pertama, aku tidak mengenalnya, akan tetapi kalau aku pada
satu saat menulis riwayat hidupku, aku akan kerjakan dengan seorang
perempuan. Sekarang jauh‐jauhlah dari penglihatanku. Engkau seperti
pesurah wartawan asing.” Roch berlari keluar dan pulang kerumahnya.
Kemudian aku merasa menyesal. Ajudanku menelpon Roch dan.
memberitahukan, bahwa aku hendak bertemu dengan dia. Lalu kukirimi
kendaraan untuk menjemputnya. Dia datang dan mengira bahwa akan menerima
semprotan lagi, akan tetapi sebaliknya, Presidennja hendak minta ma’af
kepadanya. “Ma’afkanlah aku, Roch,” kataku. “Kadang‐kadang aku berteriak
dan menyebut nama‐nama buruk, akan tetapi sebenarnya akulah itu. Jangan
masukkan kata‐kata itu dalam hatimu. Kalau aku meradang, itu berarti
aku mencintaimu. Aku menyemprot kepada orang‐orang yang terdekat dan
paling kusayangi. Hanya mereka yang menjadi papan suaraku.” Kemudian
kucium dia dipipinya, cara yang biasa kulakukan sebagai salam pertemuan
dan perpisahan dengan anak‐anak perempuan sekretarisku—dan dia pergi
dengan hati yang senang sekali. Itu sebabnya, mengapa
persoalan‐persoalan Asia harus diselesaikan dengan cara Asia. Caraku
bukanlah sesungguhnya gaya Barat, kukira. Aku tak dapat membayangkan
seorang Perdana Menteri Inggris memeluk sekretaris wanitanya sebagai
ucapan selamat pagi atau ucapan ma’af, setelah mana perempuan itu lari
keluar dan membiarkan dia sendiri. Aku tidak menduga, tidak lama setelah
kejadian ini aku bertemu dengan Cindy Adams. Cindy, seorang wartawan
wanita, berada di Jakarta di tahun 1961 dengan suaminya pelawak Joey
Adams, yang memimpin Missi Kesenian Presiden Kennedy ke Asia Tenggara.
Wanita Amerika yang riang dan rapi ini, dengan pembawaannya yang suka
berkelakar, menyebabkan aku seperti kena pukau. Wawancara dengan Cindy
menyenangkan sekali dan tidak menyakitkan hati. Tulisannya jujur dan
dapat dipercaya sepen~nja. Bahkan dia nampaknya dapat merasakan sedikit
tentang Indonesia dan persoalan persoalannya dan, yah, dia adalah
seorang penulis yang paling menarik yang pernah kujumpai! Kami orang
jawa bekerja dengan instink. Setahun lamanya aku mencari‐cari seorang
wanita yang akan menjabat sebagai press officer, akan tetapi ketika aku
melihat Roch aku segera mengetahui, bahwa dialah yang kucari.
Kupekerjakan dia segera. Begitupun halnya dengan Cindy. Pada kesempatan
lain, ketika Howard Jones memulai lagi pokok pembicaraan tentang sejarah
hidupku, aku memberikan ‘surprise’ kepadanya. Aku meringis. “Dengan
satu syarat. Bahwa aku mengerjakannya dengan Cindy Adams. “Dan apakah
akhirnya yang menyebabkan aku mengambil keputusan untuk mengerjakan
sejarah hidupku? Yah, mungkin juga benar, sudah mendekat waktu aku harus
rnenyadari, bahwa aku sudah tua. Sekarang, mataku yang sudah tua dan
malang itu berair. Aku harus memandang gambaran ini dengan alasan.
Disatu pagi yang lain seorang kemenakan datang menemuiku. Aku biasa
memangkunya ketika dia masih kecil. Sekarang beratnya 70 kilo. Aku
menyadari dengan tiba‐tiba, bahwa aku tidak dapat memangkunya lagi
diatas lututku. Mungkin dia akan mematahkan kakiku yang tua dan lelah
itu. Memang wanita cantik dapat membikin hatiku menjadi muda lagi, akan
tetapi bila aku menginsyafi bahwa anak itu sekarang menjadi ibu dari
beberapa orang anak, tahulah aku bahwa aku sudah berangsur tua juga. Dan
begitulah, waktunya sudah datang. Kalau aku hendak menuliskan kisahku,
aku harus mengguratkannya sekarang. Mungkin aku tidak mempunyai
kesempatan nanti. Aku tahu, bahwa orang ingin mengetabui, apakah Sukarno
seorang kolaborator Jepang semasa Perang Dunia Kedua. Kukira hanya
Sukarno yang dapat menerangkan periode kehidupannya itu dan karena itu
ia bersedia menerangkannya. Bertahuntahun lamanya orang bertanya‐tanya,
apakah Sukarno seorang Diktator, apakah dia seorang Komunis; mengapa dia
tidak membenarkan kemerdekaan pers; berapa banyak isterinya; mengapa
dia membangun departemen store‐departemen store yang baru, sedangkan
rakyatnya dalam keadaan compang‐amping ……… Hanya Sukarno sendiri yang
dapat menjawabnya. Ini adalah pekerjaan yang sukar bagiku. Suatu
otobiografi adalah ibarat pembedahan mental bagiku. Sungguh berat.
Menyobek plester pembalut luka luka dari ingatan seseorang dan membuka
luka‐luka itu, memang sakit, sekalipun banyak diantaranya yang sudah
mulai sembuh. Tambahan lagi, aku akan melakukannya dalam bahasa Inggris,
bahasa asing bagiku. Terkadang aku membuat kesalahan dalam tata bahasa
dan seringkali aku terhenti karena merasa agak kaku. Akan tetapi,
mungkin juga aku wajib menceritakan kisah ini kepada tanah airku, kepada
bangsaku, kepada anak‐anakku dan kepada diriku sendiri. Karenanya
kuminta kepadamu, pembaca, untuk mengingat bahwa, lebih daripada bahasa
kata‐kata yang tertulis adalah bahasa yang keluar dari lubuk hati. Buku
ini tidak ditulis untuk mendapatkan simpati atau meminta supaya setiap
orang suka kepadaku. Harapanku hanyalah, agar dapat menambah pengertian
yang lebih baik tentang Sukarno dan dengan itu menambah pengertian yang
lebih baik terhadap Indonesia yang tercinta.
http://penasoekarno.wordpress.com/2009/12/27/bab-ii-putera-sang-fajar/
Putera Sang Fajar
IBU telah memberikan pangestu kepadaku ketika aku baru berumur beberapa tahun. Di pagi itu ia sudah bangun sebelum matahari terbit dan duduk di dalam gelap di beranda rumah kami yang kecil, tiada bergerak. Ia tidak berbuat apa‐apa, ia tidak berkata apa‐apa, hanya memandang arah ke Timur dan dengan sabar menantikan hari akan siang. Akupun bangun dan mendekatinya. Diulurkannya kedua belah tangannya dan meraih badanku yang kecil ke dalam pelukannya. Sambil mendekapkan tubuhku ke dadanya, ia memelukku dengan tenang. Kemudian ia berbicara dengan suara lunak, “Engkau sedang memandangi fajar, nak.” Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing.
Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali‐kali kaulupakan, nak!, bahwa engkau ini putera dari sang fajar. “Bersamaan dengan kelahiranku menyingsinglah fajar dari suatu hari yang baru dan menyingsing pulalah fajar dari satu abad yang baru. Karena aku dilahirkan di tahun 1901. Bagi Bangsa Indonesia abad kesembilanbelas merupakan jaman yang gelap. Sedangkan jaman sekarang baginya adalah jaman yang terang benderang dalam menaiknya pasang revolusi kemanusiaan. Abad ini adalah suatu jaman dimana bangsa‐bangsa baru dan merdeka di benua Asia dan Afrika mulai berkembang dan berkembangnya negara‐negara Sosialis yang meliputi seribu juta manusia. Abad inipun dinamakan Abad Atom. Dan Abad Ruang Angkasa. Dan mereka yang dilahirkan dalam Abad Revolusi Kemanusiaan ini terikat oleh suatu kewajiba untuk menjalankan tugas‐tugas kepahlawanan. Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam, bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet. Aku bisa keras laksana baja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah paduan daripada pikiran sehat dan getaran perasaan. Aku seorang yang suka mema’afkan, akan tetapi akupun seorang yang keras‐kepala. Aku menjebloskan musuh‐musuh Negara ke belakang jeruji besi, namun demikian aku tidak sampai hati membiarkan burung terkurung di dalam sangkar. Pada suatu kali di Sumatra aku diberi seekor monyet. Binatang itu diikat dengan rantai. Aku tidak dapat membiarkannya! Dia kulepaskan ke dalam hutan. Ketika Irian Barat kembali kepangkuan kami, aku diberi hadiah seekor kanguru. Binatang itu dikurung. Kuminta supaya dia dibawa kembali ke tempatnya dan dikembalikan kemerdekaannya. Aku menjatuhkan hukuman mati, namun aku tak pernah mengangkat tangan untuk memukul mati seekor nyamuk. Sebaliknya aku berbisik kepada binatang itu, “Hayo, nyamuk, pergilah, jangan kaugigit aku.” Sebagai Panglirna Tertinggi aku mengeluarkan perintah untuk membunuh. Karena aku terdiri dari dua belahan, aku dapat memperlihatkan segala rupa, aku dapat mengerti segala pihak, aku memimpin semua orang. Boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan. Boleh jadi juga pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu menjadikan aku seseorang yang merangkul semuanya. Masih ada pertanda lain ketika aku dilahirkan. Gunung Kelud, yang tidak jauh letaknya dari tempat kami, meletus. Orang yang percaya kepada tahayul meramalkan, “Ini adalah penyambutan terhadap bayi Sukarno.” Sebaliknya orang Bali mempunyai kepertcayaan lain; kalau gunung Agung meletus ini berarti bahwa rakyat telah melakukan maksiat. Jadi, orangpun dapat mengatakan bahwa gunung Kelud sebenarnya tidak menyambut bayi Sukarno. Gunung Kelud malah menyatakan kemarahannya, karena anak yang begitu jahat lahir ke muka bumi ini. Berlainan dengan pertanda‐pertanda yang mengiringi kelahiranku itu, maka kelahiran itu sendiri sangatlah menyedihkan. Bapak tidak mampu memanggil dukun untuk menolong anak yang akan lahir. Keadaan kami terlalu ketiadaan. Satu‐satunya orang yang menghadapi ibu ialah seorang kawan dari keluarga kami, seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Dialah, dan tak ada orang lain selain dari orang tua itu, yang menyambutku menginjak dunia ini. Di Bogor ada sebuah plaket timbul yang terbuat dari batu pualam putih lagi bersih, yang melukiskan kelahiran Hercules. Ia tergantung di ruang gang yang menuju keruangan resepsi Negara. Plaket ini memperlihatkan bayi Hercules dalam pangkuan ibunya dikelilingi oleh empatbelas orang wanita‐wanita cantik — semua dalam keadaan telanjang. Cobalah bayangkan, betapa bahagianya untuk dilahirkan di tengah‐tengah empatbelas orang wanita cantik seperti ini!, Akan tetapi Sukarno tidak sama beruntungnya dengan Hercules. Pada waktu aku dilahirkan, tak seorangpun yang akan mengambilku ke dalam pangkuannya, kecuali seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Lalu 50 tahun kemudian. Ini bukanlah lelucon sebagai bahan tertawaan. Di tahun 1949 Republik kami yang masih muda menginjak tahun keempat dari revolusi kami melawan Belanda. Suatu perjuangan yang hebat dengan menggunakan berbagai muslihat. Pihak sana di Negeri Belanda benci kepadaku habishabisan seperti mereka habis‐habisan membenci neraka. Mereka menentangku melalui radio. Dan mereka menentangku melalui pers. Sebuah majalah membuat suatu pengakuan dengan menyatakan bahwa, “Sukarno adalah seorang yang bersemangat, dinamis dan berlainan sama sekali dengan orang Jawa yang lamban dan lambat berpikir. Sukarno dapat berbicara dalam tujuh bahasa dengan lancar. Kita hendaknya bisa melihat kenyataan dan kenyataan adalah, bahwa Sukarno sesungguhnya seorang pemimpin.” Dalam tulisan ini diuraikan segala sifat dan tanda yang baik mengenai diriku. Dengan segera aku menyadari maksud tujuannya. Tulisan itu akhirnya menyimpulkan, “Pembaca yang budiman, tahukah pembaca mengapa Sukarno memiliki sifat‐sifat yang luar‐biasa itu? Karena Sukarno bukanlah orang Indonesia asli. Itulah sebabnya. Dia adalah anak yang tidak sah dari seorang tuan kebun dari perkebunan kopi yang mengadakan hubungan gelap dengan seorang buruh perempuan Bumiputera, kemudian menyerahkan anak itu kepada orang lain sebagai anak‐angkat. “Sayang! Satu‐satunya saksi untuk bersumpah kepada bapakku yang sesungguhnya dan untuk menjadi saksi bahwa aku dilahirkan oleh ibuku yang sebenarnya bukan oleh
pekerja di perkebunan kopi sudah sejak lama meninggal. Melalui generasi demi generasi darah Indonesia sudah bercampur dengan orang India, Arab, Polynesia asli
dan sudah barang tentu dengan orang Tionghoa. Pada dasarnya kami adalah suku bangsa rumpun Melayu. Dari kata asal Ma timbul kata‐kata Manila, Madagaskar, Malaya, Madura, Maori, Himalaja. Nenek moyang kami berpindah‐pindah di sepanjang daerah Asia, menetap di tigaribu pulau yang kemudian menjadi orang Bali, Jawa, Aceh, Ambon, Sumatra dan seterusnya. Aku adalah anak dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idayu, asalnya dari keturunan bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir adalah paman ibu. Bapakku berasal dari Jawa. Nama lengkapnya Raden Sukemi Sosrodihardjo. Dan bapak berasal dari keturunan Sultan Kediri. Lagi‐lagi, merupakan suatu kebetulan ataupun suatu takdir padaku bahwa aku dilahirkan dalam lingkungan kelas yang berkuasa. Namun betapapun asal kelahiranku ataupun nasibku, pengabdianku untuk kemerdekaan rakyatku bukanlah suatu keputusan yang tiba‐tiba. Aku mewarisinya. Semenjak tahun 1596, yaitu pada waktu Belanda pertama kali menyerbu kepulauan kami, maka tindakan Belanda menguasai daerah kami dan perlawanan kami yang sia‐sia dalam merebut kembali tanah pusaka kami telah membikin hitam lembaran‐lembaran dalam sejarah kami. Kakek dan moyangku dari pihak ibu adalah pejuang‐pejuang kemerdekaan yang gagah. Moyangku gugur dalam Perang Puputan, suatu daerah di pantai utara Bali di tempat mana terletak Kerajaan Singaraja dan dimana telah berkobar pertempuran sengit dan bersejarah melawan penjajah. Ketika moyangku menyadari, bahwa semuanya telah hilang dan tentaranya tidak dapat menaklukkan lawan, maka ia dengan sisa orang Bali yang bercita‐cita mengenakan pakaian serba putih, dari kepala sampai kekaki. Mereka menaiki kudanya, masing masing menghunus keris, lalu menjerbu musuh. Mereka dihancurkan. Raja Singaraja yang terakhir secara licik dikeluarkan oleh Belanda dan kerajaannya. Kekayaannya, tempat tinggal, tanah dan semua miliknya dirampas. Mereka mengundangnya ke sebuah kapal perang untuk berunding. Begitu sampai di atas kapal, Belanda menahannya secara paksa, lalu berlayar dan menjebloskannya ke tempat pembuangan. Setelah Belanda menduduki istananya dan merampas miliknya, keluarga ibu jatuh melarat. Karena itu kebencian ibu terhadap Belanda tak habishabisnya dan ini disampaikannya kepadaku. Di tahun 1946, ketika itu umur ibu sudah lebih dari 70 tahun, Republik kami yang masih muda terlibat dalam pertempuran‐pertempuran jarak dekat dengan musuh. Dalam suatu pertempuran, pasukan kami berkumpul di pekarangan belakang rumah ibu di Blitar. Kisah ini kemudian diceritakan oleh pejuang gerilya kepadaku, “Di tempat ini keadaan gerakan kami tenang sekali. Kami semua tiarap menunggu. Rupanya ibu tidak mendengar apa‐apa dari pihak kita. Tidak ada tembakan, tidak ada teriakan. Dengan mata yang bernyala‐nyala beliau keluar mendatangi kami, “Kenapa tidak ada tembakan?” Kenapa tidak bertempur? Apa kamu semua penakut?. Kenapa kamu tidak keluar menembak Belanda, Hayo, terus, semua kamu, keluar dan bunuh Belanda‐ Belanda itu!’” Pihak bapakpun adalah patriot‐patriot ulung. Nenek dari nenek bapak kedudukannya dibawah seorang Puteri, namun dia seorang pejuang puteri di samping pahlawan besar kami, Diponegoro. Dengan menaiki kuda dia mendampingi Diponegoro sampai menemui ajalnya dalam Perang Jawa yang besar itu, yang berkobar dari tahun 1825 sampai tahun 1830. Sebagai kanak‐kanak aku tidak mendapat cerita‐cerita seperti di televisi atau cerita Wild West yang dibumbui. Ibu selalu menceritakan kisah‐kisah kebangsaan dan kepahlawanan. Kalau ibu sudah mulai bercerita, aku lalu duduk dekat kakinya dan dengan haus meneguk kisah‐kisah yang menarik tentang pejuang‐pejuang kemerdekaan dalam keluarga kami. Ibupun menceritakan tentang bagaimana bapak merebutnya. Semasa mudanya ibu menjadi seorang gadis pura yang pekerjaannya membersihkan rumah ibadat itu setiap pagi dan petang. Bapak bekerja sebagai guru sekolah rendah gubernemen di Singaraja dan setelah selesai sekolah sering datang ke lubuk di muka pura tempat ibu bekerja untuk menikmati ketenangannya. Pada suatu hari ia melihat ibu. Pada kesempatan lain ketika duduk lagi dekat lubuk itu ia melihat ibu sekali lagi. Setelah sore demi sore berlalu, ia menegur ibu sedikit. Ibu menjawab. Segera ia merasa tertarik kepada ibu dan ibu kepadanya. Seperti biasanya menurut adat, bapak mendatangi orang tua ibu untuk meminta ibu secara beradat. “Bolehkah saya meminta anak ibu‐bapak?” Orangtua ibu lalu menjawab, “Tidak bisa. Engkau berasal dari Jawa dan engkau beragama Islam. Tidak, sekali‐kali tidak! Kami akan kehilangan anak kami. ‘Seperti halnya dengan keadaan sebelum Perang Dunia Kedua, perempuan Bali tidak ada yang mengawini orang luar. Yang kumaksud bukan orang luar dari negara lain, akan tetapi orang luar dari pulau lain. Waktu itu tidak ada perkawinan campuran antara satu suku dengan suku lain sama sekali. Kalaupun terjadi bencana semacam ini, maka pengantin baru itu diasingkan dari rumah orangtuanya sendiri. Suatu keistimewaan dari Sukarno, ia dapat menyatukan rakyatnya. Warna kulit kami mungkin berbeda, bentuk hidung dan dahi kami mungkin berlainan lihat orang Irian hitam, lihat orang Sumatra sawomatang, lihat orang Jawa pendek‐pendek, orang Maluku lebih tinggi, lihat orang Lampung mempunyai bentuk sendiri, rakyat Pasundan mempunyai ciri sendiri, akan tetapi kami tidak lagi jadi inlander atau menganggap diri kami orang‐asing satu sama lain. Sekarang kami sudah menjadi orang Indonesia dan kami satu. Semboyan negeri kami Bhineka Tunggal Ika “Berbeda‐beda tapi satu jua”. Kembali kepada kisah bapakku, betapa sukarnya situasi ketika ia hendak mengawini ibu. Terutama karena ia resminya seorang Islam, sekalipun ia menjalankan Theosofi. Untuk kawin secara Islam, maka ibu harus menganut agama Islam terlebih dulu. Satu‐satunya jalan bagi mereka ialah kawin lari. Kawin lari menurut kebiasaan di Bali harus mengikuti tata cara tertentu. Kedua merpati itu bermalam di malam perkawinannya di rumah salah seorang kawan. Sementara itu dikirimkan utusan ke rumah orangtua si gadis untuk memberitahukan bahwa anak mereka sudah menjalankan perkawinannya. Ibu dan bapakku mencari perlindungan di rumah Kepala Polisi yang menjadi kawan bapak. Keluarga ibu datang menjemputnya, akan tetapi Kepala Polisi itu tidak mau melepaskan. “Tidak, dia berada dalam perlindungan saya,” katanya. Bukanlah kebiasaan kami untuk menghadapkan pengantin kemuka pengadilan, sekalipun orangtua tidak setuju. Akan tetapi kejadian ini adalah keadaan yang luar biasa ketika itu. Bapak seorang Islam Theosof dan ibu seorang Bali Hindu‐Budha. Pada waktu perkara itu diadili, ibu ditanya, “Apakah laki‐laki ini memaksamu, bertentangan dengan kemauanmu sendiri?” Dan ibu menjawab, “Tidak, tidak. Saya mencintainya dan melarikan diri atas kemauan saya sendiri. “Tiada pilihan lain bagi mereka, kecuali mengizinkan perkawinan itu. Sekalipun demikian pengadilan mendenda ibu 25 ringgit, yang nilainya sama dengan 25 dolar. Ibu mewarisi beberapa perhiasan emas dan untuk membayar denda itu ibu menjual perhiasannya. Karena bapak merasa tidak disukai orang di Bali, ia kemudian mengajukan permohonan kepada Departemen Pengajaran untuk dipindahkan ke Jawa. Bapak dikirim ke Surabaya dan disanalah putera sang fajar dilahirkan.
BAB II Putera Sang Fajar
IBU telah memberikan pangestu kepadaku ketika aku baru berumur beberapa tahun. Di pagi itu ia sudah bangun sebelum matahari terbit dan duduk di dalam gelap di beranda rumah kami yang kecil, tiada bergerak. Ia tidak berbuat apa‐apa, ia tidak berkata apa‐apa, hanya memandang arah ke Timur dan dengan sabar menantikan hari akan siang. Akupun bangun dan mendekatinya. Diulurkannya kedua belah tangannya dan meraih badanku yang kecil ke dalam pelukannya. Sambil mendekapkan tubuhku ke dadanya, ia memelukku dengan tenang. Kemudian ia berbicara dengan suara lunak, “Engkau sedang memandangi fajar, nak.” Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing.
Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali‐kali kaulupakan, nak!, bahwa engkau ini putera dari sang fajar. “Bersamaan dengan kelahiranku menyingsinglah fajar dari suatu hari yang baru dan menyingsing pulalah fajar dari satu abad yang baru. Karena aku dilahirkan di tahun 1901. Bagi Bangsa Indonesia abad kesembilanbelas merupakan jaman yang gelap. Sedangkan jaman sekarang baginya adalah jaman yang terang benderang dalam menaiknya pasang revolusi kemanusiaan. Abad ini adalah suatu jaman dimana bangsa‐bangsa baru dan merdeka di benua Asia dan Afrika mulai berkembang dan berkembangnya negara‐negara Sosialis yang meliputi seribu juta manusia. Abad inipun dinamakan Abad Atom. Dan Abad Ruang Angkasa. Dan mereka yang dilahirkan dalam Abad Revolusi Kemanusiaan ini terikat oleh suatu kewajiba untuk menjalankan tugas‐tugas kepahlawanan. Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam, bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet. Aku bisa keras laksana baja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah paduan daripada pikiran sehat dan getaran perasaan. Aku seorang yang suka mema’afkan, akan tetapi akupun seorang yang keras‐kepala. Aku menjebloskan musuh‐musuh Negara ke belakang jeruji besi, namun demikian aku tidak sampai hati membiarkan burung terkurung di dalam sangkar. Pada suatu kali di Sumatra aku diberi seekor monyet. Binatang itu diikat dengan rantai. Aku tidak dapat membiarkannya! Dia kulepaskan ke dalam hutan. Ketika Irian Barat kembali kepangkuan kami, aku diberi hadiah seekor kanguru. Binatang itu dikurung. Kuminta supaya dia dibawa kembali ke tempatnya dan dikembalikan kemerdekaannya. Aku menjatuhkan hukuman mati, namun aku tak pernah mengangkat tangan untuk memukul mati seekor nyamuk. Sebaliknya aku berbisik kepada binatang itu, “Hayo, nyamuk, pergilah, jangan kaugigit aku.” Sebagai Panglirna Tertinggi aku mengeluarkan perintah untuk membunuh. Karena aku terdiri dari dua belahan, aku dapat memperlihatkan segala rupa, aku dapat mengerti segala pihak, aku memimpin semua orang. Boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan. Boleh jadi juga pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu menjadikan aku seseorang yang merangkul semuanya. Masih ada pertanda lain ketika aku dilahirkan. Gunung Kelud, yang tidak jauh letaknya dari tempat kami, meletus. Orang yang percaya kepada tahayul meramalkan, “Ini adalah penyambutan terhadap bayi Sukarno.” Sebaliknya orang Bali mempunyai kepertcayaan lain; kalau gunung Agung meletus ini berarti bahwa rakyat telah melakukan maksiat. Jadi, orangpun dapat mengatakan bahwa gunung Kelud sebenarnya tidak menyambut bayi Sukarno. Gunung Kelud malah menyatakan kemarahannya, karena anak yang begitu jahat lahir ke muka bumi ini. Berlainan dengan pertanda‐pertanda yang mengiringi kelahiranku itu, maka kelahiran itu sendiri sangatlah menyedihkan. Bapak tidak mampu memanggil dukun untuk menolong anak yang akan lahir. Keadaan kami terlalu ketiadaan. Satu‐satunya orang yang menghadapi ibu ialah seorang kawan dari keluarga kami, seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Dialah, dan tak ada orang lain selain dari orang tua itu, yang menyambutku menginjak dunia ini. Di Bogor ada sebuah plaket timbul yang terbuat dari batu pualam putih lagi bersih, yang melukiskan kelahiran Hercules. Ia tergantung di ruang gang yang menuju keruangan resepsi Negara. Plaket ini memperlihatkan bayi Hercules dalam pangkuan ibunya dikelilingi oleh empatbelas orang wanita‐wanita cantik — semua dalam keadaan telanjang. Cobalah bayangkan, betapa bahagianya untuk dilahirkan di tengah‐tengah empatbelas orang wanita cantik seperti ini!, Akan tetapi Sukarno tidak sama beruntungnya dengan Hercules. Pada waktu aku dilahirkan, tak seorangpun yang akan mengambilku ke dalam pangkuannya, kecuali seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Lalu 50 tahun kemudian. Ini bukanlah lelucon sebagai bahan tertawaan. Di tahun 1949 Republik kami yang masih muda menginjak tahun keempat dari revolusi kami melawan Belanda. Suatu perjuangan yang hebat dengan menggunakan berbagai muslihat. Pihak sana di Negeri Belanda benci kepadaku habishabisan seperti mereka habis‐habisan membenci neraka. Mereka menentangku melalui radio. Dan mereka menentangku melalui pers. Sebuah majalah membuat suatu pengakuan dengan menyatakan bahwa, “Sukarno adalah seorang yang bersemangat, dinamis dan berlainan sama sekali dengan orang Jawa yang lamban dan lambat berpikir. Sukarno dapat berbicara dalam tujuh bahasa dengan lancar. Kita hendaknya bisa melihat kenyataan dan kenyataan adalah, bahwa Sukarno sesungguhnya seorang pemimpin.” Dalam tulisan ini diuraikan segala sifat dan tanda yang baik mengenai diriku. Dengan segera aku menyadari maksud tujuannya. Tulisan itu akhirnya menyimpulkan, “Pembaca yang budiman, tahukah pembaca mengapa Sukarno memiliki sifat‐sifat yang luar‐biasa itu? Karena Sukarno bukanlah orang Indonesia asli. Itulah sebabnya. Dia adalah anak yang tidak sah dari seorang tuan kebun dari perkebunan kopi yang mengadakan hubungan gelap dengan seorang buruh perempuan Bumiputera, kemudian menyerahkan anak itu kepada orang lain sebagai anak‐angkat. “Sayang! Satu‐satunya saksi untuk bersumpah kepada bapakku yang sesungguhnya dan untuk menjadi saksi bahwa aku dilahirkan oleh ibuku yang sebenarnya bukan oleh
pekerja di perkebunan kopi sudah sejak lama meninggal. Melalui generasi demi generasi darah Indonesia sudah bercampur dengan orang India, Arab, Polynesia asli
dan sudah barang tentu dengan orang Tionghoa. Pada dasarnya kami adalah suku bangsa rumpun Melayu. Dari kata asal Ma timbul kata‐kata Manila, Madagaskar, Malaya, Madura, Maori, Himalaja. Nenek moyang kami berpindah‐pindah di sepanjang daerah Asia, menetap di tigaribu pulau yang kemudian menjadi orang Bali, Jawa, Aceh, Ambon, Sumatra dan seterusnya. Aku adalah anak dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idayu, asalnya dari keturunan bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir adalah paman ibu. Bapakku berasal dari Jawa. Nama lengkapnya Raden Sukemi Sosrodihardjo. Dan bapak berasal dari keturunan Sultan Kediri. Lagi‐lagi, merupakan suatu kebetulan ataupun suatu takdir padaku bahwa aku dilahirkan dalam lingkungan kelas yang berkuasa. Namun betapapun asal kelahiranku ataupun nasibku, pengabdianku untuk kemerdekaan rakyatku bukanlah suatu keputusan yang tiba‐tiba. Aku mewarisinya. Semenjak tahun 1596, yaitu pada waktu Belanda pertama kali menyerbu kepulauan kami, maka tindakan Belanda menguasai daerah kami dan perlawanan kami yang sia‐sia dalam merebut kembali tanah pusaka kami telah membikin hitam lembaran‐lembaran dalam sejarah kami. Kakek dan moyangku dari pihak ibu adalah pejuang‐pejuang kemerdekaan yang gagah. Moyangku gugur dalam Perang Puputan, suatu daerah di pantai utara Bali di tempat mana terletak Kerajaan Singaraja dan dimana telah berkobar pertempuran sengit dan bersejarah melawan penjajah. Ketika moyangku menyadari, bahwa semuanya telah hilang dan tentaranya tidak dapat menaklukkan lawan, maka ia dengan sisa orang Bali yang bercita‐cita mengenakan pakaian serba putih, dari kepala sampai kekaki. Mereka menaiki kudanya, masing masing menghunus keris, lalu menjerbu musuh. Mereka dihancurkan. Raja Singaraja yang terakhir secara licik dikeluarkan oleh Belanda dan kerajaannya. Kekayaannya, tempat tinggal, tanah dan semua miliknya dirampas. Mereka mengundangnya ke sebuah kapal perang untuk berunding. Begitu sampai di atas kapal, Belanda menahannya secara paksa, lalu berlayar dan menjebloskannya ke tempat pembuangan. Setelah Belanda menduduki istananya dan merampas miliknya, keluarga ibu jatuh melarat. Karena itu kebencian ibu terhadap Belanda tak habishabisnya dan ini disampaikannya kepadaku. Di tahun 1946, ketika itu umur ibu sudah lebih dari 70 tahun, Republik kami yang masih muda terlibat dalam pertempuran‐pertempuran jarak dekat dengan musuh. Dalam suatu pertempuran, pasukan kami berkumpul di pekarangan belakang rumah ibu di Blitar. Kisah ini kemudian diceritakan oleh pejuang gerilya kepadaku, “Di tempat ini keadaan gerakan kami tenang sekali. Kami semua tiarap menunggu. Rupanya ibu tidak mendengar apa‐apa dari pihak kita. Tidak ada tembakan, tidak ada teriakan. Dengan mata yang bernyala‐nyala beliau keluar mendatangi kami, “Kenapa tidak ada tembakan?” Kenapa tidak bertempur? Apa kamu semua penakut?. Kenapa kamu tidak keluar menembak Belanda, Hayo, terus, semua kamu, keluar dan bunuh Belanda‐ Belanda itu!’” Pihak bapakpun adalah patriot‐patriot ulung. Nenek dari nenek bapak kedudukannya dibawah seorang Puteri, namun dia seorang pejuang puteri di samping pahlawan besar kami, Diponegoro. Dengan menaiki kuda dia mendampingi Diponegoro sampai menemui ajalnya dalam Perang Jawa yang besar itu, yang berkobar dari tahun 1825 sampai tahun 1830. Sebagai kanak‐kanak aku tidak mendapat cerita‐cerita seperti di televisi atau cerita Wild West yang dibumbui. Ibu selalu menceritakan kisah‐kisah kebangsaan dan kepahlawanan. Kalau ibu sudah mulai bercerita, aku lalu duduk dekat kakinya dan dengan haus meneguk kisah‐kisah yang menarik tentang pejuang‐pejuang kemerdekaan dalam keluarga kami. Ibupun menceritakan tentang bagaimana bapak merebutnya. Semasa mudanya ibu menjadi seorang gadis pura yang pekerjaannya membersihkan rumah ibadat itu setiap pagi dan petang. Bapak bekerja sebagai guru sekolah rendah gubernemen di Singaraja dan setelah selesai sekolah sering datang ke lubuk di muka pura tempat ibu bekerja untuk menikmati ketenangannya. Pada suatu hari ia melihat ibu. Pada kesempatan lain ketika duduk lagi dekat lubuk itu ia melihat ibu sekali lagi. Setelah sore demi sore berlalu, ia menegur ibu sedikit. Ibu menjawab. Segera ia merasa tertarik kepada ibu dan ibu kepadanya. Seperti biasanya menurut adat, bapak mendatangi orang tua ibu untuk meminta ibu secara beradat. “Bolehkah saya meminta anak ibu‐bapak?” Orangtua ibu lalu menjawab, “Tidak bisa. Engkau berasal dari Jawa dan engkau beragama Islam. Tidak, sekali‐kali tidak! Kami akan kehilangan anak kami. ‘Seperti halnya dengan keadaan sebelum Perang Dunia Kedua, perempuan Bali tidak ada yang mengawini orang luar. Yang kumaksud bukan orang luar dari negara lain, akan tetapi orang luar dari pulau lain. Waktu itu tidak ada perkawinan campuran antara satu suku dengan suku lain sama sekali. Kalaupun terjadi bencana semacam ini, maka pengantin baru itu diasingkan dari rumah orangtuanya sendiri. Suatu keistimewaan dari Sukarno, ia dapat menyatukan rakyatnya. Warna kulit kami mungkin berbeda, bentuk hidung dan dahi kami mungkin berlainan lihat orang Irian hitam, lihat orang Sumatra sawomatang, lihat orang Jawa pendek‐pendek, orang Maluku lebih tinggi, lihat orang Lampung mempunyai bentuk sendiri, rakyat Pasundan mempunyai ciri sendiri, akan tetapi kami tidak lagi jadi inlander atau menganggap diri kami orang‐asing satu sama lain. Sekarang kami sudah menjadi orang Indonesia dan kami satu. Semboyan negeri kami Bhineka Tunggal Ika “Berbeda‐beda tapi satu jua”. Kembali kepada kisah bapakku, betapa sukarnya situasi ketika ia hendak mengawini ibu. Terutama karena ia resminya seorang Islam, sekalipun ia menjalankan Theosofi. Untuk kawin secara Islam, maka ibu harus menganut agama Islam terlebih dulu. Satu‐satunya jalan bagi mereka ialah kawin lari. Kawin lari menurut kebiasaan di Bali harus mengikuti tata cara tertentu. Kedua merpati itu bermalam di malam perkawinannya di rumah salah seorang kawan. Sementara itu dikirimkan utusan ke rumah orangtua si gadis untuk memberitahukan bahwa anak mereka sudah menjalankan perkawinannya. Ibu dan bapakku mencari perlindungan di rumah Kepala Polisi yang menjadi kawan bapak. Keluarga ibu datang menjemputnya, akan tetapi Kepala Polisi itu tidak mau melepaskan. “Tidak, dia berada dalam perlindungan saya,” katanya. Bukanlah kebiasaan kami untuk menghadapkan pengantin kemuka pengadilan, sekalipun orangtua tidak setuju. Akan tetapi kejadian ini adalah keadaan yang luar biasa ketika itu. Bapak seorang Islam Theosof dan ibu seorang Bali Hindu‐Budha. Pada waktu perkara itu diadili, ibu ditanya, “Apakah laki‐laki ini memaksamu, bertentangan dengan kemauanmu sendiri?” Dan ibu menjawab, “Tidak, tidak. Saya mencintainya dan melarikan diri atas kemauan saya sendiri. “Tiada pilihan lain bagi mereka, kecuali mengizinkan perkawinan itu. Sekalipun demikian pengadilan mendenda ibu 25 ringgit, yang nilainya sama dengan 25 dolar. Ibu mewarisi beberapa perhiasan emas dan untuk membayar denda itu ibu menjual perhiasannya. Karena bapak merasa tidak disukai orang di Bali, ia kemudian mengajukan permohonan kepada Departemen Pengajaran untuk dipindahkan ke Jawa. Bapak dikirim ke Surabaya dan disanalah putera sang fajar dilahirkan
BAB II Putera Sang Fajar
IBU telah memberikan pangestu kepadaku ketika aku baru berumur beberapa tahun. Di pagi itu ia sudah bangun sebelum matahari terbit dan duduk di dalam gelap di beranda rumah kami yang kecil, tiada bergerak. Ia tidak berbuat apa‐apa, ia tidak berkata apa‐apa, hanya memandang arah ke Timur dan dengan sabar menantikan hari akan siang. Akupun bangun dan mendekatinya. Diulurkannya kedua belah tangannya dan meraih badanku yang kecil ke dalam pelukannya. Sambil mendekapkan tubuhku ke dadanya, ia memelukku dengan tenang. Kemudian ia berbicara dengan suara lunak, “Engkau sedang memandangi fajar, nak.” Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing.
Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali‐kali kaulupakan, nak!, bahwa engkau ini putera dari sang fajar. “Bersamaan dengan kelahiranku menyingsinglah fajar dari suatu hari yang baru dan menyingsing pulalah fajar dari satu abad yang baru. Karena aku dilahirkan di tahun 1901. Bagi Bangsa Indonesia abad kesembilanbelas merupakan jaman yang gelap. Sedangkan jaman sekarang baginya adalah jaman yang terang benderang dalam menaiknya pasang revolusi kemanusiaan. Abad ini adalah suatu jaman dimana bangsa‐bangsa baru dan merdeka di benua Asia dan Afrika mulai berkembang dan berkembangnya negara‐negara Sosialis yang meliputi seribu juta manusia. Abad inipun dinamakan Abad Atom. Dan Abad Ruang Angkasa. Dan mereka yang dilahirkan dalam Abad Revolusi Kemanusiaan ini terikat oleh suatu kewajiba untuk menjalankan tugas‐tugas kepahlawanan. Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam, bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet. Aku bisa keras laksana baja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah paduan daripada pikiran sehat dan getaran perasaan. Aku seorang yang suka mema’afkan, akan tetapi akupun seorang yang keras‐kepala. Aku menjebloskan musuh‐musuh Negara ke belakang jeruji besi, namun demikian aku tidak sampai hati membiarkan burung terkurung di dalam sangkar. Pada suatu kali di Sumatra aku diberi seekor monyet. Binatang itu diikat dengan rantai. Aku tidak dapat membiarkannya! Dia kulepaskan ke dalam hutan. Ketika Irian Barat kembali kepangkuan kami, aku diberi hadiah seekor kanguru. Binatang itu dikurung. Kuminta supaya dia dibawa kembali ke tempatnya dan dikembalikan kemerdekaannya. Aku menjatuhkan hukuman mati, namun aku tak pernah mengangkat tangan untuk memukul mati seekor nyamuk. Sebaliknya aku berbisik kepada binatang itu, “Hayo, nyamuk, pergilah, jangan kaugigit aku.” Sebagai Panglirna Tertinggi aku mengeluarkan perintah untuk membunuh. Karena aku terdiri dari dua belahan, aku dapat memperlihatkan segala rupa, aku dapat mengerti segala pihak, aku memimpin semua orang. Boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan. Boleh jadi juga pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu menjadikan aku seseorang yang merangkul semuanya. Masih ada pertanda lain ketika aku dilahirkan. Gunung Kelud, yang tidak jauh letaknya dari tempat kami, meletus. Orang yang percaya kepada tahayul meramalkan, “Ini adalah penyambutan terhadap bayi Sukarno.” Sebaliknya orang Bali mempunyai kepertcayaan lain; kalau gunung Agung meletus ini berarti bahwa rakyat telah melakukan maksiat. Jadi, orangpun dapat mengatakan bahwa gunung Kelud sebenarnya tidak menyambut bayi Sukarno. Gunung Kelud malah menyatakan kemarahannya, karena anak yang begitu jahat lahir ke muka bumi ini. Berlainan dengan pertanda‐pertanda yang mengiringi kelahiranku itu, maka kelahiran itu sendiri sangatlah menyedihkan. Bapak tidak mampu memanggil dukun untuk menolong anak yang akan lahir. Keadaan kami terlalu ketiadaan. Satu‐satunya orang yang menghadapi ibu ialah seorang kawan dari keluarga kami, seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Dialah, dan tak ada orang lain selain dari orang tua itu, yang menyambutku menginjak dunia ini. Di Bogor ada sebuah plaket timbul yang terbuat dari batu pualam putih lagi bersih, yang melukiskan kelahiran Hercules. Ia tergantung di ruang gang yang menuju keruangan resepsi Negara. Plaket ini memperlihatkan bayi Hercules dalam pangkuan ibunya dikelilingi oleh empatbelas orang wanita‐wanita cantik — semua dalam keadaan telanjang. Cobalah bayangkan, betapa bahagianya untuk dilahirkan di tengah‐tengah empatbelas orang wanita cantik seperti ini!, Akan tetapi Sukarno tidak sama beruntungnya dengan Hercules. Pada waktu aku dilahirkan, tak seorangpun yang akan mengambilku ke dalam pangkuannya, kecuali seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Lalu 50 tahun kemudian. Ini bukanlah lelucon sebagai bahan tertawaan. Di tahun 1949 Republik kami yang masih muda menginjak tahun keempat dari revolusi kami melawan Belanda. Suatu perjuangan yang hebat dengan menggunakan berbagai muslihat. Pihak sana di Negeri Belanda benci kepadaku habishabisan seperti mereka habis‐habisan membenci neraka. Mereka menentangku melalui radio. Dan mereka menentangku melalui pers. Sebuah majalah membuat suatu pengakuan dengan menyatakan bahwa, “Sukarno adalah seorang yang bersemangat, dinamis dan berlainan sama sekali dengan orang Jawa yang lamban dan lambat berpikir. Sukarno dapat berbicara dalam tujuh bahasa dengan lancar. Kita hendaknya bisa melihat kenyataan dan kenyataan adalah, bahwa Sukarno sesungguhnya seorang pemimpin.” Dalam tulisan ini diuraikan segala sifat dan tanda yang baik mengenai diriku. Dengan segera aku menyadari maksud tujuannya. Tulisan itu akhirnya menyimpulkan, “Pembaca yang budiman, tahukah pembaca mengapa Sukarno memiliki sifat‐sifat yang luar‐biasa itu? Karena Sukarno bukanlah orang Indonesia asli. Itulah sebabnya. Dia adalah anak yang tidak sah dari seorang tuan kebun dari perkebunan kopi yang mengadakan hubungan gelap dengan seorang buruh perempuan Bumiputera, kemudian menyerahkan anak itu kepada orang lain sebagai anak‐angkat. “Sayang! Satu‐satunya saksi untuk bersumpah kepada bapakku yang sesungguhnya dan untuk menjadi saksi bahwa aku dilahirkan oleh ibuku yang sebenarnya bukan oleh
pekerja di perkebunan kopi sudah sejak lama meninggal. Melalui generasi demi generasi darah Indonesia sudah bercampur dengan orang India, Arab, Polynesia asli
dan sudah barang tentu dengan orang Tionghoa. Pada dasarnya kami adalah suku bangsa rumpun Melayu. Dari kata asal Ma timbul kata‐kata Manila, Madagaskar, Malaya, Madura, Maori, Himalaja. Nenek moyang kami berpindah‐pindah di sepanjang daerah Asia, menetap di tigaribu pulau yang kemudian menjadi orang Bali, Jawa, Aceh, Ambon, Sumatra dan seterusnya. Aku adalah anak dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idayu, asalnya dari keturunan bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir adalah paman ibu. Bapakku berasal dari Jawa. Nama lengkapnya Raden Sukemi Sosrodihardjo. Dan bapak berasal dari keturunan Sultan Kediri. Lagi‐lagi, merupakan suatu kebetulan ataupun suatu takdir padaku bahwa aku dilahirkan dalam lingkungan kelas yang berkuasa. Namun betapapun asal kelahiranku ataupun nasibku, pengabdianku untuk kemerdekaan rakyatku bukanlah suatu keputusan yang tiba‐tiba. Aku mewarisinya. Semenjak tahun 1596, yaitu pada waktu Belanda pertama kali menyerbu kepulauan kami, maka tindakan Belanda menguasai daerah kami dan perlawanan kami yang sia‐sia dalam merebut kembali tanah pusaka kami telah membikin hitam lembaran‐lembaran dalam sejarah kami. Kakek dan moyangku dari pihak ibu adalah pejuang‐pejuang kemerdekaan yang gagah. Moyangku gugur dalam Perang Puputan, suatu daerah di pantai utara Bali di tempat mana terletak Kerajaan Singaraja dan dimana telah berkobar pertempuran sengit dan bersejarah melawan penjajah. Ketika moyangku menyadari, bahwa semuanya telah hilang dan tentaranya tidak dapat menaklukkan lawan, maka ia dengan sisa orang Bali yang bercita‐cita mengenakan pakaian serba putih, dari kepala sampai kekaki. Mereka menaiki kudanya, masing masing menghunus keris, lalu menjerbu musuh. Mereka dihancurkan. Raja Singaraja yang terakhir secara licik dikeluarkan oleh Belanda dan kerajaannya. Kekayaannya, tempat tinggal, tanah dan semua miliknya dirampas. Mereka mengundangnya ke sebuah kapal perang untuk berunding. Begitu sampai di atas kapal, Belanda menahannya secara paksa, lalu berlayar dan menjebloskannya ke tempat pembuangan. Setelah Belanda menduduki istananya dan merampas miliknya, keluarga ibu jatuh melarat. Karena itu kebencian ibu terhadap Belanda tak habishabisnya dan ini disampaikannya kepadaku. Di tahun 1946, ketika itu umur ibu sudah lebih dari 70 tahun, Republik kami yang masih muda terlibat dalam pertempuran‐pertempuran jarak dekat dengan musuh. Dalam suatu pertempuran, pasukan kami berkumpul di pekarangan belakang rumah ibu di Blitar. Kisah ini kemudian diceritakan oleh pejuang gerilya kepadaku, “Di tempat ini keadaan gerakan kami tenang sekali. Kami semua tiarap menunggu. Rupanya ibu tidak mendengar apa‐apa dari pihak kita. Tidak ada tembakan, tidak ada teriakan. Dengan mata yang bernyala‐nyala beliau keluar mendatangi kami, “Kenapa tidak ada tembakan?” Kenapa tidak bertempur? Apa kamu semua penakut?. Kenapa kamu tidak keluar menembak Belanda, Hayo, terus, semua kamu, keluar dan bunuh Belanda‐ Belanda itu!’” Pihak bapakpun adalah patriot‐patriot ulung. Nenek dari nenek bapak kedudukannya dibawah seorang Puteri, namun dia seorang pejuang puteri di samping pahlawan besar kami, Diponegoro. Dengan menaiki kuda dia mendampingi Diponegoro sampai menemui ajalnya dalam Perang Jawa yang besar itu, yang berkobar dari tahun 1825 sampai tahun 1830. Sebagai kanak‐kanak aku tidak mendapat cerita‐cerita seperti di televisi atau cerita Wild West yang dibumbui. Ibu selalu menceritakan kisah‐kisah kebangsaan dan kepahlawanan. Kalau ibu sudah mulai bercerita, aku lalu duduk dekat kakinya dan dengan haus meneguk kisah‐kisah yang menarik tentang pejuang‐pejuang kemerdekaan dalam keluarga kami. Ibupun menceritakan tentang bagaimana bapak merebutnya. Semasa mudanya ibu menjadi seorang gadis pura yang pekerjaannya membersihkan rumah ibadat itu setiap pagi dan petang. Bapak bekerja sebagai guru sekolah rendah gubernemen di Singaraja dan setelah selesai sekolah sering datang ke lubuk di muka pura tempat ibu bekerja untuk menikmati ketenangannya. Pada suatu hari ia melihat ibu. Pada kesempatan lain ketika duduk lagi dekat lubuk itu ia melihat ibu sekali lagi. Setelah sore demi sore berlalu, ia menegur ibu sedikit. Ibu menjawab. Segera ia merasa tertarik kepada ibu dan ibu kepadanya. Seperti biasanya menurut adat, bapak mendatangi orang tua ibu untuk meminta ibu secara beradat. “Bolehkah saya meminta anak ibu‐bapak?” Orangtua ibu lalu menjawab, “Tidak bisa. Engkau berasal dari Jawa dan engkau beragama Islam. Tidak, sekali‐kali tidak! Kami akan kehilangan anak kami. ‘Seperti halnya dengan keadaan sebelum Perang Dunia Kedua, perempuan Bali tidak ada yang mengawini orang luar. Yang kumaksud bukan orang luar dari negara lain, akan tetapi orang luar dari pulau lain. Waktu itu tidak ada perkawinan campuran antara satu suku dengan suku lain sama sekali. Kalaupun terjadi bencana semacam ini, maka pengantin baru itu diasingkan dari rumah orangtuanya sendiri. Suatu keistimewaan dari Sukarno, ia dapat menyatukan rakyatnya. Warna kulit kami mungkin berbeda, bentuk hidung dan dahi kami mungkin berlainan lihat orang Irian hitam, lihat orang Sumatra sawomatang, lihat orang Jawa pendek‐pendek, orang Maluku lebih tinggi, lihat orang Lampung mempunyai bentuk sendiri, rakyat Pasundan mempunyai ciri sendiri, akan tetapi kami tidak lagi jadi inlander atau menganggap diri kami orang‐asing satu sama lain. Sekarang kami sudah menjadi orang Indonesia dan kami satu. Semboyan negeri kami Bhineka Tunggal Ika “Berbeda‐beda tapi satu jua”. Kembali kepada kisah bapakku, betapa sukarnya situasi ketika ia hendak mengawini ibu. Terutama karena ia resminya seorang Islam, sekalipun ia menjalankan Theosofi. Untuk kawin secara Islam, maka ibu harus menganut agama Islam terlebih dulu. Satu‐satunya jalan bagi mereka ialah kawin lari. Kawin lari menurut kebiasaan di Bali harus mengikuti tata cara tertentu. Kedua merpati itu bermalam di malam perkawinannya di rumah salah seorang kawan. Sementara itu dikirimkan utusan ke rumah orangtua si gadis untuk memberitahukan bahwa anak mereka sudah menjalankan perkawinannya. Ibu dan bapakku mencari perlindungan di rumah Kepala Polisi yang menjadi kawan bapak. Keluarga ibu datang menjemputnya, akan tetapi Kepala Polisi itu tidak mau melepaskan. “Tidak, dia berada dalam perlindungan saya,” katanya. Bukanlah kebiasaan kami untuk menghadapkan pengantin kemuka pengadilan, sekalipun orangtua tidak setuju. Akan tetapi kejadian ini adalah keadaan yang luar biasa ketika itu. Bapak seorang Islam Theosof dan ibu seorang Bali Hindu‐Budha. Pada waktu perkara itu diadili, ibu ditanya, “Apakah laki‐laki ini memaksamu, bertentangan dengan kemauanmu sendiri?” Dan ibu menjawab, “Tidak, tidak. Saya mencintainya dan melarikan diri atas kemauan saya sendiri. “Tiada pilihan lain bagi mereka, kecuali mengizinkan perkawinan itu. Sekalipun demikian pengadilan mendenda ibu 25 ringgit, yang nilainya sama dengan 25 dolar. Ibu mewarisi beberapa perhiasan emas dan untuk membayar denda itu ibu menjual perhiasannya. Karena bapak merasa tidak disukai orang di Bali, ia kemudian mengajukan permohonan kepada Departemen Pengajaran untuk dipindahkan ke Jawa. Bapak dikirim ke Surabaya dan disanalah putera sang fajar dilahirkan.
http://penasoekarno.wordpress.com/2009/12/27/bab-ii-putera-sang-fajar/
http://penasoekarno.wordpress.com/2009/12/27/bab-ii-putera-sang-fajar/
Putera Sang Fajar
IBU telah memberikan pangestu kepadaku ketika aku baru berumur beberapa tahun. Di pagi itu ia sudah bangun sebelum matahari terbit dan duduk di dalam gelap di beranda rumah kami yang kecil, tiada bergerak. Ia tidak berbuat apa‐apa, ia tidak berkata apa‐apa, hanya memandang arah ke Timur dan dengan sabar menantikan hari akan siang. Akupun bangun dan mendekatinya. Diulurkannya kedua belah tangannya dan meraih badanku yang kecil ke dalam pelukannya. Sambil mendekapkan tubuhku ke dadanya, ia memelukku dengan tenang. Kemudian ia berbicara dengan suara lunak, “Engkau sedang memandangi fajar, nak.” Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing.
Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali‐kali kaulupakan, nak!, bahwa engkau ini putera dari sang fajar. “Bersamaan dengan kelahiranku menyingsinglah fajar dari suatu hari yang baru dan menyingsing pulalah fajar dari satu abad yang baru. Karena aku dilahirkan di tahun 1901. Bagi Bangsa Indonesia abad kesembilanbelas merupakan jaman yang gelap. Sedangkan jaman sekarang baginya adalah jaman yang terang benderang dalam menaiknya pasang revolusi kemanusiaan. Abad ini adalah suatu jaman dimana bangsa‐bangsa baru dan merdeka di benua Asia dan Afrika mulai berkembang dan berkembangnya negara‐negara Sosialis yang meliputi seribu juta manusia. Abad inipun dinamakan Abad Atom. Dan Abad Ruang Angkasa. Dan mereka yang dilahirkan dalam Abad Revolusi Kemanusiaan ini terikat oleh suatu kewajiba untuk menjalankan tugas‐tugas kepahlawanan. Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam, bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet. Aku bisa keras laksana baja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah paduan daripada pikiran sehat dan getaran perasaan. Aku seorang yang suka mema’afkan, akan tetapi akupun seorang yang keras‐kepala. Aku menjebloskan musuh‐musuh Negara ke belakang jeruji besi, namun demikian aku tidak sampai hati membiarkan burung terkurung di dalam sangkar. Pada suatu kali di Sumatra aku diberi seekor monyet. Binatang itu diikat dengan rantai. Aku tidak dapat membiarkannya! Dia kulepaskan ke dalam hutan. Ketika Irian Barat kembali kepangkuan kami, aku diberi hadiah seekor kanguru. Binatang itu dikurung. Kuminta supaya dia dibawa kembali ke tempatnya dan dikembalikan kemerdekaannya. Aku menjatuhkan hukuman mati, namun aku tak pernah mengangkat tangan untuk memukul mati seekor nyamuk. Sebaliknya aku berbisik kepada binatang itu, “Hayo, nyamuk, pergilah, jangan kaugigit aku.” Sebagai Panglirna Tertinggi aku mengeluarkan perintah untuk membunuh. Karena aku terdiri dari dua belahan, aku dapat memperlihatkan segala rupa, aku dapat mengerti segala pihak, aku memimpin semua orang. Boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan. Boleh jadi juga pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu menjadikan aku seseorang yang merangkul semuanya. Masih ada pertanda lain ketika aku dilahirkan. Gunung Kelud, yang tidak jauh letaknya dari tempat kami, meletus. Orang yang percaya kepada tahayul meramalkan, “Ini adalah penyambutan terhadap bayi Sukarno.” Sebaliknya orang Bali mempunyai kepertcayaan lain; kalau gunung Agung meletus ini berarti bahwa rakyat telah melakukan maksiat. Jadi, orangpun dapat mengatakan bahwa gunung Kelud sebenarnya tidak menyambut bayi Sukarno. Gunung Kelud malah menyatakan kemarahannya, karena anak yang begitu jahat lahir ke muka bumi ini. Berlainan dengan pertanda‐pertanda yang mengiringi kelahiranku itu, maka kelahiran itu sendiri sangatlah menyedihkan. Bapak tidak mampu memanggil dukun untuk menolong anak yang akan lahir. Keadaan kami terlalu ketiadaan. Satu‐satunya orang yang menghadapi ibu ialah seorang kawan dari keluarga kami, seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Dialah, dan tak ada orang lain selain dari orang tua itu, yang menyambutku menginjak dunia ini. Di Bogor ada sebuah plaket timbul yang terbuat dari batu pualam putih lagi bersih, yang melukiskan kelahiran Hercules. Ia tergantung di ruang gang yang menuju keruangan resepsi Negara. Plaket ini memperlihatkan bayi Hercules dalam pangkuan ibunya dikelilingi oleh empatbelas orang wanita‐wanita cantik — semua dalam keadaan telanjang. Cobalah bayangkan, betapa bahagianya untuk dilahirkan di tengah‐tengah empatbelas orang wanita cantik seperti ini!, Akan tetapi Sukarno tidak sama beruntungnya dengan Hercules. Pada waktu aku dilahirkan, tak seorangpun yang akan mengambilku ke dalam pangkuannya, kecuali seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Lalu 50 tahun kemudian. Ini bukanlah lelucon sebagai bahan tertawaan. Di tahun 1949 Republik kami yang masih muda menginjak tahun keempat dari revolusi kami melawan Belanda. Suatu perjuangan yang hebat dengan menggunakan berbagai muslihat. Pihak sana di Negeri Belanda benci kepadaku habishabisan seperti mereka habis‐habisan membenci neraka. Mereka menentangku melalui radio. Dan mereka menentangku melalui pers. Sebuah majalah membuat suatu pengakuan dengan menyatakan bahwa, “Sukarno adalah seorang yang bersemangat, dinamis dan berlainan sama sekali dengan orang Jawa yang lamban dan lambat berpikir. Sukarno dapat berbicara dalam tujuh bahasa dengan lancar. Kita hendaknya bisa melihat kenyataan dan kenyataan adalah, bahwa Sukarno sesungguhnya seorang pemimpin.” Dalam tulisan ini diuraikan segala sifat dan tanda yang baik mengenai diriku. Dengan segera aku menyadari maksud tujuannya. Tulisan itu akhirnya menyimpulkan, “Pembaca yang budiman, tahukah pembaca mengapa Sukarno memiliki sifat‐sifat yang luar‐biasa itu? Karena Sukarno bukanlah orang Indonesia asli. Itulah sebabnya. Dia adalah anak yang tidak sah dari seorang tuan kebun dari perkebunan kopi yang mengadakan hubungan gelap dengan seorang buruh perempuan Bumiputera, kemudian menyerahkan anak itu kepada orang lain sebagai anak‐angkat. “Sayang! Satu‐satunya saksi untuk bersumpah kepada bapakku yang sesungguhnya dan untuk menjadi saksi bahwa aku dilahirkan oleh ibuku yang sebenarnya bukan oleh
pekerja di perkebunan kopi sudah sejak lama meninggal. Melalui generasi demi generasi darah Indonesia sudah bercampur dengan orang India, Arab, Polynesia asli
dan sudah barang tentu dengan orang Tionghoa. Pada dasarnya kami adalah suku bangsa rumpun Melayu. Dari kata asal Ma timbul kata‐kata Manila, Madagaskar, Malaya, Madura, Maori, Himalaja. Nenek moyang kami berpindah‐pindah di sepanjang daerah Asia, menetap di tigaribu pulau yang kemudian menjadi orang Bali, Jawa, Aceh, Ambon, Sumatra dan seterusnya. Aku adalah anak dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idayu, asalnya dari keturunan bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir adalah paman ibu. Bapakku berasal dari Jawa. Nama lengkapnya Raden Sukemi Sosrodihardjo. Dan bapak berasal dari keturunan Sultan Kediri. Lagi‐lagi, merupakan suatu kebetulan ataupun suatu takdir padaku bahwa aku dilahirkan dalam lingkungan kelas yang berkuasa. Namun betapapun asal kelahiranku ataupun nasibku, pengabdianku untuk kemerdekaan rakyatku bukanlah suatu keputusan yang tiba‐tiba. Aku mewarisinya. Semenjak tahun 1596, yaitu pada waktu Belanda pertama kali menyerbu kepulauan kami, maka tindakan Belanda menguasai daerah kami dan perlawanan kami yang sia‐sia dalam merebut kembali tanah pusaka kami telah membikin hitam lembaran‐lembaran dalam sejarah kami. Kakek dan moyangku dari pihak ibu adalah pejuang‐pejuang kemerdekaan yang gagah. Moyangku gugur dalam Perang Puputan, suatu daerah di pantai utara Bali di tempat mana terletak Kerajaan Singaraja dan dimana telah berkobar pertempuran sengit dan bersejarah melawan penjajah. Ketika moyangku menyadari, bahwa semuanya telah hilang dan tentaranya tidak dapat menaklukkan lawan, maka ia dengan sisa orang Bali yang bercita‐cita mengenakan pakaian serba putih, dari kepala sampai kekaki. Mereka menaiki kudanya, masing masing menghunus keris, lalu menjerbu musuh. Mereka dihancurkan. Raja Singaraja yang terakhir secara licik dikeluarkan oleh Belanda dan kerajaannya. Kekayaannya, tempat tinggal, tanah dan semua miliknya dirampas. Mereka mengundangnya ke sebuah kapal perang untuk berunding. Begitu sampai di atas kapal, Belanda menahannya secara paksa, lalu berlayar dan menjebloskannya ke tempat pembuangan. Setelah Belanda menduduki istananya dan merampas miliknya, keluarga ibu jatuh melarat. Karena itu kebencian ibu terhadap Belanda tak habishabisnya dan ini disampaikannya kepadaku. Di tahun 1946, ketika itu umur ibu sudah lebih dari 70 tahun, Republik kami yang masih muda terlibat dalam pertempuran‐pertempuran jarak dekat dengan musuh. Dalam suatu pertempuran, pasukan kami berkumpul di pekarangan belakang rumah ibu di Blitar. Kisah ini kemudian diceritakan oleh pejuang gerilya kepadaku, “Di tempat ini keadaan gerakan kami tenang sekali. Kami semua tiarap menunggu. Rupanya ibu tidak mendengar apa‐apa dari pihak kita. Tidak ada tembakan, tidak ada teriakan. Dengan mata yang bernyala‐nyala beliau keluar mendatangi kami, “Kenapa tidak ada tembakan?” Kenapa tidak bertempur? Apa kamu semua penakut?. Kenapa kamu tidak keluar menembak Belanda, Hayo, terus, semua kamu, keluar dan bunuh Belanda‐ Belanda itu!’” Pihak bapakpun adalah patriot‐patriot ulung. Nenek dari nenek bapak kedudukannya dibawah seorang Puteri, namun dia seorang pejuang puteri di samping pahlawan besar kami, Diponegoro. Dengan menaiki kuda dia mendampingi Diponegoro sampai menemui ajalnya dalam Perang Jawa yang besar itu, yang berkobar dari tahun 1825 sampai tahun 1830. Sebagai kanak‐kanak aku tidak mendapat cerita‐cerita seperti di televisi atau cerita Wild West yang dibumbui. Ibu selalu menceritakan kisah‐kisah kebangsaan dan kepahlawanan. Kalau ibu sudah mulai bercerita, aku lalu duduk dekat kakinya dan dengan haus meneguk kisah‐kisah yang menarik tentang pejuang‐pejuang kemerdekaan dalam keluarga kami. Ibupun menceritakan tentang bagaimana bapak merebutnya. Semasa mudanya ibu menjadi seorang gadis pura yang pekerjaannya membersihkan rumah ibadat itu setiap pagi dan petang. Bapak bekerja sebagai guru sekolah rendah gubernemen di Singaraja dan setelah selesai sekolah sering datang ke lubuk di muka pura tempat ibu bekerja untuk menikmati ketenangannya. Pada suatu hari ia melihat ibu. Pada kesempatan lain ketika duduk lagi dekat lubuk itu ia melihat ibu sekali lagi. Setelah sore demi sore berlalu, ia menegur ibu sedikit. Ibu menjawab. Segera ia merasa tertarik kepada ibu dan ibu kepadanya. Seperti biasanya menurut adat, bapak mendatangi orang tua ibu untuk meminta ibu secara beradat. “Bolehkah saya meminta anak ibu‐bapak?” Orangtua ibu lalu menjawab, “Tidak bisa. Engkau berasal dari Jawa dan engkau beragama Islam. Tidak, sekali‐kali tidak! Kami akan kehilangan anak kami. ‘Seperti halnya dengan keadaan sebelum Perang Dunia Kedua, perempuan Bali tidak ada yang mengawini orang luar. Yang kumaksud bukan orang luar dari negara lain, akan tetapi orang luar dari pulau lain. Waktu itu tidak ada perkawinan campuran antara satu suku dengan suku lain sama sekali. Kalaupun terjadi bencana semacam ini, maka pengantin baru itu diasingkan dari rumah orangtuanya sendiri. Suatu keistimewaan dari Sukarno, ia dapat menyatukan rakyatnya. Warna kulit kami mungkin berbeda, bentuk hidung dan dahi kami mungkin berlainan lihat orang Irian hitam, lihat orang Sumatra sawomatang, lihat orang Jawa pendek‐pendek, orang Maluku lebih tinggi, lihat orang Lampung mempunyai bentuk sendiri, rakyat Pasundan mempunyai ciri sendiri, akan tetapi kami tidak lagi jadi inlander atau menganggap diri kami orang‐asing satu sama lain. Sekarang kami sudah menjadi orang Indonesia dan kami satu. Semboyan negeri kami Bhineka Tunggal Ika “Berbeda‐beda tapi satu jua”. Kembali kepada kisah bapakku, betapa sukarnya situasi ketika ia hendak mengawini ibu. Terutama karena ia resminya seorang Islam, sekalipun ia menjalankan Theosofi. Untuk kawin secara Islam, maka ibu harus menganut agama Islam terlebih dulu. Satu‐satunya jalan bagi mereka ialah kawin lari. Kawin lari menurut kebiasaan di Bali harus mengikuti tata cara tertentu. Kedua merpati itu bermalam di malam perkawinannya di rumah salah seorang kawan. Sementara itu dikirimkan utusan ke rumah orangtua si gadis untuk memberitahukan bahwa anak mereka sudah menjalankan perkawinannya. Ibu dan bapakku mencari perlindungan di rumah Kepala Polisi yang menjadi kawan bapak. Keluarga ibu datang menjemputnya, akan tetapi Kepala Polisi itu tidak mau melepaskan. “Tidak, dia berada dalam perlindungan saya,” katanya. Bukanlah kebiasaan kami untuk menghadapkan pengantin kemuka pengadilan, sekalipun orangtua tidak setuju. Akan tetapi kejadian ini adalah keadaan yang luar biasa ketika itu. Bapak seorang Islam Theosof dan ibu seorang Bali Hindu‐Budha. Pada waktu perkara itu diadili, ibu ditanya, “Apakah laki‐laki ini memaksamu, bertentangan dengan kemauanmu sendiri?” Dan ibu menjawab, “Tidak, tidak. Saya mencintainya dan melarikan diri atas kemauan saya sendiri. “Tiada pilihan lain bagi mereka, kecuali mengizinkan perkawinan itu. Sekalipun demikian pengadilan mendenda ibu 25 ringgit, yang nilainya sama dengan 25 dolar. Ibu mewarisi beberapa perhiasan emas dan untuk membayar denda itu ibu menjual perhiasannya. Karena bapak merasa tidak disukai orang di Bali, ia kemudian mengajukan permohonan kepada Departemen Pengajaran untuk dipindahkan ke Jawa. Bapak dikirim ke Surabaya dan disanalah putera sang fajar dilahirkan.
BAB II Putera Sang Fajar
IBU telah memberikan pangestu kepadaku ketika aku baru berumur beberapa tahun. Di pagi itu ia sudah bangun sebelum matahari terbit dan duduk di dalam gelap di beranda rumah kami yang kecil, tiada bergerak. Ia tidak berbuat apa‐apa, ia tidak berkata apa‐apa, hanya memandang arah ke Timur dan dengan sabar menantikan hari akan siang. Akupun bangun dan mendekatinya. Diulurkannya kedua belah tangannya dan meraih badanku yang kecil ke dalam pelukannya. Sambil mendekapkan tubuhku ke dadanya, ia memelukku dengan tenang. Kemudian ia berbicara dengan suara lunak, “Engkau sedang memandangi fajar, nak.” Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing.
Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali‐kali kaulupakan, nak!, bahwa engkau ini putera dari sang fajar. “Bersamaan dengan kelahiranku menyingsinglah fajar dari suatu hari yang baru dan menyingsing pulalah fajar dari satu abad yang baru. Karena aku dilahirkan di tahun 1901. Bagi Bangsa Indonesia abad kesembilanbelas merupakan jaman yang gelap. Sedangkan jaman sekarang baginya adalah jaman yang terang benderang dalam menaiknya pasang revolusi kemanusiaan. Abad ini adalah suatu jaman dimana bangsa‐bangsa baru dan merdeka di benua Asia dan Afrika mulai berkembang dan berkembangnya negara‐negara Sosialis yang meliputi seribu juta manusia. Abad inipun dinamakan Abad Atom. Dan Abad Ruang Angkasa. Dan mereka yang dilahirkan dalam Abad Revolusi Kemanusiaan ini terikat oleh suatu kewajiba untuk menjalankan tugas‐tugas kepahlawanan. Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam, bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet. Aku bisa keras laksana baja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah paduan daripada pikiran sehat dan getaran perasaan. Aku seorang yang suka mema’afkan, akan tetapi akupun seorang yang keras‐kepala. Aku menjebloskan musuh‐musuh Negara ke belakang jeruji besi, namun demikian aku tidak sampai hati membiarkan burung terkurung di dalam sangkar. Pada suatu kali di Sumatra aku diberi seekor monyet. Binatang itu diikat dengan rantai. Aku tidak dapat membiarkannya! Dia kulepaskan ke dalam hutan. Ketika Irian Barat kembali kepangkuan kami, aku diberi hadiah seekor kanguru. Binatang itu dikurung. Kuminta supaya dia dibawa kembali ke tempatnya dan dikembalikan kemerdekaannya. Aku menjatuhkan hukuman mati, namun aku tak pernah mengangkat tangan untuk memukul mati seekor nyamuk. Sebaliknya aku berbisik kepada binatang itu, “Hayo, nyamuk, pergilah, jangan kaugigit aku.” Sebagai Panglirna Tertinggi aku mengeluarkan perintah untuk membunuh. Karena aku terdiri dari dua belahan, aku dapat memperlihatkan segala rupa, aku dapat mengerti segala pihak, aku memimpin semua orang. Boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan. Boleh jadi juga pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu menjadikan aku seseorang yang merangkul semuanya. Masih ada pertanda lain ketika aku dilahirkan. Gunung Kelud, yang tidak jauh letaknya dari tempat kami, meletus. Orang yang percaya kepada tahayul meramalkan, “Ini adalah penyambutan terhadap bayi Sukarno.” Sebaliknya orang Bali mempunyai kepertcayaan lain; kalau gunung Agung meletus ini berarti bahwa rakyat telah melakukan maksiat. Jadi, orangpun dapat mengatakan bahwa gunung Kelud sebenarnya tidak menyambut bayi Sukarno. Gunung Kelud malah menyatakan kemarahannya, karena anak yang begitu jahat lahir ke muka bumi ini. Berlainan dengan pertanda‐pertanda yang mengiringi kelahiranku itu, maka kelahiran itu sendiri sangatlah menyedihkan. Bapak tidak mampu memanggil dukun untuk menolong anak yang akan lahir. Keadaan kami terlalu ketiadaan. Satu‐satunya orang yang menghadapi ibu ialah seorang kawan dari keluarga kami, seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Dialah, dan tak ada orang lain selain dari orang tua itu, yang menyambutku menginjak dunia ini. Di Bogor ada sebuah plaket timbul yang terbuat dari batu pualam putih lagi bersih, yang melukiskan kelahiran Hercules. Ia tergantung di ruang gang yang menuju keruangan resepsi Negara. Plaket ini memperlihatkan bayi Hercules dalam pangkuan ibunya dikelilingi oleh empatbelas orang wanita‐wanita cantik — semua dalam keadaan telanjang. Cobalah bayangkan, betapa bahagianya untuk dilahirkan di tengah‐tengah empatbelas orang wanita cantik seperti ini!, Akan tetapi Sukarno tidak sama beruntungnya dengan Hercules. Pada waktu aku dilahirkan, tak seorangpun yang akan mengambilku ke dalam pangkuannya, kecuali seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Lalu 50 tahun kemudian. Ini bukanlah lelucon sebagai bahan tertawaan. Di tahun 1949 Republik kami yang masih muda menginjak tahun keempat dari revolusi kami melawan Belanda. Suatu perjuangan yang hebat dengan menggunakan berbagai muslihat. Pihak sana di Negeri Belanda benci kepadaku habishabisan seperti mereka habis‐habisan membenci neraka. Mereka menentangku melalui radio. Dan mereka menentangku melalui pers. Sebuah majalah membuat suatu pengakuan dengan menyatakan bahwa, “Sukarno adalah seorang yang bersemangat, dinamis dan berlainan sama sekali dengan orang Jawa yang lamban dan lambat berpikir. Sukarno dapat berbicara dalam tujuh bahasa dengan lancar. Kita hendaknya bisa melihat kenyataan dan kenyataan adalah, bahwa Sukarno sesungguhnya seorang pemimpin.” Dalam tulisan ini diuraikan segala sifat dan tanda yang baik mengenai diriku. Dengan segera aku menyadari maksud tujuannya. Tulisan itu akhirnya menyimpulkan, “Pembaca yang budiman, tahukah pembaca mengapa Sukarno memiliki sifat‐sifat yang luar‐biasa itu? Karena Sukarno bukanlah orang Indonesia asli. Itulah sebabnya. Dia adalah anak yang tidak sah dari seorang tuan kebun dari perkebunan kopi yang mengadakan hubungan gelap dengan seorang buruh perempuan Bumiputera, kemudian menyerahkan anak itu kepada orang lain sebagai anak‐angkat. “Sayang! Satu‐satunya saksi untuk bersumpah kepada bapakku yang sesungguhnya dan untuk menjadi saksi bahwa aku dilahirkan oleh ibuku yang sebenarnya bukan oleh
pekerja di perkebunan kopi sudah sejak lama meninggal. Melalui generasi demi generasi darah Indonesia sudah bercampur dengan orang India, Arab, Polynesia asli
dan sudah barang tentu dengan orang Tionghoa. Pada dasarnya kami adalah suku bangsa rumpun Melayu. Dari kata asal Ma timbul kata‐kata Manila, Madagaskar, Malaya, Madura, Maori, Himalaja. Nenek moyang kami berpindah‐pindah di sepanjang daerah Asia, menetap di tigaribu pulau yang kemudian menjadi orang Bali, Jawa, Aceh, Ambon, Sumatra dan seterusnya. Aku adalah anak dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idayu, asalnya dari keturunan bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir adalah paman ibu. Bapakku berasal dari Jawa. Nama lengkapnya Raden Sukemi Sosrodihardjo. Dan bapak berasal dari keturunan Sultan Kediri. Lagi‐lagi, merupakan suatu kebetulan ataupun suatu takdir padaku bahwa aku dilahirkan dalam lingkungan kelas yang berkuasa. Namun betapapun asal kelahiranku ataupun nasibku, pengabdianku untuk kemerdekaan rakyatku bukanlah suatu keputusan yang tiba‐tiba. Aku mewarisinya. Semenjak tahun 1596, yaitu pada waktu Belanda pertama kali menyerbu kepulauan kami, maka tindakan Belanda menguasai daerah kami dan perlawanan kami yang sia‐sia dalam merebut kembali tanah pusaka kami telah membikin hitam lembaran‐lembaran dalam sejarah kami. Kakek dan moyangku dari pihak ibu adalah pejuang‐pejuang kemerdekaan yang gagah. Moyangku gugur dalam Perang Puputan, suatu daerah di pantai utara Bali di tempat mana terletak Kerajaan Singaraja dan dimana telah berkobar pertempuran sengit dan bersejarah melawan penjajah. Ketika moyangku menyadari, bahwa semuanya telah hilang dan tentaranya tidak dapat menaklukkan lawan, maka ia dengan sisa orang Bali yang bercita‐cita mengenakan pakaian serba putih, dari kepala sampai kekaki. Mereka menaiki kudanya, masing masing menghunus keris, lalu menjerbu musuh. Mereka dihancurkan. Raja Singaraja yang terakhir secara licik dikeluarkan oleh Belanda dan kerajaannya. Kekayaannya, tempat tinggal, tanah dan semua miliknya dirampas. Mereka mengundangnya ke sebuah kapal perang untuk berunding. Begitu sampai di atas kapal, Belanda menahannya secara paksa, lalu berlayar dan menjebloskannya ke tempat pembuangan. Setelah Belanda menduduki istananya dan merampas miliknya, keluarga ibu jatuh melarat. Karena itu kebencian ibu terhadap Belanda tak habishabisnya dan ini disampaikannya kepadaku. Di tahun 1946, ketika itu umur ibu sudah lebih dari 70 tahun, Republik kami yang masih muda terlibat dalam pertempuran‐pertempuran jarak dekat dengan musuh. Dalam suatu pertempuran, pasukan kami berkumpul di pekarangan belakang rumah ibu di Blitar. Kisah ini kemudian diceritakan oleh pejuang gerilya kepadaku, “Di tempat ini keadaan gerakan kami tenang sekali. Kami semua tiarap menunggu. Rupanya ibu tidak mendengar apa‐apa dari pihak kita. Tidak ada tembakan, tidak ada teriakan. Dengan mata yang bernyala‐nyala beliau keluar mendatangi kami, “Kenapa tidak ada tembakan?” Kenapa tidak bertempur? Apa kamu semua penakut?. Kenapa kamu tidak keluar menembak Belanda, Hayo, terus, semua kamu, keluar dan bunuh Belanda‐ Belanda itu!’” Pihak bapakpun adalah patriot‐patriot ulung. Nenek dari nenek bapak kedudukannya dibawah seorang Puteri, namun dia seorang pejuang puteri di samping pahlawan besar kami, Diponegoro. Dengan menaiki kuda dia mendampingi Diponegoro sampai menemui ajalnya dalam Perang Jawa yang besar itu, yang berkobar dari tahun 1825 sampai tahun 1830. Sebagai kanak‐kanak aku tidak mendapat cerita‐cerita seperti di televisi atau cerita Wild West yang dibumbui. Ibu selalu menceritakan kisah‐kisah kebangsaan dan kepahlawanan. Kalau ibu sudah mulai bercerita, aku lalu duduk dekat kakinya dan dengan haus meneguk kisah‐kisah yang menarik tentang pejuang‐pejuang kemerdekaan dalam keluarga kami. Ibupun menceritakan tentang bagaimana bapak merebutnya. Semasa mudanya ibu menjadi seorang gadis pura yang pekerjaannya membersihkan rumah ibadat itu setiap pagi dan petang. Bapak bekerja sebagai guru sekolah rendah gubernemen di Singaraja dan setelah selesai sekolah sering datang ke lubuk di muka pura tempat ibu bekerja untuk menikmati ketenangannya. Pada suatu hari ia melihat ibu. Pada kesempatan lain ketika duduk lagi dekat lubuk itu ia melihat ibu sekali lagi. Setelah sore demi sore berlalu, ia menegur ibu sedikit. Ibu menjawab. Segera ia merasa tertarik kepada ibu dan ibu kepadanya. Seperti biasanya menurut adat, bapak mendatangi orang tua ibu untuk meminta ibu secara beradat. “Bolehkah saya meminta anak ibu‐bapak?” Orangtua ibu lalu menjawab, “Tidak bisa. Engkau berasal dari Jawa dan engkau beragama Islam. Tidak, sekali‐kali tidak! Kami akan kehilangan anak kami. ‘Seperti halnya dengan keadaan sebelum Perang Dunia Kedua, perempuan Bali tidak ada yang mengawini orang luar. Yang kumaksud bukan orang luar dari negara lain, akan tetapi orang luar dari pulau lain. Waktu itu tidak ada perkawinan campuran antara satu suku dengan suku lain sama sekali. Kalaupun terjadi bencana semacam ini, maka pengantin baru itu diasingkan dari rumah orangtuanya sendiri. Suatu keistimewaan dari Sukarno, ia dapat menyatukan rakyatnya. Warna kulit kami mungkin berbeda, bentuk hidung dan dahi kami mungkin berlainan lihat orang Irian hitam, lihat orang Sumatra sawomatang, lihat orang Jawa pendek‐pendek, orang Maluku lebih tinggi, lihat orang Lampung mempunyai bentuk sendiri, rakyat Pasundan mempunyai ciri sendiri, akan tetapi kami tidak lagi jadi inlander atau menganggap diri kami orang‐asing satu sama lain. Sekarang kami sudah menjadi orang Indonesia dan kami satu. Semboyan negeri kami Bhineka Tunggal Ika “Berbeda‐beda tapi satu jua”. Kembali kepada kisah bapakku, betapa sukarnya situasi ketika ia hendak mengawini ibu. Terutama karena ia resminya seorang Islam, sekalipun ia menjalankan Theosofi. Untuk kawin secara Islam, maka ibu harus menganut agama Islam terlebih dulu. Satu‐satunya jalan bagi mereka ialah kawin lari. Kawin lari menurut kebiasaan di Bali harus mengikuti tata cara tertentu. Kedua merpati itu bermalam di malam perkawinannya di rumah salah seorang kawan. Sementara itu dikirimkan utusan ke rumah orangtua si gadis untuk memberitahukan bahwa anak mereka sudah menjalankan perkawinannya. Ibu dan bapakku mencari perlindungan di rumah Kepala Polisi yang menjadi kawan bapak. Keluarga ibu datang menjemputnya, akan tetapi Kepala Polisi itu tidak mau melepaskan. “Tidak, dia berada dalam perlindungan saya,” katanya. Bukanlah kebiasaan kami untuk menghadapkan pengantin kemuka pengadilan, sekalipun orangtua tidak setuju. Akan tetapi kejadian ini adalah keadaan yang luar biasa ketika itu. Bapak seorang Islam Theosof dan ibu seorang Bali Hindu‐Budha. Pada waktu perkara itu diadili, ibu ditanya, “Apakah laki‐laki ini memaksamu, bertentangan dengan kemauanmu sendiri?” Dan ibu menjawab, “Tidak, tidak. Saya mencintainya dan melarikan diri atas kemauan saya sendiri. “Tiada pilihan lain bagi mereka, kecuali mengizinkan perkawinan itu. Sekalipun demikian pengadilan mendenda ibu 25 ringgit, yang nilainya sama dengan 25 dolar. Ibu mewarisi beberapa perhiasan emas dan untuk membayar denda itu ibu menjual perhiasannya. Karena bapak merasa tidak disukai orang di Bali, ia kemudian mengajukan permohonan kepada Departemen Pengajaran untuk dipindahkan ke Jawa. Bapak dikirim ke Surabaya dan disanalah putera sang fajar dilahirkan
BAB II Putera Sang Fajar
IBU telah memberikan pangestu kepadaku ketika aku baru berumur beberapa tahun. Di pagi itu ia sudah bangun sebelum matahari terbit dan duduk di dalam gelap di beranda rumah kami yang kecil, tiada bergerak. Ia tidak berbuat apa‐apa, ia tidak berkata apa‐apa, hanya memandang arah ke Timur dan dengan sabar menantikan hari akan siang. Akupun bangun dan mendekatinya. Diulurkannya kedua belah tangannya dan meraih badanku yang kecil ke dalam pelukannya. Sambil mendekapkan tubuhku ke dadanya, ia memelukku dengan tenang. Kemudian ia berbicara dengan suara lunak, “Engkau sedang memandangi fajar, nak.” Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing.
Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali‐kali kaulupakan, nak!, bahwa engkau ini putera dari sang fajar. “Bersamaan dengan kelahiranku menyingsinglah fajar dari suatu hari yang baru dan menyingsing pulalah fajar dari satu abad yang baru. Karena aku dilahirkan di tahun 1901. Bagi Bangsa Indonesia abad kesembilanbelas merupakan jaman yang gelap. Sedangkan jaman sekarang baginya adalah jaman yang terang benderang dalam menaiknya pasang revolusi kemanusiaan. Abad ini adalah suatu jaman dimana bangsa‐bangsa baru dan merdeka di benua Asia dan Afrika mulai berkembang dan berkembangnya negara‐negara Sosialis yang meliputi seribu juta manusia. Abad inipun dinamakan Abad Atom. Dan Abad Ruang Angkasa. Dan mereka yang dilahirkan dalam Abad Revolusi Kemanusiaan ini terikat oleh suatu kewajiba untuk menjalankan tugas‐tugas kepahlawanan. Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam, bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan. Aku bisa lunak dan aku bisa cerewet. Aku bisa keras laksana baja dan aku bisa lembut berirama. Pembawaanku adalah paduan daripada pikiran sehat dan getaran perasaan. Aku seorang yang suka mema’afkan, akan tetapi akupun seorang yang keras‐kepala. Aku menjebloskan musuh‐musuh Negara ke belakang jeruji besi, namun demikian aku tidak sampai hati membiarkan burung terkurung di dalam sangkar. Pada suatu kali di Sumatra aku diberi seekor monyet. Binatang itu diikat dengan rantai. Aku tidak dapat membiarkannya! Dia kulepaskan ke dalam hutan. Ketika Irian Barat kembali kepangkuan kami, aku diberi hadiah seekor kanguru. Binatang itu dikurung. Kuminta supaya dia dibawa kembali ke tempatnya dan dikembalikan kemerdekaannya. Aku menjatuhkan hukuman mati, namun aku tak pernah mengangkat tangan untuk memukul mati seekor nyamuk. Sebaliknya aku berbisik kepada binatang itu, “Hayo, nyamuk, pergilah, jangan kaugigit aku.” Sebagai Panglirna Tertinggi aku mengeluarkan perintah untuk membunuh. Karena aku terdiri dari dua belahan, aku dapat memperlihatkan segala rupa, aku dapat mengerti segala pihak, aku memimpin semua orang. Boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan. Boleh jadi juga pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu menjadikan aku seseorang yang merangkul semuanya. Masih ada pertanda lain ketika aku dilahirkan. Gunung Kelud, yang tidak jauh letaknya dari tempat kami, meletus. Orang yang percaya kepada tahayul meramalkan, “Ini adalah penyambutan terhadap bayi Sukarno.” Sebaliknya orang Bali mempunyai kepertcayaan lain; kalau gunung Agung meletus ini berarti bahwa rakyat telah melakukan maksiat. Jadi, orangpun dapat mengatakan bahwa gunung Kelud sebenarnya tidak menyambut bayi Sukarno. Gunung Kelud malah menyatakan kemarahannya, karena anak yang begitu jahat lahir ke muka bumi ini. Berlainan dengan pertanda‐pertanda yang mengiringi kelahiranku itu, maka kelahiran itu sendiri sangatlah menyedihkan. Bapak tidak mampu memanggil dukun untuk menolong anak yang akan lahir. Keadaan kami terlalu ketiadaan. Satu‐satunya orang yang menghadapi ibu ialah seorang kawan dari keluarga kami, seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Dialah, dan tak ada orang lain selain dari orang tua itu, yang menyambutku menginjak dunia ini. Di Bogor ada sebuah plaket timbul yang terbuat dari batu pualam putih lagi bersih, yang melukiskan kelahiran Hercules. Ia tergantung di ruang gang yang menuju keruangan resepsi Negara. Plaket ini memperlihatkan bayi Hercules dalam pangkuan ibunya dikelilingi oleh empatbelas orang wanita‐wanita cantik — semua dalam keadaan telanjang. Cobalah bayangkan, betapa bahagianya untuk dilahirkan di tengah‐tengah empatbelas orang wanita cantik seperti ini!, Akan tetapi Sukarno tidak sama beruntungnya dengan Hercules. Pada waktu aku dilahirkan, tak seorangpun yang akan mengambilku ke dalam pangkuannya, kecuali seorang kakek yang sudah terlalu amat tua. Lalu 50 tahun kemudian. Ini bukanlah lelucon sebagai bahan tertawaan. Di tahun 1949 Republik kami yang masih muda menginjak tahun keempat dari revolusi kami melawan Belanda. Suatu perjuangan yang hebat dengan menggunakan berbagai muslihat. Pihak sana di Negeri Belanda benci kepadaku habishabisan seperti mereka habis‐habisan membenci neraka. Mereka menentangku melalui radio. Dan mereka menentangku melalui pers. Sebuah majalah membuat suatu pengakuan dengan menyatakan bahwa, “Sukarno adalah seorang yang bersemangat, dinamis dan berlainan sama sekali dengan orang Jawa yang lamban dan lambat berpikir. Sukarno dapat berbicara dalam tujuh bahasa dengan lancar. Kita hendaknya bisa melihat kenyataan dan kenyataan adalah, bahwa Sukarno sesungguhnya seorang pemimpin.” Dalam tulisan ini diuraikan segala sifat dan tanda yang baik mengenai diriku. Dengan segera aku menyadari maksud tujuannya. Tulisan itu akhirnya menyimpulkan, “Pembaca yang budiman, tahukah pembaca mengapa Sukarno memiliki sifat‐sifat yang luar‐biasa itu? Karena Sukarno bukanlah orang Indonesia asli. Itulah sebabnya. Dia adalah anak yang tidak sah dari seorang tuan kebun dari perkebunan kopi yang mengadakan hubungan gelap dengan seorang buruh perempuan Bumiputera, kemudian menyerahkan anak itu kepada orang lain sebagai anak‐angkat. “Sayang! Satu‐satunya saksi untuk bersumpah kepada bapakku yang sesungguhnya dan untuk menjadi saksi bahwa aku dilahirkan oleh ibuku yang sebenarnya bukan oleh
pekerja di perkebunan kopi sudah sejak lama meninggal. Melalui generasi demi generasi darah Indonesia sudah bercampur dengan orang India, Arab, Polynesia asli
dan sudah barang tentu dengan orang Tionghoa. Pada dasarnya kami adalah suku bangsa rumpun Melayu. Dari kata asal Ma timbul kata‐kata Manila, Madagaskar, Malaya, Madura, Maori, Himalaja. Nenek moyang kami berpindah‐pindah di sepanjang daerah Asia, menetap di tigaribu pulau yang kemudian menjadi orang Bali, Jawa, Aceh, Ambon, Sumatra dan seterusnya. Aku adalah anak dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idayu, asalnya dari keturunan bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir adalah paman ibu. Bapakku berasal dari Jawa. Nama lengkapnya Raden Sukemi Sosrodihardjo. Dan bapak berasal dari keturunan Sultan Kediri. Lagi‐lagi, merupakan suatu kebetulan ataupun suatu takdir padaku bahwa aku dilahirkan dalam lingkungan kelas yang berkuasa. Namun betapapun asal kelahiranku ataupun nasibku, pengabdianku untuk kemerdekaan rakyatku bukanlah suatu keputusan yang tiba‐tiba. Aku mewarisinya. Semenjak tahun 1596, yaitu pada waktu Belanda pertama kali menyerbu kepulauan kami, maka tindakan Belanda menguasai daerah kami dan perlawanan kami yang sia‐sia dalam merebut kembali tanah pusaka kami telah membikin hitam lembaran‐lembaran dalam sejarah kami. Kakek dan moyangku dari pihak ibu adalah pejuang‐pejuang kemerdekaan yang gagah. Moyangku gugur dalam Perang Puputan, suatu daerah di pantai utara Bali di tempat mana terletak Kerajaan Singaraja dan dimana telah berkobar pertempuran sengit dan bersejarah melawan penjajah. Ketika moyangku menyadari, bahwa semuanya telah hilang dan tentaranya tidak dapat menaklukkan lawan, maka ia dengan sisa orang Bali yang bercita‐cita mengenakan pakaian serba putih, dari kepala sampai kekaki. Mereka menaiki kudanya, masing masing menghunus keris, lalu menjerbu musuh. Mereka dihancurkan. Raja Singaraja yang terakhir secara licik dikeluarkan oleh Belanda dan kerajaannya. Kekayaannya, tempat tinggal, tanah dan semua miliknya dirampas. Mereka mengundangnya ke sebuah kapal perang untuk berunding. Begitu sampai di atas kapal, Belanda menahannya secara paksa, lalu berlayar dan menjebloskannya ke tempat pembuangan. Setelah Belanda menduduki istananya dan merampas miliknya, keluarga ibu jatuh melarat. Karena itu kebencian ibu terhadap Belanda tak habishabisnya dan ini disampaikannya kepadaku. Di tahun 1946, ketika itu umur ibu sudah lebih dari 70 tahun, Republik kami yang masih muda terlibat dalam pertempuran‐pertempuran jarak dekat dengan musuh. Dalam suatu pertempuran, pasukan kami berkumpul di pekarangan belakang rumah ibu di Blitar. Kisah ini kemudian diceritakan oleh pejuang gerilya kepadaku, “Di tempat ini keadaan gerakan kami tenang sekali. Kami semua tiarap menunggu. Rupanya ibu tidak mendengar apa‐apa dari pihak kita. Tidak ada tembakan, tidak ada teriakan. Dengan mata yang bernyala‐nyala beliau keluar mendatangi kami, “Kenapa tidak ada tembakan?” Kenapa tidak bertempur? Apa kamu semua penakut?. Kenapa kamu tidak keluar menembak Belanda, Hayo, terus, semua kamu, keluar dan bunuh Belanda‐ Belanda itu!’” Pihak bapakpun adalah patriot‐patriot ulung. Nenek dari nenek bapak kedudukannya dibawah seorang Puteri, namun dia seorang pejuang puteri di samping pahlawan besar kami, Diponegoro. Dengan menaiki kuda dia mendampingi Diponegoro sampai menemui ajalnya dalam Perang Jawa yang besar itu, yang berkobar dari tahun 1825 sampai tahun 1830. Sebagai kanak‐kanak aku tidak mendapat cerita‐cerita seperti di televisi atau cerita Wild West yang dibumbui. Ibu selalu menceritakan kisah‐kisah kebangsaan dan kepahlawanan. Kalau ibu sudah mulai bercerita, aku lalu duduk dekat kakinya dan dengan haus meneguk kisah‐kisah yang menarik tentang pejuang‐pejuang kemerdekaan dalam keluarga kami. Ibupun menceritakan tentang bagaimana bapak merebutnya. Semasa mudanya ibu menjadi seorang gadis pura yang pekerjaannya membersihkan rumah ibadat itu setiap pagi dan petang. Bapak bekerja sebagai guru sekolah rendah gubernemen di Singaraja dan setelah selesai sekolah sering datang ke lubuk di muka pura tempat ibu bekerja untuk menikmati ketenangannya. Pada suatu hari ia melihat ibu. Pada kesempatan lain ketika duduk lagi dekat lubuk itu ia melihat ibu sekali lagi. Setelah sore demi sore berlalu, ia menegur ibu sedikit. Ibu menjawab. Segera ia merasa tertarik kepada ibu dan ibu kepadanya. Seperti biasanya menurut adat, bapak mendatangi orang tua ibu untuk meminta ibu secara beradat. “Bolehkah saya meminta anak ibu‐bapak?” Orangtua ibu lalu menjawab, “Tidak bisa. Engkau berasal dari Jawa dan engkau beragama Islam. Tidak, sekali‐kali tidak! Kami akan kehilangan anak kami. ‘Seperti halnya dengan keadaan sebelum Perang Dunia Kedua, perempuan Bali tidak ada yang mengawini orang luar. Yang kumaksud bukan orang luar dari negara lain, akan tetapi orang luar dari pulau lain. Waktu itu tidak ada perkawinan campuran antara satu suku dengan suku lain sama sekali. Kalaupun terjadi bencana semacam ini, maka pengantin baru itu diasingkan dari rumah orangtuanya sendiri. Suatu keistimewaan dari Sukarno, ia dapat menyatukan rakyatnya. Warna kulit kami mungkin berbeda, bentuk hidung dan dahi kami mungkin berlainan lihat orang Irian hitam, lihat orang Sumatra sawomatang, lihat orang Jawa pendek‐pendek, orang Maluku lebih tinggi, lihat orang Lampung mempunyai bentuk sendiri, rakyat Pasundan mempunyai ciri sendiri, akan tetapi kami tidak lagi jadi inlander atau menganggap diri kami orang‐asing satu sama lain. Sekarang kami sudah menjadi orang Indonesia dan kami satu. Semboyan negeri kami Bhineka Tunggal Ika “Berbeda‐beda tapi satu jua”. Kembali kepada kisah bapakku, betapa sukarnya situasi ketika ia hendak mengawini ibu. Terutama karena ia resminya seorang Islam, sekalipun ia menjalankan Theosofi. Untuk kawin secara Islam, maka ibu harus menganut agama Islam terlebih dulu. Satu‐satunya jalan bagi mereka ialah kawin lari. Kawin lari menurut kebiasaan di Bali harus mengikuti tata cara tertentu. Kedua merpati itu bermalam di malam perkawinannya di rumah salah seorang kawan. Sementara itu dikirimkan utusan ke rumah orangtua si gadis untuk memberitahukan bahwa anak mereka sudah menjalankan perkawinannya. Ibu dan bapakku mencari perlindungan di rumah Kepala Polisi yang menjadi kawan bapak. Keluarga ibu datang menjemputnya, akan tetapi Kepala Polisi itu tidak mau melepaskan. “Tidak, dia berada dalam perlindungan saya,” katanya. Bukanlah kebiasaan kami untuk menghadapkan pengantin kemuka pengadilan, sekalipun orangtua tidak setuju. Akan tetapi kejadian ini adalah keadaan yang luar biasa ketika itu. Bapak seorang Islam Theosof dan ibu seorang Bali Hindu‐Budha. Pada waktu perkara itu diadili, ibu ditanya, “Apakah laki‐laki ini memaksamu, bertentangan dengan kemauanmu sendiri?” Dan ibu menjawab, “Tidak, tidak. Saya mencintainya dan melarikan diri atas kemauan saya sendiri. “Tiada pilihan lain bagi mereka, kecuali mengizinkan perkawinan itu. Sekalipun demikian pengadilan mendenda ibu 25 ringgit, yang nilainya sama dengan 25 dolar. Ibu mewarisi beberapa perhiasan emas dan untuk membayar denda itu ibu menjual perhiasannya. Karena bapak merasa tidak disukai orang di Bali, ia kemudian mengajukan permohonan kepada Departemen Pengajaran untuk dipindahkan ke Jawa. Bapak dikirim ke Surabaya dan disanalah putera sang fajar dilahirkan.
http://penasoekarno.wordpress.com/2009/12/27/bab-ii-putera-sang-fajar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar